Saturday, November 25, 2017

Tentang Instastory/Snapgram



Disclaimer: tulisan ini tidak bermaksud menyindir, tapi kalau merasa tersindir, ya mau gimana. Wk nggak deng, maafin saya ya.

Yak, saya udah lama gatel banget mau nulis tentang ini huaha. Kalau ada yang belum tahu apa itu instastory, itu adalah fitur update di sosial media Instagram dengan durasi 24 jam. Di era yang hampir tiap orangnya dikit-dikit upload instastory ini, saya merasa jadi (hampir) satu-satunya orang yang kalau ketemu orang lain atau lagi ngapa-ngapain nggak perlu diumbar kemana-mana (baca: update instastory). Duh, saya gemes banget kalau lagi ketemu teman saya, terus dikit-dikit manggil "Jah, hai hai dong" dan pas saya nengok yang bersangkutan sedang megang HP dan ngerekam saya.

Iya, iya saya tau pasti yang baca ini mikir "ya suka-suka gue dong, hp-hp gue, instagram-instagram gue. Kok situ yang repot?"

Masalahnya ya, wahai saudara-saudariku yang budiman, kebiasaan update instastory ini sudah semakin mengkhawatirkan. Contohnya ya, ada nih orang lain lagi celaka, bukannya dibantuin malah asik dia nge-rekam di instastory. Ih, pengen saya sleding deh rasanya. Hatimu tuh kemana tho? Digondol kucing? Atau ada juga yang orang yang marah gara-gara dia nggak dimasukin ke instastory temannya karena dateng telat. Ngaco banget kan kalo udah kayak gini ceritanya.

Pertanyaan saya yang paling utama: manfaat update-update kegiatanmu tuh opo? Emang orang lain tuh mau tau ya kamu ngapain aja setiap hari? Kamu makan apa, kamu pergi kemana, perginya sama siapa? Kayak Yolanda-nya abang tukang bubur aja diabsen terus. Malah ya, update-update ini tuh berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial dan syak wasangka yang buruk. Gimana ndak kalau yang di-update yang bagus-bagus aja?

Jadi harusnya isi instastory yang kayak gimana dong? Yang baik-baik dong. Nah nah, masalahnya kadang yang baik-baik aja disalahartikan. Misal, si X upload tulisan-tulisan ceramah atau ayat-ayat suci atau apa deh yang sejenis. Eh adaaa aja satu orang yang komentar "ih sok alim banget deh dia updatenya ceramah-ceramah terus.". NAH KAN. Do you get my point?

Satu hal lagi yang bikin saya penasaran banget. Guys, apakah setiap update instastory kalian nge-cek siapa aja yang udah nge-view instastory kalian? Karena setiap orang yang saya tanyain, semuanya bilang iya. Meanwhile saya nggak pernah sama sekali.....keinginan buat nge-cek pun nggak ada. Jadi apa sih alasannya? Aslik, jangan bilang karena iseng doang, please?

Pada akhirnya sih ya, posting ini lagi-lagi cuma berisi unek-unek saya yang masih saja gagal paham akan rajinnya orang-orang update instastory milik mereka. Soalnya saya pribadi cuma update kalau lagi pengen aja, terutama kalau ada yang pengen di-spazzing-in (baca: komik/anime/kpop) hahaha. Terus, kalau saya boleh berpesan nih ya, bagi teman-teman yang rajiiin banget update tiap hari, yang tanpanya hidup terasa hampa, hati-hati ya jangan sampai keranjingan update ini menimbulkan masalah di kemudian hari. Baik masalah sama teman-temanmu atau malah sampai mematikan empati demi update instastory.

Yaudah gitu aja. Sekian dan terima kasih.

Share:

Friday, October 20, 2017

Berdiri Sendiri

Seringkali pada satu titik singgah dalam hidup saya, saya berpikir bahwa meskipun manusia dilabeli sebagai makhluk sosial, pada hakikatnya manusia tetaplah makhluk individual. Mengapa? Karena meskipun manusia membutuhkan bantuan orang lain, menerima ataupun meminta bantuan dikembalikan pada kehendak individu tersebut. Benar kan? Hingga saya sampai pada satu kesimpulan bahwa bagaimanapun dan dengan siapapun kita berjalan saat ini, pada akhirnya kita tetap berakhir sendiri. Hingga mati.

Berdiri sendiri sesungguhnya adalah ketakutan terbesar setiap individu. Takut dicaci, dimaki, di-cap aneh, dan lain sebagainya. Maka, orang-orang yang mampu berdiri sendiri dengan segala resikonya adalah orang hebat. Mereka bertahan meski bagaimana pun angin menerjang. Orang-orang yang berdiri sendiri bertahan pada podium prinsipnya, tidak peduli tiada teman, tidak peduli dicibir lawan.
.
.
.
.
It's tough. But life goes on. 
People don't care about the way you live, they just see you based on your mere appearance. 
They hate, they sneer, but they don't really know you.
So self, when your time to be alone came, just toughen up and keep living!



Note:
This post is intended to be an encouragement note for my very own self.
Share:

Wednesday, September 27, 2017

Menghitung Waktu

Ternyata bulan September sudah hampir habis dan Jakarta baru mulai dirundung gerimis.

Halo semua! Saya harus mulai dengan mengatakan tidak tahu harus bagaimana menggambarkan bulan ini. Rasanya bulan ini berlalu begitu saja tanpa ada artinya. Rasanya lagi-lagi waktu berjalan cepat meninggalkan saya. Sebagian besar hari dalam bulan ini saya habiskan di rumah, mengerjakan proyek serabutan, juga melamar pekerjaan kesana-sini. Ah, juga mendampingi mbah uti (mbah putri-Jawa) yang kini tak lagi ada di sisi.

Meninggalnya mbah uti merupakan satu peristiwa besar bagi saya di bulan ini, ah mungkin di sepanjang hidup saya tepatnya. Kepergian beliau menjadi penanda rumah yang lebih lengang dan sepi. Juga menjadi awalan kewajiban mengunci rumah tiap hari. Tidak seperti mbah akung (mbah kakung-Jawa) yang pergi mendadak, mbah uti pergi dengan sakit hingga akhir hayatnya. Hal yang membuat saya dan keluarga mau tak mau menyiapkan diri sebelumnya. It was another gloomy Tuesday, I should say.

Banyak yang berlarian dalam pikiran saya setelahnya. Menjadi pengangguran di rumah yang sepi merupakan sebuah penjara tersendiri. Tapi mungkin ini merupakan salah satu cara introspeksi. Sudah dua minggu sejak mbah uti tidak disini lagi. Sudah satu bulan berlalu sejak saya resmi lulus dan merasa kangen kampus. Sudah empat tahun berlalu sejak saya lulus SMA dan memiliki teman-teman dekat dari dunia maya yang kemudian berpisah dengan cepatnya. Sudah sepuluh tahun sejak saya bertemu guru-guru favorit saya di SMP dan mengingat satu hari ketika kecelakaan motor seorang siswi menjadi berita yang begitu pedihnya. Sudah dua puluh satu tahun sejak saya lahir dan masih  juga tidak berguna bagi bangsa.

Hahaha saya ingin tertawa sedih jika mengurutkan waktu ke belakang seperti ini. Rasa-rasanya tidak ada pencapaian yang dapat dibanggakan selama 21 tahun saya hidup di dunia. Rasa-rasanya saya hanya menghabiskan pasokan oksigen yang tersedia di bumi saja tanpa memberi andil kebermanfaatan di atasnya. Ya Allah, ampuni hamba-Mu yang satu ini ya. Semoga setelah ini ada hal-hal baik yang mengalir dari diri ini sampai tiba akhir waktunya. Aamiin.
Share:

Monday, August 14, 2017

Menginsyafi Kehilangan

Sudah 4 hari berlalu sejak saya kehilangan pie susu. Iya pie susu, kalian tidak salah baca. Saya kehilangan pie susu saya di bandara karena kecerobohan saya sendiri, yang entah kenapa sangat skip sebelum naik bus damri dan baru ingat satu jam setelahnya. Pie susu itu, yang merupakan sedikit buah tangan dari hasil seminggu terpanggang matahari Bali dan Lombok, sirnalah sudah. Merasa bersalah tentu, karena niat saya untuk memberikannya pada teman dan keluarga tentulah harus batal pula. Saat itu, yang bisa saya lakukan hanya tertawa, tertawa menyadari dan menyesali betapa cerobohnya saya sebagai seorang manusia.

Tapi ada satu hal lain yang saya sadari saat itu (selain kecerobohan saya yang ternyata parah), bahwa kehilangan tidak melulu harus melalui perantara. Bahwa kehilangan tidak melulu harus melalui orang lain. Dan bahwa kehilangan tidak selalu berarti ada yang dicuri, namun bisa juga disebabkan oleh diri sendiri. Saat sesuatu ditakdirkan untuk hilang dan pergi, maka hilanglah, maka pergilah. Tak peduli dengan cara sekonyol dan sesepele apapun kelihatannya.

Semoga apa-apa yang hilang, baik yang telah diambil dari dan/atau ditinggalkan oleh kalian dihitung sebagai pahala keikhlasan.

((dan semoga saya tidak ceroboh lagi))

Ps: As I also post on my tumblr
Share:

Wednesday, July 12, 2017

Tentang Nikah Muda

Okay, hi again and good morning! It's only quarter past six here and I feel like writing something about this. Random banget sih, tapi yaudahlah ya. Here they are.

Lolos dari mulut harimau, masuk ke sarang buaya. Mungkin begitu ya jika mau diibaratkan pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang sekitar tentang hidup kita. Setelah "kapan lulus?", pertanyaan selanjutnya buat saya dan teman-teman yang baru keluar dari mulut harimau ini (re:baru lulus kuliah) adalah "kapan nikah?". It's become a common question your family would ask after this, trust me. Or at the very least, "pacarmu mana?"

Pertanyaan keluarga kayak di atas itulah yang sering dirisaukan oleh orang-orang seumuran saya, berawal dari candaan eh lama-lama kepikiran. Nah apalagi sekarang nikah muda di Indonesia sedang tren. Yah, tau sendiri lah gimana sikonnya kalo sesuatu lagi happening; semua orang iri, semua orang baper, semua orang  mau begitu. Semua orang mau nikah muda.

Hal yang terjadi selanjutnya adalah tersebarnya quotes-quotes dan kartun-kartun gadis yang "minta dihalalkan". Gambar-gambar ini seakan menjadi doktrin bagi yang membaca agar cepat-cepat menikah, agar tidak berzina, dan sebagainya. Intensinya bagus, sungguh. Apa yang salah dari menaati aturan agama kan? Tapi sayangnya yang sering dilupakan adalah hal yang justru paling penting: kesiapan mental dan materi

Untuk laki-laki, menikah bukan hanya soal ena-ena secara halal sob, tapi juga soal memberi nafkah yang cukup untuk keluargamu. Itu kewajiban suami loh. Nah sekarang, jika secara materi belum mampu kamu cukupi, haruskah memaksakan menikah? Jika dalihnya adalah membangun rumah tangga dari nol, saya angkat topi untuk itu, hanya jika mentalmu sudah siap. It took years to build a stable career dan menunggu bukanlah pekerjaan yang mudah. Benar kan? Sudah siapkah bertanggung jawab atas istrimu? Sudah siap hidup bertahun-tahun dengan orang yang sama? Sudah siap menjadi imam yang baik dengan bekal agama yang cukup? Jika iya, silakan lanjut. Jika belum, lebih baik jangan main-main deh. Menikah tidak sebercanda itu.

Untuk para perempuan, guys jangan mudah terpicu oleh yang dengan mudahnya bilang minta dihalalkan. Kita punya hak untuk jadi lebih baik daripada ini. We deserve to have higher education and stabilize our own money. Meski terdengar agak feminis, tapi saya meyakini bahwa itu benar. Untuk jadi seorang istri dan (terutama) seorang ibu yang baik di masa depan, a woman should be well-educated. Sehingga pikirannya luas dan terbuka, dapat melihat dari berbagai sudut pandang, serta dapat mengambil keputusan yang paling baik bagi anak-anaknya kelak. Saya tidak mengatakan bahwa suami tidak memiliki andil dalam hal ini, namun agar setidaknya perempuan memiliki pilihan dan pertimbangan sendiri untuk diajukan dalam diskusi dengan sang suami nanti. Well, semua kembali lagi pada kesiapan mental dan materi. Sudah siapkah kamu menikah? Menghabiskan waktu bertahun-tahun dengan orang yang sama? Sudah siapkah menjadi tempat suamimu berpulang dan bersandar? Sudah siapkah jika suamimu nanti belum mampu memenuhi kebutuhan tersiermu? Sudah siapkah menjadi seseorang yang hidupnya terikat dengan keputusan-keputusan suamimu? Karena ketika menikah, baktimu pindah pada suamimu, bukan lagi pada ibumu.

Sekali lagi, saya ingin menegaskan bahwa saya bukan menentang konsep nikah muda. Sama sekali bukan. Hanya saja dari yang saya lihat sekarang, menikah seolah merupakan hal gampang yang tidak perlu banyak pertimbangan. Maka, sebenarnya tulisan ini dibuat agar menjadi refleksi bagi yang mudah baper akan teman-temannya yang menikah duluan padahal umurnya sama, juga refleksi bagi diri saya sendiri sebagai seorang perempuan. Ingatlah selalu bahwa mereka yang menikah duluan (dan masih muda) mungkin telah memiliki pertimbangan yang matang juga telah siap baik secara mental dan materi. Dan yang paling penting di atas segalanya, telah diniatkan untuk mencari ridho Allah.

Pintar lah memilih suamimu, karena dia adalah kunci masuk ke surga-Nya.
Bijaksana lah memilih istrimu, karena dia adalah sebuah tanggung jawab yang bisa menyeretmu ke neraka-Nya.

(Intinya sama-sama berat guys, jadi kalo belum siap mendingan benerin diri sendiri aja dulu HEHE bye!)
Share:

Thursday, June 15, 2017

DONE!

Tulisan ini merupakan bagian dari proyek menulis perjalanan mendapatkan gelar Sarjana Sains pada program studi S1 Geografi Tahun 2016-2017. Tulisan ini ditulis oleh ©faizahfinur dan akan di-update selama proses penulisan skripsi tanpa waktu yang pasti.

---


HYAAAAA! FINALLY! Alhamdulillahhi rabbil 'alamin, selesai juga sidang sidang ini. The (unofficial) title of bachelor of science is now mine! Hehe. Posting ini sekaligus menandakan selesainya tulisan dengan kalimat pembuka yang sama di atas. Butttttt the struggle isn't yet done. Revisinya masih banyak banget lol terutama dari bapakku tercinta. Serta gelar unofficial yang harus disegerakan menjadi official dengan bikin revisi, nge-upload ke perpus, ikut konferensi internasional, dsb dsb. Ribet ya. Seribet itu memang fakultas saya. HHHHHH SIGHING DESPERATELY.

Satu yang pasti adalah saya bersyukur dengan sangat kepada tuhan saya yang maha pemurah dan pengasih karena sudah meloloskan saya dari lubang jarum ini. THAT WAS DEFINITELY A SUPER HARD STRUGGLE I'VE EVER OVERCAME. Tapi yah, mungkin hanya saya. Orang lain tidak. Who knows. I won't talk preach about how I finally got here because you all knew how the thesis irked me, somehow. 

Malah mungkin sebenarnya ini keajaiban dan berkah ramadhan ya karena the thesis defense didn't go smoothly, I would say. It's even way far of being smooth. What to expect from countless false-answered and unanswered questions? 

That's why I think it's a work of divine thing. Prayer. Countless prayers from my mom and dad and friends and maybe people I didn't realize have prayed for me. Prayer works every time and every where. It only isn't always granted in way we want it to be. 

So, I sincerely thank you. Thank you for all the prayers you wished me luck with. I can't thank you enough for that. May Allah repay it for me :')
Share:

Tuesday, June 6, 2017

Satu Langkah Lagi

Tulisan ini merupakan bagian dari proyek menulis perjalanan mendapatkan gelar Sarjana Sains pada program studi S1 Geografi Tahun 2016-2017. Tulisan ini ditulis oleh ©faizahfinur dan akan di-update selama proses penulisan skripsi tanpa waktu yang pasti.

---


This post is all about the buzzing sounds of my head and heart.

Bentar lagi gue sidang. Paling nggak seminggu lagi. Tapi mau nangis. Gue takuuuut banget. Setakut itu. Setelah kemarin dibantai waktu seminar draft, rasa-rasanya sudah ingin menyerah (lagi). Tapi sayang banget kan kalo berhenti sekarang? Sekali lagi coy. Tapi takut ga lulus. Takut ngulang sidang. Gimana dong? Gimana kalo usaha gue belom maksimal? Gimana kalo revisi gue kemarin itu masih salah banyak? Masih dianggep asal-asalan? Gimana kalo pembimbing gue nanti marah? Terus mojokkin gue lagi? Jatohin gue lagi? Bilang gue nggak pernah bimbingan dan anak bimbingan paling bandel diantara yang lainnya? Gimana dong? Gimana kalo penguji gue masih akan mengernyitkan dahinya ngeliat skripsi gue? Gimana kalo ternyata ada halaman yang hilang? Gimana kalo peta gue masih ga bener? Gimana kalo peta gue nggak informatif? Gimana kalo gue dibantai lagi buat kedua kalinya? Gimana kalo-

Iya, itu isi kepala saya dari beberapa hari yang lalu. Ingin kabur, ingin menyerah, serta sejuta gimana kalo yang berseliweran tanpa ada habisnya. Ya tuhan, saya depresi sekali. Saya butuh distraksi. Tapi rasanya distraksi macam apapun juga tidak akan berhasil di saat seperti ini. It keeps coming, again and again, haunting.
Share:

Wednesday, May 17, 2017

Ayo Siap-Siap!

Tulisan ini merupakan bagian dari proyek menulis perjalanan mendapatkan gelar Sarjana Sains pada program studi S1 Geografi Tahun 2016-2017. Tulisan ini ditulis oleh ©faizahfinur dan akan di-update selama proses penulisan skripsi tanpa waktu yang pasti.

---

Saya sedang mempersiapkan diri untuk 'dibantai'. Mempersiapkan pohon penelitian saya untuk dicungkil hingga ke akarnya, karena itu yang akan dilakukan oleh penguji saya, kata mereka. Amunisi saya tidak banyak, tapi semoga cukup kuat. Apalah arti saya yang membaca banyak buku dengan pengetahuan yang minim, pengetahuan yang hanya diselipkan sedikit-sedikit dengan cara yang menyenangkan dibandingkan mas dosen penguji saya yang membaca banyak buku dengan pengetahuan hampir di setiap halamannya? Mungkin jika ingin diibaratkan dengan benda, panjang pengetahuan saya hanya sepanjang seekor belut, sementara pengetahuan mas nya sepanjang usus manusia diuraikan atau 30 cm vs 8 meter (more or less). Oke, pengandaiannya mulai aneh ya, but that's the truth.

Mempersiapkan diri untuk dibantai berarti mempersiapkan mental mendengar kata-kata pedas dan kritikan-kritikan tajam yang dilontarkan. Jangan sampai gentar, jangan sampai goyah, apalagi menangis. Poker face, till the end. Aha, hard thing to do.

Tapi di atas segalanya, saya baru berpikir bahwa selama skripsi, motivasi untuk dekat dengan Tuhan jadi bertambah. Atau bisa jadi malah berkurang. Bertambah untuk merayu Yang Maha Segala agar melancarkan segala prosesnya atau berkurang karena sudah bosan meminta dan beranggapan bahwa berdoa tidak lagi berguna.

Bohong jika saya bilang saya selalu optimis sejak penulisan ini dimulai. I cried zillion times already, instead. Iya, ini memang babak kehidupan paling penuh drama dari sepanjang life stage yang pernah saya jalani. Saya tidak tahu apakah akhirnya akan worth it, but I really hope so.

Saya sudah pasrah, apapun yang terjadi pada seminar hasil saya minggu depan. Satu hal yang saya harapkan adalah jika pada tahap ini saya telah menjadi manusia yang lebih baik dalam hal apapun walaupun hanya sedikit, semoga kebaikan itu terus ada dan tetap berlangsung hingga tahun-tahun berikutnya.
Share:

Sunday, May 14, 2017

Back to Square One (Again)

Tulisan ini merupakan bagian dari proyek menulis perjalanan mendapatkan gelar Sarjana Sains pada program studi S1 Geografi Tahun 2016-2017. Tulisan ini ditulis oleh ©faizahfinur dan akan di-update selama proses penulisan skripsi tanpa waktu yang pasti.

---

Ahaha. Rasanya ingin menangis untuk kesekian kalinya. Back to square one for the 2nd time. H-seminggu jadwal seminar draft dan bab 5 gue harus dirombak ulang. Wow. Sebenarnya sudah tidak ingin menceritakan ini disini, but well it's said to be "proyek menulis perjalanan mendapatkan gelar sarjana", so yeah whatever. But this is gotta be short because I damn have to write my revision for the deadline tomorrow. Gdi.

Salahnya dimana? Ya salah dimana-mana. Ternyata dari awal persepsi gue udah salah. It's a type not a pattern. Damn. Hhhhhh jika ingin mengingat bagaimana furious nya dosen pembimbing 2 gue, rasanya gue pengen terjun ke laut aja. No, ke jurang kali ya. Lagian kenapa sih ga dari kemarin-kemarin nyadarinnya....like....gimana kek ya (mode menyalahkan pembimbing: on). I've been this scared and frantic for the past months yet here I am trapped between 2 pembimbing yang bilang kalo gue mikirnya lama. Arghhhhh kesel. Maksud gue tuh ya how the hell am I supposed to know what they're talking about if they're just keep saying "ini anak ga bakal ngerti pake ini itu lalala" like just how???!?!?!? Now, from head to head: they have damned graduated, with master degree, I should add. They have this numerical way of thinking (both great in quantitative methods), BUT ME? I'm not a fan of numbers, let alone statistic or quantitative methods. Sure I could learn, but the way they put it just??????

HHHHHHH GOD PLEASE HELP THIS HELPLESS GIRL T__________T
Share:

Sunday, April 30, 2017

Looking for Scapegoat

Untuk semua kesalahan-kesalahan yang dilakukan tanpa sengaja,
Juga untuk semua kekhilafan-kekhilafan yang tercipta saat diri dibuai rasa manja,
Kita membutuhkan kambing hitam.
Ya, kambing hitam, si kambing spesial.

###

Manusia memang tempatnya salah dan dosa. Selalu saja ada hal yang tidak kita syukuri saat melakukan sesuatu. Kadang berupa kesalahan yang muncul tanpa bisa kita kendalikan, atau malah kesalahan yang dilakukan oleh diri sendiri. Sadar atau tidak. Diakui atau tidak. Ya, manusia bisa jadi makhluk pengecut seperti itu. Disini lah si kambing hitam diperlukan. Menumpahkan kesalahan pada kambing hitam adalah hal terbaik yang bisa dilakukan seseorang untuk menghindar dari konsekuensi yang harus ditanggungnya, atau paling tidak, meringankan rasa bersalahnya.

Saya percaya bahwa setiap orang memiliki nurani. Nurani adalah pengingat. Pengingat setiap kesalahan yang kita lakukan, menimbulkan perasaan gelisah dan tak nyaman. Hanya terkadang, pengingat itu diabaikan. Tertutup pikiran-pikiran picik dan niat jahat yang bersumber dari setan.

Kambing hitam tidak harus berbentuk binatang. Ia dapat berwujud manusia, benda, atau malah hal-hal tidak kasat mata. Kambing hitam adalah kiasan paling fleksibel yang pernah saya dengar, sebuah excuse untuk kesalahan yang muncul pada hal-hal baik yang kita lakukan.

Saat bangun kesiangan, kita menjadikan jam beker yang tidak berbunyi sebagai dalih.
Saat telat datang ke sebuah acara yang dijanjikan, kita menjadikan macet sebagai alasan.
Saat sebuah rahasia bocor keluar, kita menjadikan teman yang padanya kita percayakan rahasia tersebut sebagai lawan.

Jam beker, macet, dan teman tersebut adalah kambing hitam. Kambing hitam untuk bangun kesiangan yang kita lakukan sendiri, kambing hitam untuk telatnya kedatangan yang mungkin disebabkan oleh tidak diprioritaskannya acara tersebut, kambing hitam untuk rahasia yang bocor pada orang lain. Padahal semuanya salah diri sendiri. Tidak akan bangun kesiangan jika tidak tidur larut malam. Tidak akan telat datang jika acara tersebut adalah acara yang dianggap penting dalam hidup kita. Tidak akan bocor sebuah rahasia jika hanya diketahui oleh diri sendiri, karena rahasia adalah tawanan diri, tak akan bisa kabur jika keberadaannya saja tidak diketahui.

Pada kenyataannya, kita masih hidup dengan mencari si kambing untuk kenyamanan diri sendiri. Hidup enak dengan sejuta nikmat tanpa memikirkan orang lain adalah hal paling indah yang bisa dimiliki seseorang. Mungkin.

Hanya saja, hati-hati. 
Resikonya, nurani kita mati.
Share:

Saturday, April 22, 2017

(Review) Mengunjungi Perpustakaan Nasional (Perpusnas RI)

If you could dream big enough to be achieved, then run. Chase it to the edge of the world. Don't let it slip away and just go.


Saya merupakan salah satu orang yang masih membiarkan buku bergeletakan di atas tempat tidur ketika saya pergi tidur. Jangan salah paham, bukannya saya tidak menyayangi buku-buku saya dan menelantarkannya begitu saja. Saya menyayangi buku-buku saya sebagaimana ibu menyayangi anaknya. Hahaha lebay banget sih, but true. Sedih banget kalau lihat buku-buku rusak dimakan rayap karena udah terlalu tua atau crumpled kena air hujan yang bocor dari atap rumah. Atau jika buku yang saya miliki dipinjam seseorang dan kembali dengan keadaan yang lebih buruk daripada sebelumnya. Wah, tidak termaafkan rasanya.

Dengan kondisi macam ini, berkunjung ke perpustakaan dan toko buku adalah salah satu kesenangan tersendiri. Sebelum berangkat, tentu saja saya berharap banyak ketika berkunjung ke Perpustakaan Nasional. I mean, hellow, just how many books were in there? It must be heaven! Membayangkan berdiri dikelilingi buku-buku dengan aroma yang khas selalu terasa menyenangkan. But, guess what I got there? Saya jadi mau ketawa miris :') Ternyata sistem pelayanannya adalah sistem tertutup, in which you gotta search the book you look for first, fill the catalogue card, go to the specific floor where your book located, give the catalogue card to the so-called-librarian there, and wait for them to bring the book you asked. BORING. Apa coba yang menyenangkan dari nunggu buku yang diambilin orang lain?

Menurut saya, sistem pelayanan tertutup tuh nggak banget. Selain pengunjungnya nggak bisa milih-milih buku yang dia mau sendiri, pengunjung juga harus tahu buku apa yang mau dia cari dengan spesifik. Sekarang gini, jika misalnya saya memiliki tugas yang butuh banyak referensi dan tidak tahu buku mana yang lebih bagus dari yang mana, bagaimana? At the very least, ketika kamu berada pada perpustakaan dengan sistem terbuka dimana pengunjung bebas memilih buku apapun yang ia mau, kesempatan itu akan lebih besar terbuka. Pengunjung juga tidak perlu repot bolak-balik turun naik berlantai-lantai (meski menggunakan lift) hanya untuk mencari dan mengambil kartu katalog yang terletak di lantai 2. Repot banget deh pokoknya. Satu nilai minus lainnya dari sistem tertutup, kelihatan banget pegawainya nggak punya kerjaan lain selain ngambilin buku yang dipesan :") lol

Saya tidak melepaskan diri dari kemungkinan alasan perpustakaan ini memiliki sistem tertutup. Yah, mungkin saja buku-bukunya terlalu mahal untuk dipegang tangan-tangan berminyak pengunjung yang baru selesai beli gorengan, meski pada kenyataannya saya tidak juga melihat pegawainya menggunakan sarung tangan khusus, sih. Atau mungkin juga karena buku-bukunya sudah terlalu tua dan menjadi koleksi langka. Well, kalau untuk yang ini, saya sangat maklum. Siapa juga yang mau benda koleksi nya rusak, ya kan?

Kesimpulannya, saya pribadi berpendapat bahwa tentu saja banyak yang malas ke perpustakaan jika harus melewati proses serepot ini untuk meminjam sebuah buku. Tadinya saya berpikir, cukup dengan memiliki kartu anggota perpustakaan dan yak lancar jaya meminjam buku. Padahal pada kenyataannya saya sampai harus menahan malu karena nekat ingin masuk ke rak-rak tempat penyimpanan buku yang terbatas untuk pegawai saja. What to say, I'm a first-timer HAHAHA sampai dilihatin semua orang. That was how I found it has closed system. An embarrassing experience, I know. But worth it, I guess?

After Taste: nggak lagi-lagi deh saya ke Perpusnas. Males. Sistemnya begitu, cara pegawainya menegur saya juga nggak menyenangkan sama sekali. Dia pikir semua orang udah pernah ke perpusnas apa ya?! (hashtagkesel)

Best Part: nggak ada. Not impressive at all. Told ya.
Share:

Draft: Sebuah Hasil

Tulisan ini merupakan bagian dari proyek menulis perjalanan mendapatkan gelar Sarjana Sains pada program studi S1 Geografi Tahun 2016-2017. Tulisan ini ditulis oleh ©faizahfinur dan akan di-update selama proses penulisan skripsi tanpa waktu yang pasti.

---

Memasuki penghujung bulan April, satu per satu teman-teman saya sudah mulai memulai langkah selanjutnya menuju kelulusan; melaksanakan seminar draft atau hasil penelitian. Di departemen saya, kamu perlu melakukan 2 tahap seminar sebelum melakukan sidang akhir, yaitu seminar proposal dan seminar draft. Meskipun pada tahun ini, yang didominasi angkatan saya, melaksanakan seminar proposal tidaklah wajib. Melaksanakan seminar proposal atau tidaknya ditentukan oleh pembimbing dan penguji mahasiswa yang bersangkutan. Hal ini (sepertinya) dikarenakan jumlah mahasiswa angkatan saya jauh lebih banyak dibandingkan angkatan sebelum-sebelumnya.

Saya sendiri beserta teman-teman yang memiliki pembimbing yang sama tidak melaksanakan seminar proposal. Jika tidak melaksanakan seminar proposal, maka kamu harus menghampiri satu per satu dosen pembimbing dan pengujimu untuk meminta nilai kelayakan atas proposal yang kamu  ajukan, karena pada dasarnya seminar proposal dilakukan untuk menyetujui atau menolak ide yang kamu ajukan. Jika proposalmu sudah disetujui, dengan atau tanpa revisi, langkah selanjutnya adalah jalan ke lapangan! Jika mayoritas data yang kamu gunakan adalah data primer, tahap ini adalah tahap yang paling penting. We never knew what fact we could enconter on field, right?

Setelah jalan ke lapangan atau melakukan survei, tinggal menyusun dan mengolah data-data yang kamu dapatkan, menyambungkannya dengan teori, kemudian voila! Bab 5 berisi hasil dan pembahasan ide milikmu sudah selesai! Hehehe, terdengar sangat gampang ya, padahal pada kenyataannya riweuh pisan. Ya bingung ini, bingung itu, pembimbing satu bilang begini, pembimbing dua bilang begitu. Revisi, revisi, revisi, revisi lagi, revisi terus. Satu kata yang nggak akan habis terdengar sampai kamu resmi pakai toga.

Banyak orang (di departemen saya) berkata bahwa seminar draft adalah tempat "pembantaian" yang sesungguhnya. Jika dipikir-pikir, memang benar sih. Ketika seminar draft, hasil dari olahan data juga survei yang kamu lakukan masih mentah, belum pernah dilihat oleh dosen pengujimu, yang mana akan sedikit banyak berpengaruh pada mental mahasiswa yang sedang diuji. Jika kamu sudah berhasil melewati seminar draft dengan lancar, maka pada sidang sesungguhnya kamu hanya tinggal menjelaskan kembali apa yang sudah kamu jelaskan pada seminar draft sebelumnya, lengkap dengan revisi-revisi yang sebelumnya sudah diberikan. Tapi jika seminar draft milikmu aneh-aneh, baik dalam pengertian banyak hal yang tidak disetujui atau pun kamu menjawab pertanyaan dengan jawaban yang tidak sesuai konteks, you're doomed. Nilai seminarmu bisa jeblok, lalu dosen pengujimu akan memasang muka furious yang bikin jiper waktu mau kamu samperin. Yah, saya juga sebenarnya belum ngalamin sih. Denger cerita orang-orang aja ini mah, hehe.

Well, semoga skripsimu dan skripsi saya dimudahkan prosesnya!

Share:

Monday, April 10, 2017

Shokugeki no Soma (Food Wars) Review



Hi! So, in the middle of the hectic weeks of final thesis draft's deadline, I'm still sparing time for reading manga. Yup, that is Shokugeki no Soma or Food Wars. This manga also had been adopted into anime with the same title. The anime has 2 seasons aired, the first has 24 episodes and the second one has 13 episodes. Well, here I am giving a simple review for the sake of my inner fangirl thing.

As its title, this manga tells about a boy named Yukihira Soma who owned a family diner with his father, Yukihira Joichiro (or Saiba Joichiro when he's a kid). The restaurant was well-known for its delicious food, despite located in a small district. Soma always looked up to his father, and had tempted endless cooking battles with Joichiro was always on the winner side. Joichiro was a top chef among the world class restaurants, but Soma didn't know about this thing until the day he met his father later. Before going around the world again, his father sent him to enter Tootsuki Tea Ceremony and Cooking Academy, a world class culinary school. This school had "fierce" curriculum, with its student's expulsion at stake for a little mistake done. As a transfer student, he made a whole school his enemy on his first day there, by saying he's gonna be a first-ranked student in the academy. Knowing nothing about the school he was in, Soma continued cooking on and on, facing some upperclass students in the tournament, and slowly being acknowledged by everyone but Nakiri Erina, a girl known as The God-Tongue for her divine palate. Erina, being a tsundere that she was, refused to say Soma's dish was good. These two kept quarreling whenever they met. Erina's acknowledgement for his dish was added to Soma's purpose in cooking, other than defeat his father.

What I like about this anime, after a bunch of handsome guys (of course!), is their strong and interesting characters. The main character, Soma, is the one I'll pay my respect to. This guy doesn't know the term "giving up", he keeps aiming for the top, to beat his father someday in a cooking battle. He tried harder than everyone else, did countless trial and error, and made cooking a fun activity. He loved cooking so much that we all could see it bare. The plot is also another thing I'll mark down. It's getting better and better with different arcs while still on the line of Soma's way to become the best.

Again with a terrible review, but this is what keeps me sane from the final thesis deadline pressure HAHAHA hm another excuse but hey it's true! We all have that one thing that keeps us sane at the most crucial point, right?

After Taste : shame on me for being so easily discouraged and given up :X well despite being hungry, it sure has an important value to chase your dream and not easily give up. Hm, also beware to fall in love with those handsome and skillful boys!

Best Part : Soma-Erina's cute interaction! I ship this two sooo hard to the point I'll hate them so much if they're not an item at the end of the story (lol sorry but true)

Watch Out : ecchi part! Lol yeas this is an ecchi manga. To be very honest, I personally think those ecchi parts on first season anime are too much ;;; I mean, c'monnn I know that the foods are delicious without including those parts. Well, those might be needed to picture the foodgasms, but still a bit disturbing lol. Fortunately, the second season didn't have as many ecchi scenes as the first one and hey it's doing just fine!
Share:

Wednesday, March 22, 2017

Facing an Enemy

Tulisan ini merupakan bagian dari proyek menulis perjalanan mendapatkan gelar Sarjana Sains pada program studi S1 Geografi Tahun 2016-2017. Tulisan ini ditulis oleh ©faizahfinur dan akan di-update selama proses penulisan skripsi tanpa waktu yang pasti.

---


As you would have already known, writing final thesis is nowhere near easy. I have said it several times, ain't I? Yet still, the thought creeped into my mind frequently. Pada kenyataannya, setiap individu pasti punya musuh yang harus dikalahkan. Tidak hanya saat skripsi, namun juga dalam kehidupan sehari-hari. Musuh besar utama setiap orang pasti : diri sendiri. Sadar atau pun tidak, diri kamu adalah katalis semangatmu. You choose your own path, you create your own destiny. Great, I'm so good at making motivational words, yet the words fail on me.

Well, speaking about enemy, musuh-musuh yang harus dihadapi saat skripsi seperti bereproduksi. Atau jika tidak bereproduksi, berevolusi. Bukan hanya diri sendiri yang harus dihadapi, namun juga dosen pembimbing dan penguji yang rewel, ngurus izin penelitian disana-sini yang menyebabkan harus bertemu orang-orang yang (kadang) tidak menyenangkan, hasil survey yang tidak sesuai ekspektasi, hingga pengolahan data yang salah. Bersyukurlah kamu-kamu yang mampu menghadapi musuh-musuh tersebut dengan baik.

Bagi saya sendiri, lagi-lagi masalah internal. This body of mine seemed to refuse working together. Entah dengan alasan apa, badan saya sekarang jadi lemah dan gampang sakit. Belum ditambah penyakit psikologi berupa rasa malas, demotivasi, hingga stres yang makin menumpuk. If you want to know, there's always a spark of spirit in me every time I see my friends work on their thesis. A spark that's not big enough. That's what I'm working on right now, making it into a big flame. So that I could get this done soon. But talking is always easier, isn't it? It feels worrisome to not doing anything for the past 2 weeks. Yet, I don't really want to. Meh, such a complicated soul you have there, gurl.

Let's pray hard and keep fighting! May the odds be in your favor, all!
Share:

Saturday, March 11, 2017

Next, next, next!

Tulisan ini merupakan bagian dari proyek menulis perjalanan mendapatkan gelar Sarjana Sains pada program studi S1 Geografi Tahun 2016-2017. Tulisan ini ditulis oleh ©faizahfinur dan akan di-update selama proses penulisan skripsi tanpa waktu yang pasti.

---


"Anak-anak bimbingan, usahakan bab 5 selesai awal April ya. Biar saya bisa baca." Tulis pembimbing skripsi saya di grup bimbingan pada suatu hari di awal minggu ini. Membacanya hanya menghasilkan sebuah cengiran di wajah saya. Dengan sisa waktu 3 minggu dan belum ke lapangan, apa lagi yang bisa saya katakan?

Semakin kemari rasanya sudah semakin bisa bersahabat dengan tekanan. Rasa-rasanya sudah tidak terlalu dipikirkan. Atau mungkin (pada akhirnya) hanya berhasil diabaikan. Entahlah. Satu hal yang pasti, saya tidak sendiri. Atau setidaknya, saya berpikiran begitu. Hehehe. Diskusi-diskusi lucu bersama pembimbing serta kritikan-kritikan pedas menusuk dari penguji toh harus ditelan juga. Meski harus tergugu sesaat karena bingung harus menjawab apa, sampai akhirnya hanya bisa menanggapi dengan senyum saking tidak ada ide jawabannya. 

Wah, menjadi mahasiswa semester akhir memang super, ya. Bolak-balik sana sini, diskusi, mencari referensi, mengambil data, mengetik ribuan kata demi membuat satu buku bernama skripsi yang jika sudah tiba masa kadaluarsanya toh hanya akan jadi onggokan sampah yang dibakar di halaman belakang. Benar loh, memang begitu kenyataannya. Memangnya mungkin semua skripsi-skripsi dari puluhan tahun yang lalu itu tetap disimpan? Kalau tidak memenuhi rak, ya kertasnya sudah rapuh dimakan rayap, ujungnya tetap saja dibakar, atau paling bagus, jadi bungkus cabe. Hehe.

Meski begitu, mahasiswa toh tetap jatuh bangun membuatnya. Karena katanya, itu syarat kelulusan. Dan selama peraturannya belum berubah, jatuh bangun berulang kali tetap harus dilakoni kan?
Share:

Sunday, March 5, 2017

Tentang Perpisahan

Kata orang, jika ada pertemuan, maka ada perpisahan. Durasinya juga beragam, bisa hanya beberapa detik, jam, hari, minggu atau malah puluhan tahun. Kita tidak pernah tahu. 

Menjadi makhluk ciptaan Tuhan membuat kita seharusnya sadar bahwa pertemuan-pertemuan kita dengan orang lain adalah sesuatu yang sudah ditentukan, atau orang-orang biasanya menyebutnya; takdir. Dari pertemuan-pertemuan itu kita belajar dan merasakan sesuatu, entah hal baik atau pun buruk. Pertemuan yang tidak pernah disangka-sangka. Pertemuan yang akan berakhir dengan perpisahan.

Perpisahan, sebagaimana layaknya pertemuan, juga dirancang secara tiba-tiba. Pun sebab dari perpisahan sendiri, ada banyak macamnya. Ada perpisahan yang tidak kita sadari telah terjadi, seperti ketika berpapasan dengan orang asing di jalan, karena pertemuannya juga sama tidak disadarinya. Ada perpisahan yang terjadi secara baik-baik, karena pihak-pihak yang terlibat sudah saling sepakat untuk berpisah dan melanjutkan hidup masing-masing dengan agenda-agenda lain yang juga berbeda. Ada perpisahan yang dilakukan sepihak, akibat kekesalan dan emosi yang memuncak untuk beberapa saat. Ada pula perpisahan yang tidak dikehendaki; perpisahan selamanya. Perpisahan untuk menuju dunia yang lain, dunia yang abadi.

Perpisahan meninggalkan bekas. Mungkin senyum, luka, atau malah air mata. Meninggalkan senyum jika pertemuan itu membuatmu bertemu dengan orang yang menjengkelkan, meninggalkan luka jika pertemuan itu membuatmu sakit hati dan kesal, meninggalkan air mata jika pertemuan itu membuatmu menginvestasikan hatimu terlalu banyak dan dalam.

Namun, di atas segalanya, perpisahan adalah gerbang menuju pertemuan baru. 

Jika pada suatu hari nanti, kalau-kalau Tuhan mengizinkanmu bertemu kembali dengan orang yang dengannya kamu pernah berselisih paham, pernah menyakiti hatimu, juga membuatmu jengkel, maka tersenyumlah. Karena pertemuan yang kedua, bisa jadi, adalah sebuah refleksi, bagi hidupmu dan hidupnya. Semoga pada saat itu, kamu sudah memaafkannya dan dia sudah menyesali kesalahannya.

May, in the future, you meet (again) with ones you have quarrel with, in a better term.
Share:

Saturday, February 11, 2017

Jika Saya Punya Pacar

Di tengah-tengah segala kesibukan semester akhir yang rasanya semakin menekan, terselip undangan-undangan pernikahan teman dan kakak kelas. Wah ternyata saya sudah menginjak umur 20-an, waktu-waktu dimana kamu mulai melihat teman-temanmu satu demi satu memperkenalkan calon rekan seumur hidupnya, atau istilah bekennya, pacar. 
Saya tidak tahu apakah memiliki pacar pada umur segini memang perlu, sekadar untuk menemani pergi kemana-mana atau minimal jadi supir kamu. Saya juga tidak tahu apakah memiliki pacar dianggap sebagai parameter “lakunya” seorang perempuan atau tidak, namun yang pasti teman-teman saya sering merasa gelisah (walau dalam bentuk candaan) karena belum ada seorang lelaki pun yang mendekati dan berminat “menembak” mereka. Saya hanya tertawa menanggapi candaan mereka.
Saya bukan tipe perempuan yang pusing dengan hal-hal remeh tentang pencarian pacar. Buat saya, pacaran malah tampak sia-sia. Kenapa? Karena ikatannya rapuh, tidak pasti, tapi sudah ‘sok’ bersifat mengikat. Belum lagi segala tetek bengek tentang harus memberi kabar setiap jam, sedang ada dimana, dengan siapa, dan berbuat apa. Lama-lama jadi lagu kangen band, hehe. Ketika saya berkata begitu pada teman-teman saya yang memiliki pacar, mereka pasti akan berkata “ya lo nggak pernah pacaran aja. Nggak pernah ngerasain rasanya diperhatiin terus-terusan.” Jika mau su’udzon, mungkin belakangnya ditambahkan “kasian deh lo!” dalam hati masing-masing. Hehehe.
Bukannya saya tidak pernah berpikir bagaimana rasanya punya pacar, saya pernah. Sering malah. Namun berapa kali pun dipikir, saya tetap tidak menemukan sisi yang membuat saya berubah pikiran bahwa pacaran adalah hal yang “wah” sehingga mampu membuat saya berdoa “aku mau punya pacar ya Allah, please?”. Saya sering sekali membayangkan jika saya punya pacar, akan bagaimanakah sikap saya, apakah saya akan melakukan hal-hal yang saya pikir menggelikan sebelumnya, ribet bertanya ala lagu kangen band pada pacar saya, melarang pacar saya dekat dengan wanita lain, pergi setiap malam minggu dengan motor bersama pacar saya dengan posisi duduk yang menempelkan dada dengan punggung pacar seolah tak ada ruang lagi disana, atau pergi dengan mobil berdua saja. Hasilnya? Saya malah bergidik. Lagi dan lagi. Terlihat salah dan terbayang salah. Bahkan tidak jarang justifikasi pacaran dianggap cukup untuk melakukan hal-hal yang lebih dari itu. Duh na’udzubillah.
Pada akhirnya, saya tetap lebih memilih untuk menunggu yang pasti. Walaupun entah kapan datangnya, hahaha. Modalnya yakin pada Tuhan saya yang Maha Mengetahui, Allah azza wa jalla. Karena status “punya pacar” saja buat saya belum cukup mengikat secara kuat dan menyeluruh. Pacar masih bisa kabur, karena kita tidak tahu kapan hati orang berubah kan? Saya tidak bermaksud meng-imply kalau yang sudah menikah hatinya tidak bisa berubah, hanya saja menikah menunjukkan keseriusan yang berlangkah-langkah lebih maju dibandingkan hanya sekedar pacaran. Menikah berarti melibatkan banyak pihak, bukan cuma 2 pihak yang bersangkutan, sehingga jika pun ‘bubar’, keputusan bisa berkali-kali dipikirkan sebelumnya.
Hehe, lagi-lagi tulisan random ya. Well, this is stating my statement about this whole “pacaran” thingy. 
Selamat menunggu yang pasti-pasti! Jangan lupa sambil memperbaiki diri :)
Share:

Tuesday, January 31, 2017

Dengung-Dengung Pertanyaan

Tulisan ini merupakan bagian dari proyek menulis perjalanan mendapatkan gelar Sarjana Sains pada program studi S1 Geografi Tahun 2016-2017. Tulisan ini ditulis oleh ©faizahfinur dan akan di-update selama proses penulisan skripsi tanpa waktu yang pasti.

---


Bulan pertama di tahun 2017 sudah mencapai penghujungnya. Kegelisahan yang sama, perasaan yang sama, depresi yang sama. Saya sudah berhasil merevisi proposal saya, sudah. Mungkin karena itulah untuk beberapa saat saya lega dan lepas dari kungkungan depresi ini. Hahaha, namun rupanya Tuhan tidak membiarkan saya lolos begitu saja. Rasa itu kembali lagi ketika pembimbing saya tiba-tiba menanyakan sudah sejauh mana progres yang telah saya buat. Saya gelagapan, karena saya tidak benar-benar memikirkannya. 

Rencana awalnya, saya pergi ke lapangan saat liburan.
Kenyataannya, saya berdiam di rumah sebulan. Berusaha menghabiskan depresi yang menumpuk di pikiran.

Saya jadi sering bertanya-tanya, apakah setiap orang yang tiba pada stase ini memiliki tekanan sebesar yang saya miliki. Bertanya-tanya mengapa saya seperti ini, apakah ini pelajaran atau ujian atau malah peringatan karena kurang dekat pada-Nya. Lagi, pertanyaan-pertanyaan yang tidak kunjung terjawab. Pertanyaan-pertanyaan yang hanya berdengung di kepala dan tertinggal di hati. Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin saja mendapatkan jawaban saat tiba di akhirnya nanti.

Saya, pada akhirnya, tetap harus terus kan? Tidak bisa mundur lagi? Harus terus maju sambil mengevaluasi diri?

Selamat berjuang sekali lagi, diri saya! Semoga semua perjuanganmu diganjar setimpal oleh Allah :")
Share:

Saturday, January 7, 2017

The Time Has Come

Tulisan ini merupakan bagian dari proyek menulis perjalanan mendapatkan gelar Sarjana Sains pada program studi S1 Geografi Tahun 2016-2017. Tulisan ini ditulis oleh ©faizahfinur dan akan di-update selama proses penulisan skripsi tanpa waktu yang pasti.

---


It's 2017 and will be (hopefully) my last semester in college! So, here I am. Fucked up in the middle of damn-I-wanna-get-a-long-holiday and crap-I-have-to-do-my-thesis-revision-asap kind of thoughts. I need to finish this, I need to put this to an end, yet my heart still is slacking off. Or is it my brain? Oh well, whatever. It's just that I have done nothing since the end of the final test, unless watching animes. Yes. That's just how fucked up I am. 

At the end of this month, it's finally coming. My time. The time of my hardest struggle. God, I feel nuts. I feel like I can't do something right. It consumes me from the inside. I'm watching my friends went all the way round here and there. Yea, I do know they are all stressing out like me. Yet still, they managed it well. So well. I can't even understand my self for being this horribly terrified. It's not that I'm afraid of my trial lecturers, it's different. It's something else. Something I tried to figure out with no result up to this point. I also feel like crying is easier these days. The pressure sure is skilled, uh? To be able to make me this down is not an easy task to do. I'm not that soft-hearted kind of girl tho.

People said it's impossible until it's done, right? So yeah, I'll try to hold on a while longer. It's not like I have fallen to the bottom pit of my own darkness. Well, at least for now.
Share: