Sunday, November 22, 2015

Tentang Teman dan Pertanyaan yang Berseliweran

Satu postingan lain saat hati terus bergerak-gerak gelisah. This was supposed to be another review. Review tentang sebuah buku yang baru selesai gue baca dini hari tadi dan berhasil bikin air mata lumayan deras mengalir. Tapi gue memutuskan untuk menceritakannya sambil mengaitkannya dengan hidup gue sendiri.

Teman. Sebuah predikat yang diberikan pada orang-orang yang kita kenal, atau malah terpaksa kenal. Terpaksa disini berarti mau tak mau, suka tak suka, atau pendeknya takdir menggariskan kita berada dalam satu lingkungan yang sama. Lucu bukan ketika untuk urusan sekecil teman, Tuhan ikut campur tangan? Ah, Tuhan memang selalu teliti, tak peduli sekeras apa kita menolak, jika garis takdir sudah saatnya bersinggungan dengan orang tertentu maka tak bisa kita mengelak. 

Apakah setiap orang yang kita kenal dapat menjadi teman? Pada dasarnya, iya. Namun kembali lagi pada perspektif yang memandangnya. Ada orang yang menganggap orang lain teman saat ia merasa dapat mengobrol lebih jauh daripada sekadar nama. Ada juga yang menganggap saat nama saling disebutkan, saat itulah mereka menjadi teman. Ada pula yang menganggap orang lain teman saat ia dibantu ketika dalam kesulitan.

Gue sendiri ternyata kesulitan mendefinisikan arti teman. Yang gue tahu, teman tidak saling meninggalkan. Yang gue tahu, teman siap menarik saat kita akan jatuh, atau jika sudah terlanjur jatuh, maka ia akan menarikmu bangkit lagi. Teman adalah malaikat kecil lain yang dikirim Tuhan untuk membantu kita bertahan. 

Namun, jika ternyata teman sebaik itu, mengapa banyak pertemanan yang berujung perpisahan? Ego-kah sebabnya? Rasa bosan yang mendera? Atau pada akhirnya mereka menyadari bahwa teman itu fana?

Buku yang gue baca tadi pagi berkisah tentang reuni SMA sebuah kelas kecil terasing yang hanya berisikan 13 murid. Judulnya See You Again, pengarangnya Arini Putri. Buku sederhana yang lumayan menguras mata. Tokoh favorit gue namanya Angin. Nama yang sederhana dan tidak umum digunakan sebagai nama tokoh novel, namun mampu menarik perhatian gue lebih jauh. Angin adalah seorang anak broken home dengan ayah penjudi dan abang pengguna narkoba. Sangat dibenci oleh sang Ayah karena dianggap membuat ibunya meninggal sewaktu melahirkannya, sehingga ia hanya diberi nama Angin. Sebebas angin yang suka berlalu. Suka tidur di kelas, namun pintar dengan tatapan tajam dan tubuh kurusnya. Ah, gue sedih kalo ngomongin tokoh ini. Tapi si penulis mengajarkan banyak hal melalui tokoh ini. Lewat Angin, gue tahu bahwa sebuah kata maaf harganya mahal. Mahal karena kesalahan yang sudah dilakukan tak bisa diulangi kembali. Lewat dia juga, gue belajar bahwa teman pantas untuk dipercaya. Bahwa terkadang, teman yang dihina oleh orang lain lebih menyakitkan daripada jika orang lain yang menghina diri kita sendiri. Ah Angin, makasih banyak! Dan gue sangat menyesal tahu ending lo kayak gitu :( whyyy T___T

Iya, disini gue memposisikan diri gue sebagai teman Angin. Delusional memang, namun gue jadi tahu sesedih apa rasanya punya teman kayak Angin. Sepedih apa rasanya melihat teman lo menyesal sendirian dan berbuat kesalahan yang lebih besar. Ah, baca sendiri deh bukunya. Rating from 1-5 stars : 4.5 stars.

Yah, mungkin esensi teman memang semudah itu didefinisikan. Atau mungkin tidak. Jika pertemanan merupakan komunikasi 2 arah atau lebih, maka jika salah satu pihak tidak mengeluarkan atau menerima sinyal yang diberikan, apa hasilnya akan 0? Sama saja dengan tidak memiliki teman? Ah, memang menyenangkan membaca novel. Things could simply pop and be solved. Padahal nyatanya? Teman tidak semudah itu didefinisikan di dunia nyata. Teman tidak melulu soal ada untuk membantu kapanpun dibutuhkan, tapi juga soal menemukan yang lebih baik dan pergi menjauh setelahnya.

Intinya? Gue mau belajar dari Angin. Juga dari Bagas, Dito, Nira, Sharon, dan G5; teman-teman Angin. Semoga suat saat gue menemukan teman seperti mereka, yang siap menarik gue saat akan jatuh dan tetap berada disana bahkan saat gue lupa dan mulai menjauh. 
Share:

Monday, October 12, 2015

Definisi Rasa

Satu lagi malam yang dihabiskan oleh pikiran yang terus berjalan
Meski tanpa tujuan
Kadang sesuatu memang tak bisa dikontrol sesuka hati
Karena mungkin bisa mati
Entah harus disebut apa rasa seperti ini
Gelisah?
Resah?
Atau malah gundah?

Tuhan, tolong bantu mendefinisikan
Karena hamba-Mu ini punya banyak keterbatasan
Karena banyaknya kosakata yang terdaftar tak mampu melawan angin yang menampar
Karena nalar yang bergerak tak bisa membuat pohon berderak

Jika sudah terdefinisi, setidaknya aku tahu bagaimana harus bertindak
Bahkan di tengah sorak-sorak
Namun jika tidak terdefinisikan jua, lantas aku bisa apa?
Menatap kosong pada hampa yang ada di depan mata?
Mengukir langit dengan asa yang tersisa?
Asa? 
Apakah asa bahkan nyata adanya?



Ppt, 1210
Stomach keeps tingling and I don't even know why.





Share:

Thursday, October 1, 2015

See You, ARS

Senin, 5 Oktober 2015, saya akan kehilangan satu lagi teman saya. Bukan, bukan untuk selamanya, hanya sementara. Namanya Aldi Rizky Setiyawan, kini berhasil diterima di Akademi Imigrasi (AIM) dari Departemen Hukum dan HAM setelah percobaan kedua kalinya. Niatnya untuk menempuh pendidikan di sekolah kedinasan sesungguhnya patut diacungi jempol, karena tetap tidak surut setelah gagal berulang kali di berbagai instansi. Mungkin, tahun ini memang rezeki dan jalannya.

Memulai kehidupan baru di tempat baru pastilah tidak mudah. Namun, jika itu Aldi, saya percaya dia bisa. Kami menyebutnya botak, bibir, di al, apapun panggilan akrabnya. Seorang anak laki-laki dengan badan tegap serta sikap tegas ala tentara, serta ucapan yang kadang suka asal dan agak kasar, namun baik bahkan cenderung lembut jika dihadapkan pada persoalan cinta. Saya kadang suka menertawakannya akan hal ini. Satu hal yang saya salutkan dari Aldi adalah sebagian waktunya yang selalu disempatkan untuk dua rakaat Dhuha.

Saya ingat saya pernah menangis tiba-tiba di suatu Jumat pagi bulan Oktober tahun lalu. Waktu itu saya sedang berada di kelas, mata kuliah Survey dan Pemetaan, ketika tiba-tiba perasaan saya tidak enak dan tidak nyaman. Ada yang akan pergi, itu pesannya. Saya tidak tahu siapa, kenapa, atau kapan seseorang itu akan pergi. Saya juga tidak tahu kenapa saya bisa mendapatkan pesan itu. Tapi beberapa hari kemudian, saya tahu Aldi mendaftar AIM untuk yang kedua kalinya. Saya kira pada awalnya dia akan diterima, saya dan seorang teman saya sampai sering mengecek pengumuman di websitenya. Namun, tidak. Aldi tidak pergi tahun kemarin. Saya jujur saja, senang, meski Aldi pasti kecewa.

Beberapa bulan lalu, tiba-tiba Aldi memberitahu saya bahwa dia mendaftar lagi. Terus terang saya kaget, namun reaksi saya waktu itu hanya menegaskan kembali pernyataannya sebelum mendoakannya berhasil. Kali ini saya mungkin lebih siap melepasnya pergi. Maka tes demi tes yang dijalaninya terus berlanjut, dengan pertanyaan rutin “Gimana Di? Lolos?” dari saya. Dengan jawaban “Alhamdulillah, Jah” yang terus menerus pula. Kali ini, doa saya tulus. Jika memang rezekinya, pasti Aldi diterima. Dan benar saja, saat itu datang. Ketika Aldi mengabarkan bahwa dia diterima, saya tersenyum kecil mengingat perjuangannya yang akhirnya berbuah manis. Namun tetap, ada ruang kosong yang tercipta darinya.

Aldi, pada akhirnya akan pergi. Saya akan sangat merindukan laki-laki ini. Saya senang dia pada akhirnya bisa menggapai jalan menuju impiannya, namun juga sangat sedih mengingat saya tidak akan melihatnya lagi di hari-hari selanjutnya. Take a good care, Al! See you when I see you.
Share:

Monday, August 31, 2015

Tentang Transportasi Umum dan Penumpangnya

Saya suka naik transportasi umum, baik kereta, angkutan kota, metromini, you name it. Alasannya sepele; banyak hal yang bisa saya perhatikan dan dijadikan pelajaran. Tidak seperti saat membawa kendaraan sendiri, berada di transportasi umum akan lebih bebas mengamati apa pun tanpa harus diganggu kewajiban berkonsentrasi saat menyetir. 

Di angkutan kota, misalnya, saya belajar bagaimana saya tidak boleh memandang seseorang melalui penampilannya. Seburuk apa pun ia terlihat. Memang, tak pernah dapat dipungkiri bahwa tampilan fisik seseorang tentulah yang paling besar persentasenya dalam menentukan asumsi diri. Tapi yang saya maksud adalah belajar menghargai. Saya berulang kali, jujur saja, selalu menekankan pada diri sendiri untuk tidak merendahkan orang-orang yang terlihat lusuh. Meski harus bersusah payah, setidaknya perasaan tinggi hati itu tidak jadi raja yang berjaya.

Lain lagi cerita di kereta. Transportasi umum jarak dekat paling nyaman di antara yang lainnya. Mungkin karena faktor inilah, kereta sangat digemari sehingga untuk naik saja diperlukan usaha ekstra. Apalagi saat jam-jam berangkat dan pulang kerja. Tapi disana saya belajar bersabar. Sabar menghadapi orang-orang yang tidak sabar untuk naik ke gerbong kereta. Sabar mendengar semua keluh kesah tentang penuhnya kereta yang mereka tumpangi, tentang masalah-masalah pekerjaan, hingga obrolan ringan soal keluarga antar teman atau sesama penumpang yang sama sekali asing. Hanya di transportasi umum, semua orang asing bisa menjadi teman.

Saya suka mengamati orang-orang, dari kepala sampai kaki, dari baju sampai sepatu yang mereka kenakan. Saya suka menebak-nebak bagaimana kehidupan mereka. Mungkin jauh lebih beruntung daripada saya atau malah sebaliknya? Masalah seperti apa yang harus mereka hadapi setiap hari? Bagaimana keluarganya? Bagaimana pekerjaannya? Dan setiap pikiran-pikiran itu terlintas, lagi-lagi saya harus mengingatkan diri saya sendiri untuk terus bersikap baik pada setiap orang yang saya temui. Karena kita tidak pernah tahu seberapa berat hidup dan masalah yang dialaminya. Selain itu, saya juga diingatkan agar terus bersyukur atas hidup saya. Atas semua masalah yang ada, atas semua nikmat yang telah diberikan-Nya, atas segalanya.
Share:

Tuesday, August 11, 2015

The Unexpected Malang : Coban Sumber Pitu, Coban Rondo, Pantai Gatra, Pantai 3 Warna, dan Pantai Goa Cina

This was how the trip actually planned : Explore East Java. Itu rencana hampir satu tahun yang lalu, yang diniatkan dengan serius namun tetap juga hampir gagal. Well then, we all agreed to make it true this month. On August 1, we started these all. I'm gonna make this (a bit) like itinerary in description, added with all impressions I had during the trip. Or just said it's a journal. Fyi, there were 8 persons joined here.

August 1 : 15.00. Caw dari Stasiun Pasar Senen. Bye Jakarta!

August 2 : Sumpah, pegel banget tidur di kereta. I couldn't feel my butt down there. Safely arrived at 07.50, Stasiun Malang Kota Baru. Jalan-jalan keliling nyari sarapan + bawa-bawa daypack gendut = caper. We got (almost) all citizens' eyes on us! Istirahat sebentar di masjid yang ketemu di depan mata (forgot the name though), terus jalan lagi lewatin pasar hewan. KURANG CAPER APALAGI HAHAHA passing through people, took glances at the animals (they sold owls omg so cute!!), all with small "sorry" mumbled here and there because you know that our bag couldn't help but bumped on people's body. Setelah lewat pasar hewan, kami sampai di Alun-Alun Malang. Masih jadi pusat perhatian juga (how couldn't if you walked with that huge daypack on and mattress altogether), akhirnya kami makan di salah satu restoran hotel, if I'm not mistaken, yang ada di dekat alun-alun. Terpaksa sih, karena nggak ada tukang jualan di alun-alun. Abis itu nunggu dzuhur dan sholat di masjid dekat alun-alun (Masjid Jami'). Ngingetin aja, ternyata masjidnya ada 2 section gitu. Buat sholat jamaah dan munfarid (sendiri). Kalo ruang yang khusus berjamaah ternyata nggak dibuka kalo nggak ada sholat berjamaahnya dan yang sholat munfarid nggak boleh sholat disitu. Keren sih, cuma better kalo ada (tulisan) warning dari awal kita nggak boleh sholat munfarid di ruang berjamaah daripada pas lagi sholat tiba-tiba diteriakin nggak boleh sholat disitu. Konsentrasiya jadi buyar (that's what happened to us). Abis sholat, cari makanan yang terkenal di Malang gitu kan. Jalan kaki. Hahaha entah saking semangatnya atau gimana ya pokoknya kami nyari Mie Setan (kalo nggak salah) yang happened to be opened at 4 pm dan bikin kami batal makan. Alhasil nyari alternatif lain dan jatuhlah pilihan ke Bakso Bakar Pak Man, letaknya di Jalan Diponegoro. Kami sempet mikir "bakso kayak gini ada di tengah-tengah perumahan elit. Aneh banget" karena emang rumah-rumah di jalan itu tuh kayak rumah-rumah di kawasan Menteng kalo di Jakarta. Tempatnya sempit tapi rame banget, parah. Harganya Rp 30.000 / 10 buah. Mahal sih. Rasanya? Enak. Tapi enak aja nggak pake banget karena gue nggak nikmatin banget deh pokoknya. Males. Mungkin karena kami bawa daypack gede yang bikin akses keluar masuk jadi agak ribet, kami jadi disambut nggak ramah gitu deh. Nggak sukaaa :( yang penting nggak penasaran. Dah itu aja. Abis itu, ngambil mobil sewaan hehehe. Harganya Rp 250.000/hari tanpa bensin dan supir, Avanza Veloz guys! Terus caw ke Batu deh! Nemu homestay murah, sekitar 100-150rb semalam dan deket sama BNS (Batu Night Spectacular), namanya homestay DINI. PEWE ABIS MENTEMEN! RECOMMENDED! Malemnya jalan ke alun-alun Batu, niatnya mau nyobain ketan Legenda tapi apa daya belum jodoh, tutup hehehe. Akhirnya cuma makan tahu telur dan naik bianglala. Balik homestay, Bobo!


August 3 : Selamat Pagi, Batu! Rencana hari ini kami ke Coban (Air Terjun) Sumber Pitu, Coban Rondo, dan Coban Talun. Tapi ended up cuma ke Coban Sumber Pitu dan Coban Rondo aja karena e karena the road towards Coban Sumber Pitu was out of expectation. Katanya cuma butuh 30 menit trekking dari tempat mobil berhenti, yang ternyata molor kira-kira jadi 1,5 jam. Hahaha ternyata salah satu temen gue boong soal itu. Jalan yang harus dilewatin mobil dari tempat bayar tiket di bawah juga ntap! Yang bawa mobil harus jago dan jangan panik :) Well then, jalanan buat sampai di air terjun ini sendiri lumayan terjal dan sangat berdebu (pasir semua, fyi) apalagi buat yang belum pernah hiking, beware :) jangan lupa bawa buff atau masker ya! Tapi mungkin kalo musim hujan nggak sebanyak itu debunya, and so slippery instead.

Here it is, Coban Sumber Pitu!


Abis dari Coban Sumber Pitu, kami lanjut ke Coban Rondo. Jeng jeng, ternyata coban satu ini udah dijadiin kawasan wisata yang dikelola pihak swasta dan bikin tiketnya mahal (buat kami yang backpackeran) yaitu Rp 16.000/orang dan mobil Rp 10.000. Di kawasan ini, juga ada fasilitas-fasilitas lain seperti labirin, berkuda, dan lain-lain yang perlu tiket masuk lagi untuk masing-masing fasilitasnya (kecuali air terjun).

 Coban Rondo



Pulang dari coban, balik ke homestay dulu, terus malamnya nyoba ke alun-alun Batu lagi, masih penasaran sama Ketan Legenda. Tapi lagi-lagi, belum jodoh, masih tutup hahaha.

August 4 : Karena hari ini adalah hari paling bikin deg-degan satu jurusan, SIAK War alias registrasi online buat satu semester ini, maka kembalilah kami ke Malang Kota. Cuma hanya demi mengisi SIAK. Sempat amat sangat bete karena kalah (nasib jelek 2 semester), kami berangkat ke Wegir, rumah paman salah seorang dari kami. Dari sana, kami akan melanjutkan perjalanan ke pantai selatan keesokan harinya.

August 5 : Pantai Selatan, here we come! Dari Wegir, perjalanan memakan waktu sekitar 4 jam. Jalur menuju pantai yang kami tuju yaitu Pantai Gatra, melewati jalanan aspal yang berbatu dan berpasir sehingga harus hati-hati dikarenakan amat licin. Kenampakan yang terlihat di sekelilingnya adalah tebing-tebing tinggi berkapur yang menyebabkan suasana terlihat gersang.


Untuk mencapai Pantai Gatra, dari tempat parkir mobil, kami harus berjalan kira-kira 1-1,5 jam dengan terlebih dahulu diperiksa di pintu masuk untuk mendata barang-barang yang dibawa. Fyi, kawasan ini adalah kawasan konservasi sehingga sampah yang dibawa saat pulang nanti tidak boleh kurang dari yang sudah didata saat datang. Jika kurang, maka akan didenda sebesar Rp 100.000. Untuk tidur dan bersantai, kami menggunakan flysheet yang dialasi dengan matras. Jika membawa tenda, maka akan dikenakan biaya Rp 25.000/tenda. Pantai Gatra sendiri merupakan pantai yang indah dengan gugusan karang-karang besar di tengah lautnya.

Pantai Gatra




August 6 : Rencananya adalah mengunjungi Pantai 3 Warna. Untuk ke Pantai 3 Warna, harus dilakukan reservasi sebelumnya karena pantai ini memiliki batasan kuota pengunjung. Selain itu, ada tambahan biaya untuk guide sebesar Rp 100.000 juga. Dari Pantai Gatra, perlu trekking kira-kira 20-30 menit untuk mencapai pantai ini. Karena kami menjadi pengunjung pertama hari itu, we were having a private beach! Yaaaayyy! Di pantai ini disediakan juga fasilitas snorkeling. Harganya cukup murah, Rp 15.000/orang. Hati-hati, karena dangkal, karang-karang yang ada dapat dengan mudah terinjak kaki. Anyway, pendapat pribadi gue sih sebenernya gausah aja ada snorkeling. Toh kawasannya buat tempat konservasi. Walaupun dilarang, kalo ada yang nggak sengaja nginjak, tetep patah kan karangnya, rusak-rusak juga. Jadi, better not allowed at all aja. Selain bisa konservasi karang secara total, kaki-kaki yang snorkeling juga nggak perlu luka-luka :)


Pantai 3 Warna


Daaaan karena kami termasuk yang kakinya kena karang sehingga jadi luka-luka, kami cuma snorkeling satu jam ditambah insiden snorkel salah satu teman kami hilang, jadi tambah bete hahaha. Abis itu balik ke Pantai Gatra, mandi, terus langsung caw. Muter-muter cari makan, which is so hard to find karena di sepanjang jalur selatan emang sepi banget. Akhirnya waktu nemu warung, kita makan nasi pecel, Rp 6000 aja :) Setelah makan, langsung ke Pantai Goa Cina. Tadinya sempet debat mau balik ke kota aja apa mau ngecamp lagi. Akhirnya kami ngecamp lagi di Pantai Goa Cina. Not really camping, karena kita tidur di mobil setelah capek main kartu. And we were the only one camped there that night. Zzzzzz

Pantai Goa Cina


August 7 : Berangkat sepagi mungkin kembali ke Wegir. Karena kereta kami pukul 17.00 dan hari Jumat, sehingga harus mengejar waktu sholat Jumat. Dua orang dari kami adalah laki-laki, well it's a must isn't it? Selagi nunggu yang laki-laki sholat, kami mandi dan beres-beres barang. Kemudian berangkat dari Wegir jam 14.00, cari oleh-oleh, terus ke Stasiun Malang Kota Baru. Dah Malang!

August 8 : Lagi-lagi lebih dari 12 jam di kereta. Gausah ditanya rasanya kayak apa ya. Pukul 09.45, Stasiun Jatinegara. Welcome Home!

That's all I could tell. If you found the impressions and ways to places I mentioned above were totally different, either way better or even worse, please kindly tell me. Who knows I'll get back someday? ;)
Share:

Thursday, July 16, 2015

Sabtu Bersama Bapak; sebuah review


Halo, selamat pagi. Satu pagi yang lain di Jakarta, satu hari menjelang awal bulan Syawal yang juga berarti hari terakhir bulan Ramadhan 1436 H. Ini review yang sudah amat lama tertunda karena banyak hal yang terjadi dan (mungkin) harus dipikirkan.

Banyak yang sudah mereview buku ini, mostly said this is quite a good one. Buat saya pribadi, buku ini hebat. Tak banyak buku yang bisa membuat pembacanya tertawa sambil merenung, dan buku ini salah satunya. Sejak pertama kali saya melihat buku ini di toko, saya sudah tertarik dengan covernya, maklum warna biru. Saat membaca sinopsisnya, saya tahu saya akan banyak berpikir tentang hidup saya. 

Buku ini, seperti judulnya, bercerita tentang Bapak. Seorang ayah yang memiliki 2 anak laki-laki yang harus beliau didik meski sudah meninggalkan dunia ini. Lagi-lagi, topik yang sensitif. Orangtua dan kematian tidak pernah menjadi topik bacaan favorit saya, apalagi jika keduanya disandingkan. Namun entah bagaimana, saya tetap membacanya hingga habis. Walau sambil menangis, tentu saja. Banyak hal yang bisa diambil dari buku ini, amat sangat banyak bahkan. Tentang tanggung jawab orangtua terhadap anaknya, tanggung jawab suami pada istrinya, bagaimana anak-anak mengatasi masalahnya, semua mampu dijabarkan Bapak dengan caranya sendiri.

Bapak : Kang, ketika kalian udah gede akan ada masanya kalian harus melawan orang. yang lebih besar, lebih kuat dari kalian. Dan akan ada masanya, kalian gak punya pilihan lain selain melawan, dan menang. 
Satya: ... 
Bapak : Akan ada juga kang, masanya ... semua orang tidak membiarkan kalian menang. jadi, kalian harus pintar. kalian harus kuat. Kalian harus bisa berdiri dan menang dengan kaki-kaki sendiri. Bukan masalah seberapa sering kalian akan jatuh, tapi yang penting seberapa kuat kalian akan berdiri dan berdiri lagi setelah jatuh. 
Satya : Kalau kakang kalah gimana? 
Bapak : Mungkin kakang akan kalah berantemnya. Tapi kakang akan memenangkan hormat mereka.

Sungguh, mungkin setiap orang akan meminta seorang ayah seperti sosok Bapak jika diizinkan. 

Untuk semua pria yang ingin menjadi suami yang baik

“Harga diri kita, datang dari akhlak kita. Anak yang jujur. Anak yang baik. Anak yang berani bilang ‘Saya benar’ ketika benar. Anak yang berani bilang ‘Maaf’ ketika salah. Anak yang berguna bagi dirinya, dan orang lain.”

Saya belum pernah membaca buku Adhitya Mulya sebelumnya; saya tidak tahu genrenya apa, gaya menulisnya seperti apa, bagaimana pembangunan karakternya, dan lain sebagainya, jadi saya tidak memiliki ekspektasi apa-apa ketika membacanya. But really, this is far beyond my expectations. Saya sampai speechless sesaat setelah menghabiskan bukunya. Entah harus komentar apa. Well then, saya sama sekali tidak menyesal membelinya.

Best Part: Ketika video-video Bapak diputar dan Satya serta Saka belajar sesuatu dari sana. Tentang apapun itu.

After taste: Sedih dan salut banget sama Bapak. Terus jadi mau nikah hahaha. Baper.

Rating: 4 THUMBS UP AND 5 STARS, OFC.

Comment: KANG ADHIT JJANG DEH POKOKNYA!!!!
Share:

Wednesday, June 10, 2015

Bapak dengan Riasan dan Radio Tape; Satu Bahan Renungan di Sore Hari

Sebenarnya sejak beberapa hari kemarin, saya ingin menulis review untuk sebuah buku yang saya baca. Namun, saya tunda karena saya masih harus ikut ujian akhir semester. Dan sekarang, ketika kesempatan itu datang, saya malah ingin menulis tentang hal lain.


Beberapa saat yang lalu, hari ini, Rabu 10 Juni 2015, saya melihat sesosok laki-laki yang berjalan di depan rumah saya. Langkahnya agak terseok, dengan muka penuh riasan yang sudah agak luntur dan sebuah radio tape yang mengalunkan entah melodi apa di lehernya. Umurnya tak lagi muda, pun mungkin belum cukup untuk dibilang sudah uzur. Entah apa yang menahan saya, namun saya yang baru saja tiba di rumah dan turun dari motor tetap berdiri menatapnya yang lewat di hadapan. Tadinya saya kira beliau akan berhenti melihat saya yang bergeming di depan pagar, untuk mengamen. Namun, beliau hanya menoleh sekilas dan melanjutkan berjalan. Saya, entah kenapa,  juga tetap berdiri menatap punggungnya yang berjalan menjauh.

Rasa-rasanya saya ingin menangis. Melihat matanya yang tidak malu sedikitpun berjalan dengan wajah penuh riasan, membuat saya sadar bahwa walau dengan cara seperti itu, beliau juga sedang berjuang untuk bertahan hidup. Entah untuk diri sendiri, atau untuk menghidupi keluarganya. Tatapannya sama sekali tidak menyiratkan sorot minta dikasihani. Melihat cara berjalannya yang tidak sempurna, mau tak mau saya tertohok juga. Mencari nafkah dengan kondisi fisik tidak sempurna bukan perkara mudah, tapi toh beliau tetap melakukannya. Sementara banyak orang-orang dengan fisik sempurna nan indah tidak mempergunakannya dengan baik. Saya jadi harus mengingatkan diri saya sendiri untuk terus bersyukur dengan apa yang saya punya. Karena sesungguhnya bersyukur itu mudah sekaligus sulit. Mudah karena dengan mengingat Allah di tiap kegiatanmu, kamu sudah bersyukur. Sulit karena kadang nikmat tersebut terasa bukan datang dari Allah melainkan hasil usahamu sendiri, akibatnya lupa disyukuri.

Melihat beliau, saya jadi merasa malu dan takut. Malu karena terkadang saya masih malas dan tak mau berusaha lebih keras, juga takut lupa bersyukur akan nikmat. Duh Allah, memang banyak yang lulus ujian kegagalan, kemiskinan, dsb namun saat diuji dengan nikmat.....ia lewat. Maka, nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang kau dustakan? :'''
Share:

Sunday, May 17, 2015

Untuk RHTHS

Hai, selamat ulang tahun, Rosi! 
Senang bisa menjadi salah satu orang yang bisa mengucapkan selamat ulang tahun padamu di tahun ini. Semoga menjadi seseorang yang lebih baik di tahun ini dan dapat dibanggakan keluarga juga teman-temannya. Keep rocking the instagram!!!

cr: koleksi pribadi
Lokasi: Sungai Cikaso, Sukabumi, Jawa Barat. 

Hari ini, 17 Mei 2015, salah satu teman saya, Rosi Handayani Tri Hadi Soekarno ber-ulang tahun yang ke-20. Di hari ini juga, saya ingin menuliskan sesuatu tentang dia, sesuatu yang sudah lama saya inginkan namun belum sempat terealisasikan.

Saya mengenal Rosi sebagai teman satu angkatan dan mulai akrab ketika ada wacana untuk mendaki Gunung Papandayan, meski pada akhirnya dia tetap tidak bisa ikut karena masalah izin. Saya selalu mengagumi pembawaannya yang easy-going, mampu bergaul dengan siapa saja, join sana sini istilahnya. Seseorang dengan sifat yang berlawanan dengan saya. 

Ochi, panggilan akrabnya, sangat menyukai fotografi. Dia suka sekali mencari momen-momen yang bagus dalam setiap kegiatan. Entah karena faktor bakat atau kecintaannya yang sangat, foto-foto yang diambilnya sering di re-upload oleh akun-akun terkenal instagram. Bahkan pernah suatu kali, ketika saya dan teman-teman menginap di rumahnya, dia berteriak kegirangan di tengah malam karena memenangkan sebuah kamera GoPro dari perlombaan yang diikutinya. Saya yang masih setengah tertidur bahkan bisa merasakan betapa senangnya dia saat itu. Selain fotografi, dia juga suka menulis di blognya. Tulisan yang bagus, menurut saya. Katanya dia belajar dari salah seorang temannya yang suka menulis.

Saya mengagumi Ochi dalam banyak hal. Fotografi, tulisan, sikap, bahkan selera musiknya. Dia bisa larut sendiri dalam musik yang didengar dari ipodnya. Bisa dibilang, isi ipodnya kayak tempat sampah. Maklum, calon penyiar RTC UI. Saya tidak pernah berhasil menebak jenis lagu kesukaannya. Tapi akhir-akhir ini, saya mulai mengira-ngira kalau jenis suara seperti Sam Smith merupakan salah satu favoritnya.  Dalam sikap, bisa dibilang dia merupakan salah satu yang tegas dan mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi ketika diberikan amanah. Cenderung keras dan intimidatif dalam mode ini. Namun, saya tetap bisa berbicara panjang lebar dengan topik beragam bersamanya.

Saya tidak cukup dekat dengannya untuk dikatakan sahabat, karena kami juga tidak pernah berbagi hal-hal pribadi seperti (mungkin) dia dengan yang lainnya. Tapi yang pasti, saya berusaha untuk tetap jadi seorang teman yang ada saat dibutuhkan. Hehe. Gue sayang lo kok Chi :)

Sekali lagi, selamat ulang tahun, Och! 
Jalan-jalan lagi yuk! Wkwkwk

Love,

Faizah
Share:

Monday, April 20, 2015

Bepergian


Halo! Satu waktu lagi untuk berbagi pikiran yang mulai penuh. 

Saya baru kembali dari Desa Tenjolaya, Jawa Barat, untuk perjalanan navigasi dan survival GMC UI. Jujur, saya pergi dengan niat setengah hati, dikarenakan kondisi fisik yang sedang tidak baik, juga mood yang sedang turun-turunnya. Ini kunjungan saya yang kedua kalinya. Tahun lalu adalah kunjungan pertama saya sewaktu masih menjadi mahasiswa baru, PSEG 2013. Ini bukan masalah posisi, tapi masalah hati. 

Kadang untuk pergi, kamu butuh sebuah alasan untuk melakukannya. Walau kadang tidak. Meski kamu ingin, kamu juga kadang tidak bisa pergi. Jika kamu tidak ingin, kamu malah dipaksa pergi. Ya, itu hidup. Melakukan apa yang tidak ingin kamu lakukan dan tidak melakukan apa yang ingin kamu lakukan. Itu bisa jadi pilihan di satu kesempatan, tapi bisa jadi keharusan di kesempatan lainnya. Banyak hal yang mempengaruhinya; pikiranmu, pikirannya, situasi yang ada, dan banyak hal lainnya.

Sebenarnya saya memutuskan untuk tidak ikut perjalanan kali ini, namun muncul pertimbangan-pertimbangan lain yang mulai memberatkan saya. Tanggung jawab sebagai mentor salah satunya. Alhasil, saya tetap ikut jalan. Toh pada akhirnya, saya tidak hanya mendapat satu pelajaran baru, tapi juga perasaan senang karena dapat menghirup udara segar di akhir pekan. Yah, mungkin bepergian memang akan selalu menyenangkan. Dengannya akan kamu dapatkan pengalaman baru, perasaan baru, bertemu dengan orang-orang baru, dan entah apa lagi.


Share:

Tuesday, February 17, 2015

Satu Negeri Satu Kami

Indonesia adalah satu kata dengan berjuta warna dan makna. Negeri yang dilimpahi banyak kekayaan sumber daya alam hayati maupun hewani, juga keindahan bentang alamnya yang terhampar dari Sabang sampai Merauke, juga Sangihe hingga Talaud. Negeri dengan berbagai suku, budaya, bahasa dan agama yang hidup rukun saling berdampingan. Sebuah negeri kecil tempat masa kecil saya dihabiskan, tempat semua mimpi digantungkan.
Mempersatukan negeri besar ini tentulah tak mudah. Ribuan nyawa melayang untuk membelanya. Banyak kepala, banyak ego, banyak hal yang harus dikalahkan demi satu cita-cita; untuk merdeka. Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Celebes adalah pemuda-pemuda yang rela bersimbah peluh dari pelosok negeri demi bersatunya negeri ini. Orang-orang yang membuat saya malu jika tidak berusaha sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu.
Bangsa ini, bangsa Indonesia, adalah bangsa yang besar. Bangsa yang akan memimpin peradaban dunia, meski entah kapan masanya. Bangsa yang bisa maju ke depan, dengan belajar dari sejarah para pendahulunya. Bangsa yang mentalnya sekuat baja dan setegar karang, serta hati selembut kapas dan sebening embun. Bangsa yang semangat belajarnya tak pernah padam meski diguyur hujan badai terburuk sekalipun.
Tuhan, tolong berkahi negeri kami...
Negeri ini sungguh kaya, ya Tuhan…
Ribuan pulaunya terhampar seperti permata. Zamrud khatulistiwa, itu julukan negeri ini. Warna hijau dari lebatnya vegetasi hutan hujan tropis yang menyembunyikan keragaman makhluk hidupnya, dipadu warna biru laut yang mengelilinginya menjadikan negeri ini sangat istimewa.
Lihat barisan gunung-gunung di ujung cakrawala sana! Aku pernah mendaki salah satunya. Juga hamparan laut luas tak bertepi di sebelah utara dan selatan pulau-pulau itu! Aduh Mak, amboi nian pemandangannya!
Tapi….
Sebagian dari kami, generasi penerus bangsa ini, adalah para perusak alam tak bermoral yang mendewakan materi di atas segalanya. Lahan-lahan pertanian digusur, pohon-pohon ditebang tanpa izin, hanya untuk mendirikan bangunan-bangunan yang dinilai mempunyai nilai tinggi secara ekonomis. Tak ada lagi pertimbangan daerah resapan air yang berkurang, juga lahan-lahan produktif yang masih bisa ditanami berbagai jenis tanaman. Ikan-ikan ditangkap menggunakan jaring dan pukat harimau, tak lagi memikirkan keseimbangan ekosistem bawah laut.
Alam tak suka keseimbangannya diusik. Alam merasa harus membuat manusia jera. Alam ingin manusia tahu bahwa dirinyalah yang jumawa. Maka air menggenang dimana-mana, membanjiri setiap lahan yang seharusnya ditanami pohon-pohon lebat untuk resapan air. Tanah luruh dari tempatnya karena tak ada yang dapat menahannya lebih lama, longsor jadinya. Bencana dimana-mana. Bencana di negeri ini, di Indonesia kita.
Meski pada akhirnya kami tahu bahwa alam marah, semuanya sudah terlambat. Zamrud khatulistiwa kami telah pergi, hilang ditelan zaman yang semakin mengebiri. Yang terlihat kini adalah atap-atap pemukiman yang penuh sesak diselingi satu-dua gedung pencakar langit di tengah kota. Meski kami ingin mengubahnya lagi, diperlukan waktu yang lama untuk membuatnya kembali. Itupun jika tak ada gangguan dari pihak manapun. Negeri ini dan segala kekayaannya telah tersohor ke penjuru dunia. Warga dunia datang hilir mudik silih berganti untuk berwisata, membuktikan kemashyuran sang permata khatulistiwa. Beruntung jika hanya berwisata, banyak yang melihat peluang untuk memanfaatkan kekayaan negeri ini. Hingga kami menjadi budak di rumah sendiri. Sungguh, ironis melihat rumah kami diacak-acak seperti ini.
Oleh karena itu, ini adalah sebuah pengakuan dan ajakan demi negeri ini.
Saya bangga menjadi bagian dari negara dan bangsa Indonesia. Negeri yang elok dengan berjuta pesonanya, baik yang sudah terungkap maupun yang masih tersembunyi. Negeri yang butuh saya dan kamu perbaiki. Saya bersyukur saya dilahirkan dan dibesarkan disini, karena negeri ini mengajarkan banyak hal dari hal-hal kecil yang harus saya pelajari. Perbedaan bukanlah halangan, justru perbedaan lah yang membuat kita saling menghargai. Negeri ini butuh orang-orang besar untuk membuatnya besar. Yuk, sama-sama ubah Indonesia jadi lebih baik! :)

View Gunung Sindoro dari Punggungan Dsn. Cengklok, Gunung Sumbing, Wonosobo, Jawa Tengah.
Share:

Sunday, February 1, 2015

Belajar (Informal)

Mengingat kata belajar, pikiran sebagian besar orang akan langsung mengarah pada kegiatan formal dengan siswa dan guru sebagai komponen utamanya. Juga ruang kelas, lengkap dengan papan tulis kapur/spidol, juga meja dan kursi. Padahal, belajar tak cuma terbatas sampai disitu saja.

Hari ini, ketika Jakarta diguyur hujan sejak tadi malam hingga saat ini, keluarga saya memilih untuk mengikuti pengajian rutin mingguan di salah satu masjid besar di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Selepas pengajian, kami berjalan mencari case laptop untuk ibu. Hingga kemudian menyempatkan diri makan siang terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan, seringkali banyak topik pembicaraan yang diangkat. Baik antara ayah dan ibu, atau pun antara saya dengan adik-adik. Dalam bentuk obrolan dua arah, maupun diskusi hangat penuh argumentasi semangat dari saya maupun adik-adik tentang suatu masalah yang kami tanyakan pada ayah atau ibu.

Suatu kesadaran menghantam saya dalam perjalanan pulang. Ngobrol dan diskusi kami selama dalam mobil ini juga proses belajar. Meski tanpa guru, tanpa spidol, juga tanpa meja. Obrolan mengalir layaknya bola yang turun dari bidang miring licin; bebas tanpa hambatan. Jika ada yang tidak sependapat, kami boleh langsung membantahnya dan mengajukan pendapat kami. Pun jika ada yang masih tak dapat dipahami. Beruntung, orang tua saya bukan tipe orang tua kolot yang tak membiarkan anaknya bertanya hal-hal aneh dan memiliki pendapat sendiri. Saya jadi teringat akan canggungnya sebuah mobil dengan keluarga lengkap di dalamnya disertai gadget canggih. Dingin, tak ada obrolan, semua sibuk dengan gadgetnya. Sang ayah sibuk menyetir, sang ibu asyik BBM-an dengan teman-teman arisannya, sang adik seru dengan PSP-nya, sedang si kakak terlarut dalam musik di Ipod-nya. Duh, miris sekali. Betapa banyak kesempatan belajar yang mereka lewatkan dengan gadget canggih yang mengelilingi mereka.

Saya hanya ingin mengingatkan siapapun bahwa meski gadget membantu sebagian besar hidup manusia, tak ayal ia juga menjadi salah satu faktor penghancur hidup manusia. Bisa dibilang gadget juga membantu seseorang belajar, meski efek samping yang ditimbulkannya juga akan lebih banyak. Kena efek radiasi, misalnya. Belajar, bagaimanapun caranya dan dimanapun posisinya adalah sebuah proses penerimaan kehidupan dari ketiadaan. Manusia lahir tanpa pengetahuan dan proses belajar membuatnya "tahu" bahwa sesuatu itu ada dan bermakna. Apalagi proses belajar yang disertai hati ikhlas dan lapang serta perasaan senang, akan membuat sesuatu semakin mudah diingat dalam jangka waktu yang lama.
Share:

Saturday, January 3, 2015

Suatu hari, ketika hujan turun

Hari itu, saya berdiri di peron 4 Stasiun Manggarai, menunggu kereta jurusan Bekasi datang. Seperti biasa, sambil menunggu, pikiran saya hanyut memikirkan berbagai hal yang melintas sambil memandang apapun yang ada di hadapan. Tiba-tiba hujan turun. Orang-orang mulai sibuk mengeluarkan payungnya untuk melindungi tubuhnya dari hujan. Saya tetap bergeming, selain karena tidak membawa payung, hujan yang turun juga masih dalam skala kecil alias rintik. Lagipula, saya juga pecinta hujan, tak masalah bila basah, begitu pikir saya. Tapi tak lama, hujan yang turun menjadi lebih deras. Dan seseorang di sebelah saya, tiba-tiba menoleh dan berkata, "Mbak, sini bareng sama saya aja, nanti basah." Terus terang, saya terkejut ditawari berteduh dalam satu payung yang sama seperti itu.

Namanya Tyas, saya masih ingat betul. Saya memanggilnya Kak Tyas, adalah seorang pegawai di salah satu perusahaan asuransi di kawasan Sudirman. Perawakannya mungil dan terlihat gampang akrab dengan orang lain, terbukti dari percakapan kami yang kerap kali diisi dengan pertanyaan-pertanyaan darinya.

Beberapa menit berselang, kereta tujuan Bekasi ternyata dipindah ke peron 1. Masih bersama Kak Tyas, kami berlari kecil menuju peron 1. Ramai, tentu saja. Tapi saya, masih asyik termenung menyadari kebaikan seseorang yang tidak saya kenal hari itu. Ketika kereta akhirnya tiba, semua penumpang berebut naik, tentu saja. Keretanya kosong. Dan kami berdua berhasil mendapatkan tempat duduk. Tapi jujur saja, hari itu adalah pertama kalinya saya tidak ingin duduk meski keretanya kosong, entah kenapa. Saya turun lebih dahulu, sambil mengucapkan terimakasih atas payungnya.

Bahkan setelah turun dari kereta, saya masih termenung. Dalam hati, saya terus bergumam, ternyata masih banyak orang baik di Indonesia.
Share:

Thursday, January 1, 2015

Kuroko no Basuke (Kuroko's Basketball) Review

Well then, halo! January 1st 2015! People said it's new year, new life, new everything. I don't really think so. Like always, none of us will know what will happen next, isn't it? Yet people would always make resolution to be better. I, as expected, definitely haven't made any specific resolution. I just simply wish this year to be better. Aamiin.

Speaking of new year, people always celebrate its eve gloriously, just like last night. And me, just freaking cursed upon those who ignite the firecrackers. What could i say? They're really annoying. I simply locked my self  by watching anime and they seemed to let the firecrackers blown up above my room. Let's call it a night.

Besides, what i want to really write here is some review about the anime i watched. I wouldn't let this slide because....it's just great? Lol but here it is! Kuroko no Basuke! Next sentences will be in English mixed with Bahasa, simply because aku mau spazzingaaan hahaha

So, this anime tells about a boy named Kuroko Tetsuya. A fresh graduate from Teiko middle school, whose basketball club was so famous. Be in there, 5 stars having 5 superb skill called Kiseki no Sedai, or Generation of Miracles, consist of Akashi Seijuro, Midorima Shintaro, Kise Ryota, Aomine Daiki, and Murasakibara Atsushi. Well there's one left, Kuroko Tetsuya, Kiseki no Sedai's 6th member, the shadow. 

Tetsu, Aomine's dearest call for Kuroko, was going to Seirin high school, whose basketball club was just formed a year ago. Di Teiko, dia keluar dari klub basketnya karena ngerasa nggak nyaman sama teman-temannya yang sekarang. They're just too individualist. Semuanya bener-bener mentingin kemampuan individu dan gaada satupun yang berpikir kalo kekuatan tim itu penting, kecuali tentu saja, Tetsu. When he entered Seirin's club, he found his "light", Kagami Taiga. Just like his nickname, shadow, Tetsu can't play without any lights. Because shadow rises from the light, doesn't it? Well, they found the good chemistry, moreover Kagami's skill is actually close to Kiseki no Sedai's member.

If you've been getting curious about Tetsu's skill, then it is Passing! He's awesome at it. His misdirection skill is indeed an expert, he's special, however. Unfortunately, other than his awesome pass, he could do nothing, even such a simple shoot. Sedih ga? Hahahahah jangan khawatir, seiring jalannya episode he's getting better kok. He develops some drive and shoot (taught by Aomine). Aomine was once his light in Kiseki no Sedai, tapi karena udah saking bangga dan yakinnya sama diri sendiri, sampe-sampe mottonya dia itu "yang bisa ngalahin aku itu cuma aku sendiri", dia milih main sendiri dan ninggalin Tetsu gitu aja.

Alasan kenapa Kiseki no Sedai itu terkenal banget, karena emang pemainnya gak main-main skillnya. Gue bakal bilang mereka semua bukan orang, fix! Let me introduce them, then~


  1. Akashi (merah), emperor eye kata bocorannya wkwk means he could predict his opponent's movement. I watched the anime yang baru sampe season 2 so i havent known his specialty yet.
  2. Midorima (hijau), my 3rd favorite, Shooter, gila ini ga ngerti lagi deh gimana cara ngelatihnya, jarak tembakannya satu lapangan! Jadi dia bisa nembak dari ujung lapangan yang satu, ke ring di ujung lainnya. Pokoknya pasti masuk kalo yang ganggguin cuma lawan biasa-biasa aja. Yang lucunya dari dia itu.....percaya abis sama ramalan. He would listen to ramalan dia hari itu pagi-pagi, terus dia bakal bawa benda keberuntungannya atau benda penangkal sialnya. Heran gue -_-
  3. Aomine! (biru gelap) MY ULTIMATE FAVORITEEEEE!!!! Wkwkwk the Ace of Kiseki no Sedai! Bukan orang jugaaa sumpah deh bingung gue nonton dia. Ini anak top scorer nya Kiseki no Sedai, bisa ngapain aja, bisa nembak dari mana aja. Belum lagi lari dan refleknya yang cepat, bikin yang ngelawan cuma bisa bengong doang. Ngerasa paling hebat karena belum nemuin yang lebih hebat dan mau berjuang lebih daripada dia, makanya tiap latihan males-malesan. Sampai akhirnya dikalahin duet Kagami - Tetsu di pertandingan yang kedua (yang pertama kalah karena kekuatan mereka masih rendah dan mentalnya down banget) simply karena Kagami is much more stubborn than he is.
  4. Our main focus, Tetsu (biru muda), Passer & Shadow. Pass nya cepet abis, suka ngilang karena bisa pake misdirection waktu tanding, dan hawa adanya dia kecil banget jadi sering banyak yang ga sadar kalo dia ada disitu. Selalu percaya kalo basket itu olahraga tim, biarpun nggak mengabaikan kekuatan individu. Dia percaya banget sama teman-teman satu timnya, apalagi sama Kagami.
  5. Kise! (kuning) my 2nd favorite. Pembelajar yang handal, bahkan saking handalnya bisa mengopi tehnik orang dengan sekali lihat. Always admires Aomine, karena gara-gara Aomine dia jadi main basket. He's a model dan suka tebar pesona wkwkwk he's handsome though jadi gapapa lah ya.
  6. Murasakibara (ungu), mageran makanya jagonya defense. Eits tapi jangan salah, he's also good at offense. Cuma buat apaan offense kalo udah ada yang lain? Wkwkwk. Badannya tinggi gede, lawannya jadi banyak yang jiper duluan gara-gara itu. Suka ngemil dan males-malesan kalo jaga gawang karena katanya dia benci basket. Tapi di satu pertandingan ngelawan Tetsu dan Kagami, dia kalah dan akhirnya (mungkin) (mulai) mengakui kalau dia cinta basket.
Jadi, udah ngerti kenapa dibilang bukan orang? Kenapa ditakutin lawan? Indeed because they're too scary to be against to. Anyway, alasan gue suka banget Aomine adalah karena selain dia biru (Ao) (iya gue biased banget emang) dia juga jago banget mainnya. Walaupun yah harus gue bilang gue sebel banget sombongnya itu. But i really love seeing him playing with Tetsu. Senyumnya ituuu huhuhu senyum tulus anak bocah kesenengan ngelakuin apa yang dia senengin T_____T

Oiya, I haven't told you about Tetsu's partner in duet yet, Kagami!
Mirip Aomine. Nggak, bukan cuma mirip, tapi sangat mirip Aomine. Bukan orang juga gue rasa, but yah setidaknya dia terasa jauh lebih "orang" kalo dibanding Aomine. Kelebihannya ada di letak daya juangnya yang tinggi banget sih, selain skillnya ya. Percaya banget sama Tetsu dan timnya sampe gamau ngebiarin mereka sedih dan nangis lagi. Hasilnya? Ngalahin Aomine dong!

After taste: baper gue baper abis gatau kenapa tapi seneng dan terharu banget mereka sehebat dan mau berjuang sekeras itu demi menang dengan kekuatan tim. Sampe-sampe ada satu episode yang gue nangis gara-gara lawannya itu kasar banget mainnya dan gue kesel banget nontonnya. I still remember the opponent's name, Hanamiya. Dan makin sayang Aomine tentunya! Hahahah

Best Part: (sampe season 2 ya) one-to-one nya Kagami - Aomine in Zone! Gilaaaa keren abis!!!! Sama flashback Aomine - Tetsu pas masih main bareng dong ah, senyumnyaaa wkwkwk cannot say anything but genuinely cute uhuhu

Values: dont be so self-centric; kamu mungkin hebat dalam satu hal, tapi tak semua hal bisa dilakukan sendiri. Tak pernah ada usaha yang sia-sia; selelah dan sekeras apapun kamu berjuang, kamu pasti dapat balasannya. Akan selalu ada orang hebat yang mengalahkanmu, makanya jangan sombong.

I'm glad that Kise nyadar duluan kalo kerjasama tim itu penting setelah kalah latih tanding bareng Seirin. Alhasil dia selalu dukung Tetsu dan Seirin kalo mereka lagi tanding lawan anak Kiseki no Sedai yang lainnya, semata-mata cuma buat nyadarin anak Kiseki no Sedai yang lainnya kalo mereka selama ini salah dan bisa kalah. Midorima nyadar abis Kise! Wkwkwk lucu banget sayang mereka semuaa

Well, I'm also glad that I write this. Anime ini ngajarin gue banyak hal positif lewat sebuah olahraga bernama basket. Selain, tentu saja, gue nemuin objek baper lainnya wkwkwk. See you soon, I guess? Bye!
Share: