Teman. Sebuah predikat yang diberikan pada orang-orang yang kita kenal, atau malah terpaksa kenal. Terpaksa disini berarti mau tak mau, suka tak suka, atau pendeknya takdir menggariskan kita berada dalam satu lingkungan yang sama. Lucu bukan ketika untuk urusan sekecil teman, Tuhan ikut campur tangan? Ah, Tuhan memang selalu teliti, tak peduli sekeras apa kita menolak, jika garis takdir sudah saatnya bersinggungan dengan orang tertentu maka tak bisa kita mengelak.
Apakah setiap orang yang kita kenal dapat menjadi teman? Pada dasarnya, iya. Namun kembali lagi pada perspektif yang memandangnya. Ada orang yang menganggap orang lain teman saat ia merasa dapat mengobrol lebih jauh daripada sekadar nama. Ada juga yang menganggap saat nama saling disebutkan, saat itulah mereka menjadi teman. Ada pula yang menganggap orang lain teman saat ia dibantu ketika dalam kesulitan.
Gue sendiri ternyata kesulitan mendefinisikan arti teman. Yang gue tahu, teman tidak saling meninggalkan. Yang gue tahu, teman siap menarik saat kita akan jatuh, atau jika sudah terlanjur jatuh, maka ia akan menarikmu bangkit lagi. Teman adalah malaikat kecil lain yang dikirim Tuhan untuk membantu kita bertahan.
Namun, jika ternyata teman sebaik itu, mengapa banyak pertemanan yang berujung perpisahan? Ego-kah sebabnya? Rasa bosan yang mendera? Atau pada akhirnya mereka menyadari bahwa teman itu fana?
Buku yang gue baca tadi pagi berkisah tentang reuni SMA sebuah kelas kecil terasing yang hanya berisikan 13 murid. Judulnya See You Again, pengarangnya Arini Putri. Buku sederhana yang lumayan menguras mata. Tokoh favorit gue namanya Angin. Nama yang sederhana dan tidak umum digunakan sebagai nama tokoh novel, namun mampu menarik perhatian gue lebih jauh. Angin adalah seorang anak broken home dengan ayah penjudi dan abang pengguna narkoba. Sangat dibenci oleh sang Ayah karena dianggap membuat ibunya meninggal sewaktu melahirkannya, sehingga ia hanya diberi nama Angin. Sebebas angin yang suka berlalu. Suka tidur di kelas, namun pintar dengan tatapan tajam dan tubuh kurusnya. Ah, gue sedih kalo ngomongin tokoh ini. Tapi si penulis mengajarkan banyak hal melalui tokoh ini. Lewat Angin, gue tahu bahwa sebuah kata maaf harganya mahal. Mahal karena kesalahan yang sudah dilakukan tak bisa diulangi kembali. Lewat dia juga, gue belajar bahwa teman pantas untuk dipercaya. Bahwa terkadang, teman yang dihina oleh orang lain lebih menyakitkan daripada jika orang lain yang menghina diri kita sendiri. Ah Angin, makasih banyak! Dan gue sangat menyesal tahu ending lo kayak gitu :( whyyy T___T
Iya, disini gue memposisikan diri gue sebagai teman Angin. Delusional memang, namun gue jadi tahu sesedih apa rasanya punya teman kayak Angin. Sepedih apa rasanya melihat teman lo menyesal sendirian dan berbuat kesalahan yang lebih besar. Ah, baca sendiri deh bukunya. Rating from 1-5 stars : 4.5 stars.
Yah, mungkin esensi teman memang semudah itu didefinisikan. Atau mungkin tidak. Jika pertemanan merupakan komunikasi 2 arah atau lebih, maka jika salah satu pihak tidak mengeluarkan atau menerima sinyal yang diberikan, apa hasilnya akan 0? Sama saja dengan tidak memiliki teman? Ah, memang menyenangkan membaca novel. Things could simply pop and be solved. Padahal nyatanya? Teman tidak semudah itu didefinisikan di dunia nyata. Teman tidak melulu soal ada untuk membantu kapanpun dibutuhkan, tapi juga soal menemukan yang lebih baik dan pergi menjauh setelahnya.
Intinya? Gue mau belajar dari Angin. Juga dari Bagas, Dito, Nira, Sharon, dan G5; teman-teman Angin. Semoga suat saat gue menemukan teman seperti mereka, yang siap menarik gue saat akan jatuh dan tetap berada disana bahkan saat gue lupa dan mulai menjauh.
0 comments:
Post a Comment