Friday, January 12, 2024

Paradoks Waktu

Satu tahun lagi berlalu namun aku merasa masih terjebak dalam satu waktu. Padahal jika merunut ke belakang, justru aku melakukan banyak hal dalam satu tahun terakhir. Banyak keluar dari zona nyamanku; mengurus event besar, menjadi moderator forum publik, dianggap capable dalam mengerjakan banyak hal. Tapi di sisi lain, aku merasa masih belum banyak berkembang, masih di situ-situ saja, masih dengan diriku yang begitu-begitu saja. Pendeknya, belum merasa lebih baik.

Kepalaku masih kusut, benang-benang berkelindan ke kanan dan ke kiri, seakan menangkap semua hal yang terlintas di otak, baik penting maupun tidak. Badanku masih mudah lelah, vertigoku masih gampang kambuh, juga gerd yang akhirnya menyapa, sebagai dampak dari pekerjaan-pekerjaan yang datang tanpa kata tapi. Beribu-ribu kata mungkin harusnya tidak begini, beribu-ribu pula kata harusnya kamu bersyukur.

Masih awal tahun keempat. Masih ada enam tahun lagi, minimal. Entah apa yang akan aku raih di tahun ini, mungkin sebuah pencapaian yang pada akhirnya bisa kubanggakan? Bisa jadi. Mungkin pula cuma pencapaian tanpa arti bagi hati? Bisa juga.

Kita semua fana, perubahan yang abadi.
Share:

Monday, February 20, 2023

Monday Blues

Selamat datang di postingan pertama tahun 2023, pada hari senin pagi, saat lelap tidak dapat dikecap walau hanya sekejap.

Memasuki tahun ketiga di tempat kerja, dengan orang-orang yang masih sama, tetap keras kepala dan hanya mau mendengar suara-suara tertentu saja. Alih-alih terbiasa, aku semakin muak melihat tingkah mereka. 

Bukannya tidak ku coba berkomunikasi, tapi bagaimana mau berhasil jika syaratnya saja tidak terpenuhi? Didengarkan? Bah, langka benar itu terjadi. Sungguh, jika tidak ingat malam-malam aku terjaga dengan buku dan stabilo warna-warni demi sampai pada tahap ini, pasti sudah lama aku berhenti. Tak perlu ditanyakan lagi berapa banyak fluktuasi suasana hati yang sudah aku lalui, mungkin jawabannya adalah ribuan kali.

Aku sudah lelah mengeluh, sungguh. Sudah tak ingin lagi aku tanggapi semua kata-kata tak mengenakkan yang ku dengar dari si bapak tua, ibu nyonya, juga anaknya yang selalu dipuja-puja. Aku cuma butuh pemimpin yang benar, yang mengayomi, yang tahu bahwa kemampuan semua orang tidak sama dan mau memberi kesempatan belajar dan berkembang. Bukan hanya bos yang selalu menyalahkan bawahan jika tidak bisa bekerja, apalagi yang tidak mau mengakui kesalahan bahkan jika sudah ditunjukkan di depan hidungnya.

Mohon maaf, saya tidak lagi menghormati Anda.
Share:

Tuesday, September 13, 2022

Jakarta dan artinya


Selamat malam, Jakarta.

Kota yang megah dan bisingnya tidak pernah berhenti. Tidak juga pada jam 3 pagi, saat aku menatap Jembatan Semanggi dari ketinggian hampir 100 kaki. Kota yang bergerak cepat, seperti langkah kaki para penghuninya beberapa jam lagi; diburu waktu dan alat transportasi yang acap kali telat tidak tahu diri. 

Kerasnya Jakarta hanya untuk orang-orang kuat, kata mereka, atau untuk yang terpaksa mencari nafkah demi memperpanjang jarak dari rundungan nestapa. Pukul 6 pagi nanti, mobil-mobil akan berjajar seperti koleksi mobil mainan dari atas sini, maju setengah meter demi setengah meter menuju gedung-gedung pencakar langit di pusat ibukota.

Setelah 25 tahun bersama, aku pergi menjauh dari kamu. Bukan karena sudah bosan, namun karena keharusan. Tapi aneh, bukannya lega, aku malah rindu. Pada kegilaan orang-orangnya, pada wajah-wajah asing yang ditemui di kereta pagi tujuan kota, pada rutinitas menjemukan yang memuakkan.

Aku menemukan rumah, pada sebuah rumah kecil bertingkat dua di timur Jakarta. Pada senyum-senyum penghuninya yang tetap ada meskipun hari itu mendung bertengger di ujung nusa.
Aku menemukan nyaman, pada kemacetan yang seringkali dikeluhkan massa.
Aku menemukan Jakarta, kota yang besarnya bahkan tidak sampai sepertiga Pulau Jawa, menjadi satu bagian dari diri yang lebih besar dari sekadar kata.
Share:

Sunday, June 5, 2022

Dosa, Tangis, dan Americano

Beberapa hari ini, saya banyak menangis. Menangisi pekerjaan, dosa-dosa, juga berita duka di luar sana. Saya menangis karena kesal dengan atasan, menangis karena penyesalan yang selalu datang belakangan, juga karena berita kehilangan. Saya menangis untuk hal-hal yang ada di luar kuasa saya, menangis untuk hal-hal yang juga ada dalam kontrol saya, juga menangis untuk satu keluarga yang jika dibilang bersinggungan pun hanya sebatas tahu nama.

Hidup saya aneh; saya sadar berdosa tapi tetap melakukannya. Lalu kemudian saya menangis; keras, deras, seperti orang tidak waras. Kali lainnya saya menangis, meratap minta ampun, namun tetap tergoda masuk pada perangkap setan dan hawa nafsu. Pada ego yang menyerah pada keinginan id, dan ketika dirinya kembali mengambil alih, superego sudah lebih dulu datang menghakimi. Kemudian kembali ke awal, berputar lagi. Pada setiap putaran, satu pertanyaan yang sama muncul dalam pikiran: apa yang sebenarnya kamu mau?

Diri saya aneh; satu waktu saya menangis begitu keras untuk orang lain, di lain waktu saya bisa bergeming diam, dingin, seperti tidak punya hati. Pada satu malam, saya menangis iri melihat betapa hamba-hamba Tuhan begitu gigih dalam meminta, dan Dia membalasnya dengan kebahagiaan tak terkira. Pada malam lainnya, saya berdecak bingung tak habis pikir, bagaimana Tuhan mampu memberikan ujian seberat itu pada hamba-Nya yang kata-Nya dicinta. Pikiran yang kemudian berputar lagi, hari demi hari. Pada setiap putaran, satu pertanyaan lagi muncul dalam pikiran: apa yang kamu tahu tentang semesta, wahai makhluk fana?

Hari ini hari minggu. Ada pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan, namun saya malah memilih memesan 2 gelas americano pada aplikasi daring pesan antar. Jika saya belum pernah bilang, americano adalah kenyamanan saat saya sedang tidak baik-baik saja. Jangan tanya kenapa karena saya pun tidak tahu. Hari ini mungkin saya hanya butuh teman untuk terus berteriak pada nurani; apakah di dalam sana kamu masih berfungsi? Teman yang terwujud dalam rasa pahit minuman hitam ini, yang berembun seiring dengan es yang melebur bersama kopi. 

Besok, mungkin saya akan menangis lagi, untuk hal-hal yang tidak terduga, untuk hal-hal yang terlihat jauh dari jangkauan namun ternyata hanya berjarak satu hasta dari genggaman, atau untuk sebuah tamparan telak kesadaran bahwa semua kehidupan akan bermuara pada kedalaman dua meter di bawah tanah kuburan. Lusa? Satu minggu ke depan? Sepuluh tahun mendatang? Siapa yang tahu. Saya cuma berharap agar Tuhan mau bermurah hati menjauhkan saya dari dosa dan rasa sesal yang pasti mengiringi, juga americano yang mungkin sudah bosan menyaksikan saya termenung tanpa arti.
Share:

Tuesday, May 17, 2022

Tujuh Belas

    Kembali lagi dengan tulisan hampir tengah malam ketika lelah tetap mendera meski libur tiga hari telah dilewati; libur yang tidak hakiki. Baru saja menyelesaikan pekerjaan lainnya setelah rapat daring beberapa jam yang lalu. Sejak bekerja, rasa-rasanya mudah sekali breakdown dan burn out, sampai-sampai mungkin pergi ke psikolog atau psikiater jadi opsi yang tidak lagi terlihat sulit dipilih. Semakin dewasa, semakin banyak pilihan yang diambil juga tanggung jawab yang diemban. Pilihan-pilihan penuh resiko maupun tanggung jawab besar yang seringkali masih dipertanyakan kenapa dibebankan pada kedua pundak ini. Kalau sedang lelah begini, memang rasanya ingin sekali kembali jadi anak kecil yang belum mengerti banyak hal, jadi anak kecil yang masih dimaklumi untuk banyak bertanya tanpa harus dihakimi kenapa tidak berhenti mencari jawabnya.

    Kemarin, untuk kesekian kalinya, saya sampai pada titik ketika saya tidak ingin melakukan apa-apa lagi selain tidur dan menangis. Kemudian, tiba-tiba daftar putar saya memutar lagu Tujuh Belas dari Tulus. Ketika sampai pada bagian "Sederas apa pun arus di hidupmu, genggam terus kenangan tentang kita. Seberapa pun dewasa mengujimu, takkan lebih dari yang engkau bisa.", air mata saya turun begitu saja. Wow, this hits the right spot accurately. Menonton video klipnya kemudian tidak membantu tangis saya berhenti sama sekali, malah turun semakin deras. Melihat anak-anak sekolah dengan seragam berlarian ke sana ke mari dengan tawa di wajah mereka membuat saya bertanya-tanya, apakah saya juga pernah terlihat sebebas itu?

    Mungkin iya, mungkin juga tidak. Jujur saja, saya mengakhiri masa SMA dengan tidak begitu gembira, apalagi dengan teman-teman di sekolah. Jika boleh memilih, mungkin teman-teman dunia maya lah yang membuat saya lebih bahagia. Teman-teman yang saat ini entah berada di mana karena kami sudah berpisah jalan dan saya hanya bisa mengingat waktu-waktu itu sebagai kenangan.

    Tujuh belas adalah usia batas ketika seragam sekolah akhirnya ditanggalkan dan diri melangkah menuju satu dunia baru bernama kedewasaan. Dunia yang pada awalnya terlihat biasa saja, namun ternyata 180 derajat berbeda. Dunia ketika harapan dan realita seringkali tidak sejalan. Dunia ketika mimpi-mimpi seringkali harus dalam-dalam dikuburkan.

    Cara saya melihat dunia saat ini mungkin salah, karena saya sedang lelah. Cara dunia melihat saya saat ini juga pasti tak kalah menyakitkan. Saya belum jadi siapa-siapa dan mungkin tak akan jadi siapa-siapa. Mungkin juga akan begitu saja dilupakan. Tapi, hingga tiba di garis akhir nanti, semoga diri ini tetap kuat berdiri meski kenangan yang harusnya bisa digenggam dengan menyenangkan, malah berakhir menyakitkan. Semoga semua ujian yang sedang berjalan hanya akan jadi bukti seberapa tangguh diri ini bertahan. Semoga.
Share:

Friday, August 20, 2021

Thoughts On: Sholat, Kebutuhan atau Kewajiban?

      Hai! Balik lagi dengan tulisan penuh pikiran pribadi yang kadang nggak disaring lagi alias asal tulis aja apa yang ada di pikiran. Judulnya agamis banget ya lmao but this is just another piece of mind yang gue keluarin biar gue juga mikir lagi sih. Tulisan ini dibuat bukan dengan maksud menggurui karena gue sekali lagi have no capacity on assessing how high your relationship quality with your god is.

    Tumbuh di keluarga yang religius, gue diajarkan bahwa sholat adalah suatu keharusan. Wajib hukumnya dikerjakan, dosa apabila ditinggalkan. Memang, perkara agama sering sekali terdengar seperti sedikit-sedikit surga, sedikit-sedikit neraka. Namun, gue pikir, memang seperti itulah konsep dasar kehidupan. Semuanya diciptakan dengan pasangan, semuanya diciptakan dengan dua sisi yang bertolak belakang. Waktu kecil dulu, nggak ada lah ceritanya gue mikir kenapa sih harus sholat? Kenapa sih hukumnya wajib? Gunanya sholat tuh apa sih? Dulu, yang gue tau cuma kalo nggak sholat, ya dosa. Sehingga sholat acapkali cuma menjadi sebuah cara menggugurkan kewajiban. Mau sholat cuma 2 menit, ya yang penting udah sholat. Sesederhana itu. Sholat cuma jadi rutinitas tanpa arti. Biar kalo ditanya ayah-ibu, "mbak, udah sholat?" bisa dijawab dengan bangga, "udah kok." Sebatas itu saja.

    Rutinitas yang diulang-ulang selama bertahun-tahun hingga menginjak bangku SMP. Nah, selain sholat wajib, nyokap tuh mulai sering nyuruh gue sholat dhuha, padahal kalo di SMP sholat dhuha tuh aneh banget. Iya, kan SMP gue bukan SMP islam apalagi pesantren. Jadi dulu kalo diajakin ke kantin terus gue bilang mau sholat dhuha tuh gue diliatin wkwkwk. Nah, awalnya terpaksa banget sih dhuha tuh. Asli, kayak ya ngapain sih orang-orang pada main, gue sholat? Sok banget hahaha gitu dulu gue mikirnya. Eh terus ternyata ada mas crush sholat dhuha juga ciyaaat bonus dong ((asli ini ga bener banget emang)) yaudah akhirnya gue sholat-sholat aja tuh tiap hari kalo emang bisa (kadang suka ada pelajaran yang ngambil waktu istirahat). Nah waktu zaman gue, UN SMP masih ada, terus anak sekolah gue pada pinter-pinter, termasuk si mas crush. Ceritanya, nggak mau kalah lah gue. Selain belajar abis-abisan, gue mepet Allah juga deh kayaknya, baweeeel banget tiap hari minta nilai UN segede apaan tau. Di waktu ini, gue juga belum paham benar kenapa kita disuruh sholat. Sampai suatu hari, gue lupa sih ada apaan tapi waktu itu gue pengen nangis banget, udah nggak kuat. Akhirnya lari ke mushola, ambil wudhu, sholat dhuha. Sujud pertama, wah, gila. Gila banget. Ngerti nggak rasanya lo kayak lagi sediiih banget, pundak lo tuh berat banget, nah pas sujud pertama itu, gilaaak beneran ces pleng banget gitu loh rasanya? Kayak Ya Allah kok nikmat banget sujudnya? Gue beneran speechless tapi mau nangis malu soalnya udah ada anak-anak lain juga wkwkwk. Masya Allah emang Allah tuh Maha Baik. Gue kalo inget-inget itu rasanya pengen banget gitu re-living the memories :') Tapi mungkin emang yang namanya kejadian magical nggak akan terulang berkali-kali ya, yaudah cuma itu doang satu hal yang bikin gue mikir, oh iya gue harus sholat.

    Nah, semakin besar, kepala gue semakin nggak bisa diam. Semakin banyak mikir segala hal random. Termasuk soal sholat. Otak gue nggak lagi menerima alasan sesepele kalo nggak sholat ya dosa. I started to think "ya kenapa dosa? Emang Allah mau gue gimana dengan sholat? Sebenernya apa yang bisa gue dapet dari sholat?" Dari pengalaman waktu SMP : hati menjadi tenang. Indeed. Tapi perlu digarisbawahi, sholat yang sepenuh hati. Bukan cuma gerakan takbir sampai salam yang di tengah-tengah juga kadang lupa udah rakaat ke-berapa. Bener ini, asli, valid.

    Hati menjadi tenang karena lo sholat. Tapi sebenernya kalo mau dibedah lebih jauh, tenang karena apa? Karena udah menggugurkan kewajiban lo? Atau tenang karena udah berdialog dengan Tuhan lo hari ini? Iya, sering banget gue mikir kayak gini. Atau lebih jauh lagi, "sholat kali ini kewajiban atau kebutuhan ya?"

    Kadang juga gue mikir, sebenernya perlu nggak sih lo milah-milah jenis sholat lo kali ini yang mana? Toh iman manusia juga fluktuatif, naik turun. Bukan berarti kalo kali ini lo sholat demi menggugurkan kewajiban berarti lo langsung kafir kan? I tried to accept that. Oh, iya, hari ini sholatnya kayaknya kurang fokus deh? Maafin ya, ya Allah. Nanti dibenerin lagi deh, gitu. Just like how we need to process everything step by step, i think that's just how grasping the concept of praying also works.

    Nah, di umur seperempat abad ini, gue menemukan satu lagi statement yang menyatakan "Allah tuh nyuruh kamu sholat bukan karena Dia yang butuh. Tapi kamu." Waktu pertama kali dengar pernyataan ini, gue mikir lama banget kayak gimana-gimana maksudnya? Kok kita disuruh tapi karena kita yang butuh? Ternyata oh ternyata, karena Allah tuh sayaang banget sama kita. Allah tuh nggak mau kita susah, makanya kita disuruh sholat, disuruh berdoa. Allah nggak dapet apa-apa dari sholat kita, kita yang dapet apa-apa. Kalo kita nggak sholat, Allah nggak rugi apapun, kita? Rugi banyak. Udah resah dan gelisah menunggu di sini di sudut sekolah, /gak fai/ terus adaaa aja deh tuh pokoknya masalah yang muncul. Coba deh diinget-inget. Kalo nggak gitu, moga-moga bukan sudah sampai di tahap istidraj ya, alias Allah udah bodo amat sama kita, jadi dicuekin :')

    Udah sih, intinya mah sekarang sholat ya sholat. Cuma sekadar menggugurkan kewajiban ya alhamdulillah, berarti sadar masih punya kewajiban yang harus ditunaikan, udah jadi kebutuhan lebih alhamdulillah lagi, berarti one step closer to Allah The Almighty. Sekali lagi, tulisan ini dibuat murni tanpa tujuan ataupun keinginan menggurui apalagi tujuan-tujuan aneh lainnya, hence it is tagged with "thoughts on" tag karena ini merupakan salah satu pikiran liar yang sering muncul ke permukaan dan jika gue diskusikan dengan orang lain.....kayaknya gimanaa gitu hahaha. Boleh ditanggapi, boleh dikritik, tapi tidak untuk didebat kusir karena sekali lagi kembali ke prinsip hidup utama gue, you do you.

Share:

Sunday, January 31, 2021

About Friendship

Why do I feel like writing every time January hits its end? Because this is already the 2nd time. None of that matters though lmao. Okay so, today is Sunday and I feel like writing something to ease off my mind before I let it back to think about work.

It's been almost a month since I started new work and moved to another city. I need to adapt to new environment, including the weather and friends. Yes, most of my co-workers have the same age as mine hence I'd love to call them friends rather than the former. The thing about friendship for me though, is always about the vibe. If they passed my vibe radar, then we must have been able to bond and get along well, or vice versa. 

My God has been soooo kind to me by surrounding me with people I can laugh a lot with and chat about almost everything with, not only limited to work loads. I'm so grateful for them, like soooo grateful. I just hope we could continue like this though for years and years to come. We might encounter different opinions in the future (ofc we all have different heads??), but I hope it's not enough to break the bond we have started to weave.

Nah, the bad side about friendship for me is that I grew really fond of them and frequently got insecure and a bit possessive. It's like I don't wanna let others take them from me or let others get as close as me to them. WELP I REALLY NEED TO WORK ON THIS BECAUSE THIS IS NOT HEALTHY AT ALL AND IT'S EXHAUSTING. What's more annoying is I can't even conceal how I don't like it from them. Take this for example. When someone whose vibe isn't vibing with mine aka someone I can't really get along with talked to my friends, I'd totally be quiet and look at my phone instead. And my friends would look at me with stares that said what's wrong with you?! Why the sudden silence?? You're usually so loud?? and I could only shrug it off and said it's nothing lmao yes that's just how obvious I am. I wear my heart on my sleeves.....yes. You know what, one of my new close friends even said that I'm an extrovert hence I seem to not be able to stop talking when I'm with her. Lmao surprised but not surprised I guess? 

Generally speaking, I'm always so loud, affectionate and protective to those I love. Sometimes I don't even think about their gender, whether they are boys or girls, they're all my friends and I love them all the same. It bothers me so much when one said boys and girls could not be friends without catching feelings and I was like????? Why????? Because I totally can?????? I love my guy friends like they were my older brothers?? When I said I love them, I love them platonically and platonically only, not more??? But again, this might be just me lmao. 

Friendship is just like another ship that has to go through ups and downs; when storms hit, it shakes violently and the crew needs to stay together and do all they could to not let the ship sinks so they could survive and see the sun rises beautifully the next day, just like nothing happened. Storms only makes the crew grew stronger and closer if they could survive it. I personally always love to take the storm heads on, rather than hiding and face them later on because it might turn bigger and explode while the clock keeps on ticking. I mean, you guys could always openly tell where my fault is so I could reflect and properly apologize, rather than badmouthing me from behind. I'm blunt, too blunt for some of you perhaps, but I swear I never had any bad intention for all of my dear friends. So just come and talk to me. I'm still trying to be the better version of me, so I apologize in advance if you guys have to bear with this ugly version for now.

Last but not least, thank you for being my friend. I really am thankful for each and every single one of you. May our encounters brought you joy and happiness, or at the very least, lessons to learn.
Share: