Mengingat kata belajar, pikiran sebagian besar orang akan langsung mengarah pada kegiatan formal dengan siswa dan guru sebagai komponen utamanya. Juga ruang kelas, lengkap dengan papan tulis kapur/spidol, juga meja dan kursi. Padahal, belajar tak cuma terbatas sampai disitu saja.
Hari ini, ketika Jakarta diguyur hujan sejak tadi malam hingga saat ini, keluarga saya memilih untuk mengikuti pengajian rutin mingguan di salah satu masjid besar di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Selepas pengajian, kami berjalan mencari case laptop untuk ibu. Hingga kemudian menyempatkan diri makan siang terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan, seringkali banyak topik pembicaraan yang diangkat. Baik antara ayah dan ibu, atau pun antara saya dengan adik-adik. Dalam bentuk obrolan dua arah, maupun diskusi hangat penuh argumentasi semangat dari saya maupun adik-adik tentang suatu masalah yang kami tanyakan pada ayah atau ibu.
Suatu kesadaran menghantam saya dalam perjalanan pulang. Ngobrol dan diskusi kami selama dalam mobil ini juga proses belajar. Meski tanpa guru, tanpa spidol, juga tanpa meja. Obrolan mengalir layaknya bola yang turun dari bidang miring licin; bebas tanpa hambatan. Jika ada yang tidak sependapat, kami boleh langsung membantahnya dan mengajukan pendapat kami. Pun jika ada yang masih tak dapat dipahami. Beruntung, orang tua saya bukan tipe orang tua kolot yang tak membiarkan anaknya bertanya hal-hal aneh dan memiliki pendapat sendiri. Saya jadi teringat akan canggungnya sebuah mobil dengan keluarga lengkap di dalamnya disertai gadget canggih. Dingin, tak ada obrolan, semua sibuk dengan gadgetnya. Sang ayah sibuk menyetir, sang ibu asyik BBM-an dengan teman-teman arisannya, sang adik seru dengan PSP-nya, sedang si kakak terlarut dalam musik di Ipod-nya. Duh, miris sekali. Betapa banyak kesempatan belajar yang mereka lewatkan dengan gadget canggih yang mengelilingi mereka.
Saya hanya ingin mengingatkan siapapun bahwa meski gadget membantu sebagian besar hidup manusia, tak ayal ia juga menjadi salah satu faktor penghancur hidup manusia. Bisa dibilang gadget juga membantu seseorang belajar, meski efek samping yang ditimbulkannya juga akan lebih banyak. Kena efek radiasi, misalnya. Belajar, bagaimanapun caranya dan dimanapun posisinya adalah sebuah proses penerimaan kehidupan dari ketiadaan. Manusia lahir tanpa pengetahuan dan proses belajar membuatnya "tahu" bahwa sesuatu itu ada dan bermakna. Apalagi proses belajar yang disertai hati ikhlas dan lapang serta perasaan senang, akan membuat sesuatu semakin mudah diingat dalam jangka waktu yang lama.
Hari ini, ketika Jakarta diguyur hujan sejak tadi malam hingga saat ini, keluarga saya memilih untuk mengikuti pengajian rutin mingguan di salah satu masjid besar di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Selepas pengajian, kami berjalan mencari case laptop untuk ibu. Hingga kemudian menyempatkan diri makan siang terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan, seringkali banyak topik pembicaraan yang diangkat. Baik antara ayah dan ibu, atau pun antara saya dengan adik-adik. Dalam bentuk obrolan dua arah, maupun diskusi hangat penuh argumentasi semangat dari saya maupun adik-adik tentang suatu masalah yang kami tanyakan pada ayah atau ibu.
Suatu kesadaran menghantam saya dalam perjalanan pulang. Ngobrol dan diskusi kami selama dalam mobil ini juga proses belajar. Meski tanpa guru, tanpa spidol, juga tanpa meja. Obrolan mengalir layaknya bola yang turun dari bidang miring licin; bebas tanpa hambatan. Jika ada yang tidak sependapat, kami boleh langsung membantahnya dan mengajukan pendapat kami. Pun jika ada yang masih tak dapat dipahami. Beruntung, orang tua saya bukan tipe orang tua kolot yang tak membiarkan anaknya bertanya hal-hal aneh dan memiliki pendapat sendiri. Saya jadi teringat akan canggungnya sebuah mobil dengan keluarga lengkap di dalamnya disertai gadget canggih. Dingin, tak ada obrolan, semua sibuk dengan gadgetnya. Sang ayah sibuk menyetir, sang ibu asyik BBM-an dengan teman-teman arisannya, sang adik seru dengan PSP-nya, sedang si kakak terlarut dalam musik di Ipod-nya. Duh, miris sekali. Betapa banyak kesempatan belajar yang mereka lewatkan dengan gadget canggih yang mengelilingi mereka.
Saya hanya ingin mengingatkan siapapun bahwa meski gadget membantu sebagian besar hidup manusia, tak ayal ia juga menjadi salah satu faktor penghancur hidup manusia. Bisa dibilang gadget juga membantu seseorang belajar, meski efek samping yang ditimbulkannya juga akan lebih banyak. Kena efek radiasi, misalnya. Belajar, bagaimanapun caranya dan dimanapun posisinya adalah sebuah proses penerimaan kehidupan dari ketiadaan. Manusia lahir tanpa pengetahuan dan proses belajar membuatnya "tahu" bahwa sesuatu itu ada dan bermakna. Apalagi proses belajar yang disertai hati ikhlas dan lapang serta perasaan senang, akan membuat sesuatu semakin mudah diingat dalam jangka waktu yang lama.
0 comments:
Post a Comment