Di angkutan kota, misalnya, saya belajar bagaimana saya tidak boleh memandang seseorang melalui penampilannya. Seburuk apa pun ia terlihat. Memang, tak pernah dapat dipungkiri bahwa tampilan fisik seseorang tentulah yang paling besar persentasenya dalam menentukan asumsi diri. Tapi yang saya maksud adalah belajar menghargai. Saya berulang kali, jujur saja, selalu menekankan pada diri sendiri untuk tidak merendahkan orang-orang yang terlihat lusuh. Meski harus bersusah payah, setidaknya perasaan tinggi hati itu tidak jadi raja yang berjaya.
Lain lagi cerita di kereta. Transportasi umum jarak dekat paling nyaman di antara yang lainnya. Mungkin karena faktor inilah, kereta sangat digemari sehingga untuk naik saja diperlukan usaha ekstra. Apalagi saat jam-jam berangkat dan pulang kerja. Tapi disana saya belajar bersabar. Sabar menghadapi orang-orang yang tidak sabar untuk naik ke gerbong kereta. Sabar mendengar semua keluh kesah tentang penuhnya kereta yang mereka tumpangi, tentang masalah-masalah pekerjaan, hingga obrolan ringan soal keluarga antar teman atau sesama penumpang yang sama sekali asing. Hanya di transportasi umum, semua orang asing bisa menjadi teman.
Saya suka mengamati orang-orang, dari kepala sampai kaki, dari baju sampai sepatu yang mereka kenakan. Saya suka menebak-nebak bagaimana kehidupan mereka. Mungkin jauh lebih beruntung daripada saya atau malah sebaliknya? Masalah seperti apa yang harus mereka hadapi setiap hari? Bagaimana keluarganya? Bagaimana pekerjaannya? Dan setiap pikiran-pikiran itu terlintas, lagi-lagi saya harus mengingatkan diri saya sendiri untuk terus bersikap baik pada setiap orang yang saya temui. Karena kita tidak pernah tahu seberapa berat hidup dan masalah yang dialaminya. Selain itu, saya juga diingatkan agar terus bersyukur atas hidup saya. Atas semua masalah yang ada, atas semua nikmat yang telah diberikan-Nya, atas segalanya.
0 comments:
Post a Comment