Wednesday, December 10, 2014

Idealisme?

Hari senin kemarin, kami mulai memasuki minggu UAS. Hanya ada satu ujian di hari itu, jam 3 sore. Salah seorang temanku marah di ruangan tempat kami akan melaksanakan ujian, marah pada teman-teman sekelasnya yang mencontek saat UTS hingga UTS nya harus diulang. Khusus kelas itu. Aku yang baru datang, baru sempat melongok ke dalam, mendengar sedikit dari apa yang ia bicarakan; tak lebih, hanya mengajak teman-temannya jujur dan percaya pada kemampuan sendiri. Aku terdiam. Salut pada ajakannya yang mungkin terlihat menyebalkan bagi beberapa orang. Saat itu, salah seorang seniorku menghampiri dan bertanya, "Ada apaan jah? Itu kok marah-marah?" Aku yang memang belum tahu perkara detilnya (aku tahu setelah masuk ruangan) hanya sekedar menjawab "Itu kak, dibilangin biar UASnya jangan pada nyontek." Dan tahu apa jawabannya? "Alah, sok idealis temen lo." Dan aku menanggapinya dengan "Yeee kok gitu" kemudian ia ngeloyor pergi.

Jujur. Satu kata yang mudah terucap namun sangat sulit dilakukan. Kerap kali justru digunakan dalam konteks yang salah. Sifatnya prinsipil, harusnya jadi landasan hidup seseorang dalam melakukan kegiatan sehari-hari. 

Harus kuakui, satu kalimat dari seniorku diatas menamparku juga. Seketika berbagai pertanyaan berkelebat saat ia pergi. Idealis? Jadi itu sebutan untuk orang yang tetap mencoba jujur di zaman sekarang? Dimana letak salahnya? Apa salahnya jadi jujur? Aku tak melihat kesalahan dimanapun dari seseorang yang mempertahankan prinsipnya untuk jujur. Dan mengajak orang? Tak ada salahnya juga. Ia hanya mengajak, bukan memaksa. Toh ia tak melakukan apapun selain mengajak. Ia tak tahu. Aku, salah satu dari mereka yang ia bilang idealis. Atau naif, mungkin beda tipis. Aku tak tahu. Yang jelas, aku dari sekian orang yang berprinsip bahwa jujur di atas segalanya, apalagi saat ujian, mau nilaimu bagus atau tidak, itu  hasil usahamu sendiri. Aku, satu dari sekian orang yang mengutuk orang yang bahagia dengan nilai bagus karena hasil menyontek. Aku, satu dari sekian orang yang mencibir orang-orang yang mau dijajah kebohongan, membuatnya besar dan jumawa.

Baiklah, bilang aku idealis. Bilang aku tidak riil, tidak mampu menafsirkan situasi dan kondisi yang sedang terjadi di dunia masyarakat sekarang ini, tidak mampu menyesuaikan diri, atau apalah, aku tak peduli. Aku masih tetap seseorang yang akan menganggap semua orang baik, meski tak pelak kadang dirundung curiga. Aku masih tetap seseorang yang akan berusaha maksimal dalam setiap usahanya untuk apapun, tak peduli bagaimanapun hasilnya. Aku masih tetap seseorang yang akan selalu percaya bahwa Allah punya tabungan kebaikan amal kita yang belum diberikannya lunas saat kita gagal melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Aku masih tetap percaya bahwa jujur adalah hal paling penting yang harus seseorang pegang saat bermasyarakat. Aku tak berlagak jadi suci, aku hanya berlatih menakar kapasitas diri. 
Share:

Thursday, November 6, 2014

Sepi (Kekecewaan yang Meledak)

Malam. Posting lain di tengah padatnya hiruk pikuk tugas semester 3 yang seperti tak ada habisnya. Namun anehnya, malam ini aku malah tak mengerjakan apapun. Bebas. Luang. Dan lagi-lagi memberi ruang untuk menerawang.

Saat ini sepi. Entah sekadar jenuh atau karena dahi yang bersimbah peluh. Entah karena diliputi duka, atau malah disapa nestapa yang jahil belaka. Ah sepi, ada apa?

Mungkin karena aku sekarang sendiri? Ya, sendiri. Karena aku memutuskan untuk mengubur kejadian-kejadian itu dalam-dalam. Lelah. Aku tak mau lagi berurusan dengan mereka. Biar mereka dan Tuhan yang tau akan mengarah kemana dan dimana muaranya. Sudahlah, aku tak mau tau lagi. Aku lelah menjadi bayang-bayang yang selalu mengikuti; ada tapi dianggap tak ada, disadari namun tak diajak bicara. Aku lelah menjadi opsi kedua, yang seakan selalu ada tiap yang pertama pergi. Hanya segitu nilaiku?

Sepi mungkin selalu identik dengan sendiri. Namun tak di setiap sendiri kamu jumpai sepi. Sepi terkadang muncul di tengah keramaian, makhluk aneh, meski aku lebih suka mengakrabinya saat sendiri. Apalagi ketika kutemui sepi di atas ribuan mdpl sana, dengan langit berbintang sebagai atapnya.

Aku mungkin salah saat menjauhinya. Mungkin. Tapi toh hanya sedikit bagian dari hatiku yang merasa bersalah. Toh aku merasa lebih baik. Jadi aku simpulkan, tak apa. Aku merasa perlu membangun benteng yang kokoh sebelum kembali perang, tentu saja. Aku hanya belum pernah merasa sekecewa ini. Seakan semua yang sudah kami lalui bersama tak ada artinya. Begitukah? Jika harus berakhir begini, sejak dulu saja tak kucari kau dengan nama itu. Sejak dulu saja kita terpisah waktu. Dulu, mungkin aku memaklumi. Tapi sekarang? Tidak lagi.

Sepi selalu membawa angin semilir bersamanya. Membelai wajah dengan lembut dan mengangkat awang jauh entah kemana. Sepi selalu jadi teman terbaik saat yang dianggap terbaik tak lagi baik. Ah manusia, kenapa tak bisa seperti sepi?

Aku sudah mengucapkan selamat tinggal. Tak bisakah kau lihat itu? Aku benci. Benci padamu yang berpura-pura tak tahu. Berpura-pura tak peka kecuali padanya. Berpura-pura segalanya baik saja padahal kau tahu tidak. Ingin rasanya aku berteriak sambil menampar wajahmu yang menyebalkan itu, paling tidak agar kau sadar! Sadar bahwa kau yang sekarang sudah jauh berbeda. Sadar bahwa kau yang sekarang hanya seorang pengemis masa lalu yang baru menyesali perbuatannya, kemudian merengek minta kembali. BAH! Kau pikir kau itu siapa?! Kau pikir dunia ini milikmu?! Kau pikir isi duniamu hanya dia?! HAHAHA PIKIR! Aku muak dengan semua tingkahmu! 

Lebih baik aku pergi, meski harus ditelan sepi.


Jakarta, 6 November 2014
Untuk seseorang yang sudah terlalu jauh dari sisi, pergi dan jangan pernah menoleh lagi.
Share:

Wednesday, October 1, 2014

New Story

Been a month since the last time I wrote here. Things happened. Stories begin and end. Terlalu banyak yang berubah dari yang seharusnya. Kejutan dimana-mana. Ah, hidup.

Mungkin harus dimulai dari hal-hal yang tetap sama hingga sekarang. Gue masih suka naik gunung, masih kangen bahkan meski baru seminggu setelah turun. Gue sampe mikir kalo ini candu baru gue. Cara gue kabur dari kenyataan, atau seenggaknya biar makna hidup tetap ada di gue. Ya, gue dapet semuanya dari alam. Dari perjalanan-perjalanan gue kemarin, gue banyak belajar. Bentuknya mungkin tidak nyata, tapi gue tahu ada yang berubah di dalam sana. This is maybe the reason why I won't ever regret taking Geography as my major. Gue gatau, tapi yang pasti satu lagi khayalan gue tercapai.

I went to travel a lil too much these days. Baiknya, gue jadi deket sama temen yang tadinya gue ga deket. Buruknya......gue maunya jalan-jalan mulu............

Banyak hal yang harusnya gue ceritain disini, sayangnya gabisa. Yang gue bisa tulis adalah bahwa hal-hal itu berubah secara drastis, sampai-sampai gue nangis. Hal-hal diluar ekspektasi gue selama ini. Hal-hal yang meruntuhkan tembok dan berbagai macam sikap yang susah payah gue bangun selama sebulan terakhir ini. Things that put me in such a difficult situation. Rumit dan banyak. Banyak yang terlibat di dalamnya, banyak orang, banyak lingkaran.

Gue gatau harus gimana, sampai seseorang di perjalanan terakhir gue kemarin bilang "know and care less, happy more". Satu kalimat yang dengan ajaibnya  masih terus nempel di pikiran gue sampai saat  ini. Ya, mungkin gue yang emang terlalu peduli dan terlalu ingin tahu, sampai-sampai urusan sendiri terbengkalai. Mungkin gue emang selalu mikirin orang lain dan mengabaikan diri sendiri. Mungkin.......ah sudahlah.

I'd like to move on. I'd like to put things aside and think about my self more, yet I'm just afraid of getting more selfish than before. Entahlah bagaimana hal-hal yang gue sebutin di atas tadi akan berakhir, gue gatau. Yang pasti, gue bakal tetap disini. Menjadi satu irisan dari berbagai lingkaran yang rumit itu. Menjadi Faizah yang sama dengan yang dulu belum kecewa, sekaligus menjadi Faizah yang berbeda dengan yang dulu pernah ada.


Ps: Alam, tolong ajari aku lebih banyak lagi. Sampai ketemu di Gunung Cikuray tanggal 25 bulan ini! Semoga aku bisa ikut dan belajar lagi :) aamiinnnn
Share:

Tuesday, August 19, 2014

Dia, yang membuat saya jatuh cinta

Mungkin hanya rindu
Rindu rasanya dibelai angin sepoi di atas ketinggian ribuan mdpl sana
Rindu bau keringat bercampur semangat yang menempel di badan
Juga bau rerumputan yang melekat erat di sepatu dan kaki-kaki kami

Ah, rasanya tak pantas berbicara tentang rindu
Bahkan jumlah keberadaan saya disana tak sebanyak jumlah jari tangan yang berjuang memberi kehangatan
Apalah arti saya dibandingkan ribuan orang lain yang sudah menjejakkan kaki di banyak puncak lainnya
Mungkin hanya seperti kucing yang melawan harimau
Tak akan bisa menang

Tapi saya dengan bodohnya tetap memelihara rindu itu
Rindu yang sering menumbuhkan harap bahwa saya bisa
Bisa berdiri di atas sana lagi bersama doa-doa yang dilambung semesta

"Hai, akhirnya kamu lagi. Selamat datang kembali."
Ucap tanah yang saya pijak di ketinggian ribuan mdpl sana, entah dimana


Jakarta, 19 Agustus 2014
Kangen naik gunung. 
Share:

Wednesday, August 6, 2014

Renaissance vs Islam's Dignity Heritages (99 Cahaya di Langit Eropa Review)


First of all, hi! Got me here again finally hahaha so yeah i come back with this movie review.

Eropa, satu benua yang mungkin terdengar sangat eksklusif dan moderen dengan segala kehidupan bebasnya ternyata memiliki banyak rahasia peninggalan kejayaan Islam di balik bangunan-bangunan megahnya. Arc de Triomphe, Louvre, Champ Elysees, semua yang terlihat seperti peninggalan zaman Renaisans rupanya memiliki keterkaitan dengan zaman kebangkitan Islam dahulu.

I love the way the actors & actresses play their role. It's just great. Film ini juga menceritakan kisah perjuangan seorang muslim untuk melaksanakan ibadahnya dan bagaimana mereka berusaha memegang teguh ajaran Islam di dalam lingkungan non-muslim. Saya suka bagaimana Rangga (Abimana Aryasatya) tetap berusaha menjaga diri, hati, dan cintanya untuk Hanum (Acha Septriasa), sang istri, semata agar ia dapat menjalani ajaran agamanya dengan benar. Bahkan setelah ia digoda oleh teman satu kampusnya, Marja (Marissa Nasution), perempuan cantik dan baik hati yang menaruh hati padanya. It's just the way they talk, their glance, gestures, aw I'd love to have a husband like him. Who doesn't?

Menjadi sebuah hal yang lucu mengingat saya sama sekali tidak berniat untuk menonton film ini dan malah berakhir menulis sebuah review untuknya, simply because i knew this would have drama as its genre, as well as i knew it would also have religious sides. Speaking of, i just knew that this movie is made based on the novel. Well, i haven't read it yet so yeah i don't know if the book's better or vice versa? The book must have been far better, right? (my experiences, so far)

Best part: they talk in Deutsch and France! Don't forget their awesome dialects oh god i got eargasms lol it's also nice to have a company during your travel (definitely)

After taste: MAU JALAN-JALAAAANN SAMA SUAMIII. SUAMINYA YANG KAYAK RANGGA TAPI. Ya gacin (lagi). Ya.
Share:

Sunday, July 27, 2014

Ied Mubarak

Ramadhan sudah menemui penghujungnya. Satu bulan berlalu begitu saja. Tanpa ada apa-apa. Padahal seharusnya satu bulan lalu itu merupakan satu bulan yang istimewa; Ramadhan Kareem, siapa yang dapat menjamin aku masih dapat menemuinya tahun depan? Tapi sungguh, Ramadhan tahun ini terlalu sepi. Suasananya pun tak kental terasa seperti biasanya, tertutupi oleh bisingnya kampanye para calon pemimpin bangsa. Toh pada akhirnya pemilu tetap berlangsung ricuh dan banyak suara-suara yang kabarnya diselewengkan. Lantas apa yang kita dapat? Merugi keduanya bukan?

Entahlah, bagaimana rasanya mengganti rasa bersalah ini. Rasanya tidak benar, hampa. It's like you had been fasting for a month but get nothing? Hanya seperti puasa pada hari biasanya, bedanya dengan durasi lebih lama. Lalu dimana istimewanya? Duh Allah, apa yang salah? Kampanye pilpres? Orang-orang yang haus tahta itu? Suasana Ramadhan yang tak terasa? Atau justru..... Aku?

Besok Syawal dimulai, kata mereka kita menang. Entahlah, aku tak tahu apa yang aku menangkan, atau apa aku benar-benar menang. Aku rindu Ramadhan, benar-benar rindu semuanya. Semua kebiasaan-kebiasaan, suasana hangat saat bercengkrama, malam-malam itikaf di masjid-masjid yang beragam, Mbah Akung yang pergi tarawih, juga rasanya sekolah saat puasa. Ah, tapi nyatanya tak kutemui semuanya di Ramadhan kali ini. Yang kutemui hanya buka puasa-buka puasa bersama yang sering kehilangan arti, rumah kosong yang tak punya kegiatan di pagi harinya, juga program-program TV penuh pesan dukungan pada para calon. Barangkali yang menang pada bulan Ramadhan kali ini hanya sang calon terpilih, bukan aku, juga bukan kita.
Share:

Tuesday, July 1, 2014

Diri

Rasa-rasanya sudah terlalu lama seperti ini. Jadi orang lain yang tak mau menengok diri sendiri. Duh, apa tumbuh besar memang begini? Berjalan sesuai tuntutan keadaan yang menyelimuti, bersikap layaknya ditusuk duri; sakit, dan karena itu harus dituruti.

Rasa-rasanya ingin kembali saja. Jadi anak kecil yang hanya perlu diusap bunda jika jatuh, hanya perlu diajak berkeliling untuk tidur, pun hanya perlu diberikan permen jika menangis. Duh, apa tumbuh besar memang begini?

Toh tumbuh besar bukan jaminan jadi dewasa. Toh tumbuh besar hanya proses alam untuk meregenerasi manusia; besar, tua, kemudian mati. Toh tumbuh besar hanya sebuah proses fisik yang fana.

Karena nyatanya jadi dewasa lah yang sulit. Mendewasakan diri; memperbaiki pola pikir yang sudah terlanjur terbentuk, memandang masalah dari sudut pandang yang berbeda, menghadapi lingkungan yang tak pernah sama. Hingga kadang jadi api yang memakan diri sendiri. Hancur, lebur, jadi abu, dan diterbangkan angin entah kemana.

Duh diri, jika kamu memang sudah mati, paling tidak tinggalkan benihmu disini. Siapa tahu kelak ia jadi persis  seperti kamu. Menjelma jadi diriku sendiri yang telah lebih dulu lebur jadi abu. 
Share:

Monday, June 30, 2014

Sumbing - Solo - Jogja


Traveling, a word for those who wander much. Ibn Battuta said that travel leaves us speechless then turns us into storyteller. Ya, karena sebuah perjalanan akan selalu membawa cerita. Karena setiap perjalanan akan mengambil sedikit bagian dari hati untuk tinggal. Karena kita sebenarnya tak pernah benar-benar pulang.

Masih dalam rangkaian acara prasyarat menjadi anggota GMC UI, saya dan teman-teman lainnya diminta membuat database Gunung Sumbing di Wonosobo, Jawa Tengah melalui 3 jalur; Jalur Tedeng, Bowongso, dan Cengklok. I've got the last one, yang rupanya merupakan jalur yang harus kami rintis sendiri untuk mencapai puncak. We made the map, we made the way. Hahaha pada akhirnya kami harus puas berdiri tegak di titik tinggi 2864 mdpl karena punggungan putus yang dipisahkan oleh lembah yang dalam. Mungkin memang belum jodoh sampai di puncak, next time for sure. InsyaAllah. Kalau mau diceritakan jalurnya....duh perjuangan. Hutan dengan semak berduri, ilalang setinggi 1,5 m, jalan yang terus menanjak, wah apalagi kalau sudah sampai di lahan dengan vegetasi terbuka, angin yang berhembus kencang hingga punggungan jalur resmi pun bisa terlihat (Jalur Garung) tentu saja dibatasi lembah yang menganga diantaranya. Tapi sungguh, berdiri di titik 2864 mdpl saja sudah sangat bersyukur jika mengingat medan yang harus kami lalui untuk sampai disana. Toh dari ketinggian itu, Sindoro tetap menjulang gagah di hadapan, dikelilingi awan-awan yang melayang tenang bak terbang.

Tidak, kami tidak langsung pulang setelah turun dari Sumbing. Beberapa diantara kami memutuskan untuk pergi keliling Solo dan Jogja dengan anggapan bahwa sayang jika pergi jauh dari ibukota hanya untuk mendaki Sumbing semata. Alhasil, pergilah kami ke Solo dengan 3 kali ganti bus dari Wonosobo. Haaah, lelah? Tentu saja. Begitu sampai di rumah yang dituju, kami bertujuh langsung melepas keril sambil duduk meluruskan kaki. Selonjoran. Hari itu, kami cuma beristirahat sepanjang hari. Keesokan harinya, perjalanan dimulai! Mulai dari UNS, Masjid Ageng Surakarta, hingga Stadion Manahan kami kunjungi. Kami bahkan sempat ke Jogja untuk mengunjungi Prambanan dan balik lagi ke Solo. Di Jogja, kami hanya mengunjungi Malioboro dan Alun-alun selatan Keraton Jogja saja. 

A waste? Mungkin. Toh, ini kota-kota yang biasa dikunjungi oleh orang awam sekalipun. Tapi bagi saya, ini suatu awal. Awal untuk melakukan perjalanan yang lain, untuk pergi ke kota lain yang lebih jauh. Mungkin ke lain pulau? Lain negara? Lain benua? I do want to go everywhere, just to make sure i live the world i live in. Karena dengan traveling, kita tahu bahwa kita tidak sendiri. Bahwa kita masih punya banyak kebudayaan yang harus kita ketahui. Bahwa masih banyak orang baik yang akan membantu kita selama di perjalanan, regardless your ethnic group. Bahwa dengan perjalanan, kita menemukan suatu sudut pandang baru tentang hidup; tentang orang-orang di sekitar kita, tentang bagaimana memaknai hidup dan menghadapi rintangan di dalamnya dengan lapang dada, juga tentang cinta yang akan kita lihat di sepanjang perjalanan itu sendiri. Karena perjalanan, mengajarkan kita banyak hal untuk bertahan hidup. Go grab your chance!
Share:

Saturday, May 24, 2014

Within our world

Aku berpikir tentang satu cerita
Cerita dengan banyak alur di dalamnya
Alur yang begitu banyak dan saling bersilangan
Juga pemain yang berjalan saling bersisian
Kupikir semuanya akan berjalan lancar
Tanpa hambatan
Tanpa tabrakan
Tanpa para pemainnya dipertemukan
Tapi aku salah

Mungkin sebenarnya itu definisi dunia 
Dunia dengan banyak kehidupan
Kita mungkin hanya hidup pada satu dimensi
Dimensi yang kita sendiri tak tahu namanya
Sementara dimensi lain bergerak paralel dengan dimensi kita
Dengan dunia kita
Mungkin suatu saat nanti dimensi kita bisa saling bersilangan?
Aku tak tahu

Atau mungkin itu definisi takdir
Takdir yang mempunyai garis-garis yang berbeda bagi tiap anak manusia
Meski ada kalanya garis-garis itu bersinggungan dan mempertemukan sang empunya
Tetap saja garis itu berbeda

Tapi dunia berubah, Tuhan
Manusia juga
Apa takdir turut serta?
Share:

Wednesday, May 21, 2014

140521. H-1 Junmyun's b'day yet my last project execution

Anggap saja tulisan ini dipaksakan ada karena saya sudah sangat-sangat jenuh dengan ini semua hingga menulis pun seperti tak lagi punya daya. Banyak hal yang saya lewati beberapa hari terakhir ini, namun kebanyakan di antaranya hanya berakhir tanpa makna. Saya tidak tahu apa yang akan saya tulis disini. Namun yang pasti, cerita-cerita pada tulisan ini tidak akan saling terkait satu sama lain.

140504. Gunung Gede, 2958 mdpl. Alhamdulillah. Perjalanan kali ini entah kenapa hanya berlalu begitu saja, meski kali ini hasil yang dicapai jauh lebih besar dan lebih berarti. Meski alam memang tak pernah main-main ketika menunjukkan kemegahannya. Meski saya masih tetap terpana ketika berdiri di puncaknya. Mungkin karena hati yang tak seirama, atau malah tubuh yang merangkak menuju titik jenuhnya. Saya tidak tahu, tapi yang pasti ini merupakan salah satu titik tolak agar saya terus berusaha berjalan menuju mimpi saya yang lebih besar, menuju puncak yang lebih tinggi; Mahameru.

140515. Ini dia. Ini titik kulminasi saya. Titik balik dari semuanya. Hari dimana saya menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. Hari dimana saya sama sekali tak menyangka bahwa suatu kejadian yang terjadi nun jauh di belahan dunia sana akan memberikan dampak yang cukup besar bagi saya. Lagi-lagi saya tidak tahu kenapa. Yang saya tahu, hari itu saya izin pulang setelah jogging karena demam dan pusing serta mood yang sama sekali tidak membaik sejak pagi. Saya menangis, menangis untuk seseorang yang bahkan tidak saya kenal sama sekali. Menangis untuk seseorang yang bahkan bayangannya saja belum pernah saya lihat. Hari itu saya hanya ingin menangis, untuk alasan apapun. Dan mungkin, alasan itulah yang terlihat oleh saya hingga saya menangis. Saya kecewa, marah, khawatir, juga takut akan kelanjutan kisahnya. Saya tidak tahu harus berbuat apa selain berdoa diam-diam agar semuanya baik-baik saja. Agar saya, dia, kami, dan mereka baik-baik saja.

140521. Saya masih dalam state dimana saya tidak mau melakukan apapun kecuali menggulung diri di bawah selimut. Saya masih berusaha memperbaiki mood saya yang hilang entah kemana. Besok kelas saya akan mengadakan pertunjukkan projek akhir dari sebuah matkul dengan bobot paling banyak. Saya bertugas bermain drama bisu dan membacakan puisi. Saya tidak tahu bagaimana besok semuanya akan berjalan. Sama sekali tidak tahu. Semuanya terasa blur buat saya. Besok juga, seseorang itu merayakan hari jadinya yang ke-23. Entah harus senang atau sedih, saya tidak dapat menebak perasaannya. Besok seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan baginya karena 2 hari setelahnya dia akan menggelar konser perdana bersama grupnya. Namun, karena masalah itu semuanya harus berubah. Atmosfirnya terasa aneh, terasa ganjil, terasa tak sama lagi setelah hari itu. Tapi tanggung jawab adalah tanggung jawab, yang harus kamu pikul meski peluh dan darah mengucur. Buat kamu yang disana, semangat ya! I know you can get through this. You have them and me, I'm gonna watch your back till you could stand on your own again. Xo! 
Share:

Thursday, April 3, 2014

Sleepless night

Hai! Saya sedang butuh teman, teman yang bisa diajak pergi ke satu tempat sepi yang terbuka untuk kemudian diam. Iya, diam. Saya hanya butuh seseorang untuk mengisi ruang kosong di sebelah saya, tanpa bermaksud mengajaknya bicara dan malah membuatnya mendengar cerita-cerita kehidupan saya yang membosankan. Saya hanya ingin diam, asik dengan pikiran-pikiran liar saya sendiri ditemani angin sepoi lembut yang menerbangkan anak-anak rambut yang menggantung di pelipis. Ah, andai saja ada yang bersedia......

Saya kangen, kangen bercerita dan bersenda gurau bersama adik juga teman-teman terdekat saya. Tapi saya juga takut, takut kalau mereka bosan mendengar saya mengeluh tentang hidup dan teman-teman di kampus. Saya sadar, saya menghabiskan banyak waktu dan tenaga saya untuk perekrutan anggota baru GMC yang bahkan belum jelas akhirnya. Saya mempertaruhkan terlalu banyak hal di hidup saya. Uang, tenaga, waktu saya bersama keluarga dan teman, perasaan, juga akademis saya. Namun....bukankah setiap pilihan memiliki resiko? Bukankah semua mimpi diraih dengan usaha dan kerja keras? Terlepas dari benar atau salah, saya ingin melakukannya, jadi saya terus.

Banyak hal yang ingin saya renungkan sendiri, di bawah langit berbintang kalau bisa. Ingin rasanya saya bertengkar dengan pikiran-pikiran ini, mengurai satu persatu benang kusut yang terlihat tidak berujung seperti sebuah lingkaran sempurna. Itulah kenapa saya ingin berada di bawah langit berbintang, agar ketika saya bosan dan ingin rehat, bintang-bintang itu mengalihkan pikiran saya. Mungkin memang terdengar galau dan mellow, tapi saya tidak peduli. Saya tetap suka melihat bintang-bintang yang menggantung jauh di atas sana, mengingatkan saya bahwa masih ada yang serupa dengan matahari, bahwa yang terlihat besar belum tentu yang paling kuat. Saya suka sinarnya yang lembut dan tidak menyakitkan, berkelap-kelip ramah tiap kali saya melihatnya. Ah, jadi kangen tempat camp pertama perjalanan kedua saya.

Tulisan ini lagi-lagi, bukan untuk apa-apa. Saya hanya merasa kalau saya harus menulis karena saya sudah terlalu lama memendam pikiran-pikiran yang terus meracau bagai burung yang tak henti berkicau. Walaupun toh pada akhirnya, hanya tulisan-tulisan random yang tercipta, setidaknya itu tetap membantu. Membantu menyalurkan sampah-sampah pikiran dan perasaan yang mendesak minta dikeluarkan. Selamat malam.
Share:

Monday, March 3, 2014

Gunung Joglog, 1844 mdpl

Kata orang, ada hal-hal tertentu yang bisa membuat seseorang melupakan kenyataan. Dan bagi gue, hiking ternyata salah satunya. Ini bukan sekadar catatan perjalanan, tapi ini juga catatan kenangan yang akan terus terkubur dalam ingatan.

Hiking pertama gue, perjalanan pendek caang GMC UI. Puncak Joglog, 1844 mdpl via Geger Bentang. Puncaknya pendek? Emang. Karena ini cuma salah satu punggungan gunung Gede/Pangrango. Gausah ngeremehin puncak yang pendek karena lo bakal nyesel udah ngomong gitu kalo liat track-nya. Tanjakan 90 derajat, pacet yang nempel dimana-mana, tanah gembur yang super licin, pohon berduri, ditambah jurang menganga di kanan kiri pasti bikin lo mikir 2 kali buat bilang itu gampang didaki. Belom lagi ditambah Gerben yang sempet longsor, bikin lo harus mastiin apa pijakan lo di tanah longsoran itu kuat apa nggak, karena jurang siap menelan. Gue sendiri hampir jatoh kalo nggak buru-buru banting badan sama keril ke kiri dan kaki gue ditahan sama temen gue, which became the most shocking moment of the month :') rasanya kayak udah mau mati, jantung mencelos banget sampe bengong sepersekian detik sebelum bangun dan mulai jalan lagi. Sempet main perosotan alam tumpuk 4 juga sama kelompok gue saking licinnya, menggigil kedinginan sampe mulut berasap karena jaket basah, juga luka-luka gara-gara megang pohon berduri. 

HAAAAAA but it's definitely amazing!!!! Gue gatau kenapa, tapi perjalanan ini bener-bener ngebantu bikin pikiran gue ngelupain "rumah" yang sekarang udah nggak kayak rumah. Bener-bener ngebantu gue ngelupain kenyataan kalo masih ada kuliah, kalo mbah udah nggak ada, dan semuanya berubah. Capek? Pasti. Tapi serunya ngalahin semuanya. This is not even the peak i've dreamed of yet, guys, tapi rasanya udah kayak gini. Bikin nagih, bikin mau lagi. Idec kalo temen gue pada bilang ini serem atau apa, yang pasti buat gue ini bukan cuma sekadar alur yang harus gue ikutin buat jadi anggota, tapi ini juga pelarian. Pelarian yang lebih besar, lebih memikat, lebih nyata, sekaligus juga lebih berbahaya. Taruhannya tawa atau nyawa. Tbvh, gue nggak keberatan sama sekali kalo gue meninggal waktu hiking. Because i think this is my dream, one of the biggest dream i have a courage to dream of, and i have to put efforts to make it true. Puncak yang lain, kalian soon ya!! Bismillahhirrahmanirrahim, semoga hiking sama kuliah sama lancarnya. Aamiin allahumma aamiin.
Share:

Sunday, February 23, 2014

∞ cycle of life

Mari bercerita
Tentang cinta
Tentang kehilangan
Juga tentang sebuah pengharapan
Ini bukan hanya kisahku, kisahmu, atau kisah salah seorang di antara kita
Tapi ini kisah kita semua
Kisah yang kita tak pernah sadar saling terhubung benang merah di sebuah lingkaran kosmos bernama semesta

Hati yang menghangat, retak, atau bahkan tak bergeming sekalipun tetaplah sebuah hati
Sebuah benda yang diagungkan manusia karena cinta
Karena cinta selalu dilambangkan dengan hati
Pun bagi hati-hati yang telah mati
Semua orang punya hati, punya mata, punya cinta
Tapi ketika kehilangan menghampiri
PYAR! Buyar semua cinta!
Buyar semua pengharapan yang dipunya
Tinggallah syak wasangka
Bahwa Tuhan tega
Bahwa Tuhan tak pernah adil padanya
Bahwa Tuhan tak lagi ada

Kehilangan itu saat kamu tak lagi bisa kulihat, apalagi kugenggam
Kehilangan itu saat semuanya tetap berjalan tanpa kamu di lingkaran
Kehilangan itu saat Tuhan disalahkan
Padahal seharusnya sebuah kehilangan menjadi cermin diri
Bahwa kita semua akan kembali

Ah, harapan
Aku lelah berharap
Aku lelah berandai-andai
Aku lelah mempertahankan kamu disini
Di dalam hatiku yang hampir mati
Kenapa kamu tidak berfungsi sebagaimana mestinya? Kenapa?
Oh ya, aku lupa
Kamu pun sudah lelah
Berteriak seperti orang gila memperingatkan bahwa kamu masih disitu
Maafkan aku

-PPT-
Share:

Friday, February 21, 2014

The one who died and they who being left

Senin, 17 Februari 2014 malam.
Gue sama ayah lagi diatas, duduk diam mengawasi laptop di hadapan dengan problem yang berbeda. Dia dengan urusan proyeknya, dan gue dengan latihan kalkulus yang bikin kepala gue sakit itu. Fani, Aqih, sama ibu udah pada tidur di kamar masing-masing. Sampai kira-kira jam setengah 11, gue sama ayah sama-sama bengong beberapa detik waktu ada yang teriak dari bawah. Tadinya gue nyangka itu nyokap, tapi begitu dipanggil ulang sama ayah dan no respond, ayah langsung lari ke bawah while gue masih stuck bengong. Feeling gue mulai nggak enak dan meluncurlah gue ke bawah. What is it that i found? Mbah akung yang terus meringis sambil megangin perutnya dengan nyokap yang terus ngusap-ngusap perut beliau sambil baca ayat kursi dan doa-doa lainnya. Muka gue pias, gatau harus respon apa. Though deep down inside i know this is not gonna be okay. Akhirnya nyokap sama bokap ngajak mbah ke rumah sakit. Gue ke atas bentar buat matiin laptop ayah terus turun lagi ke bawah bantuin mbah pake baju buat ke rumah sakit. Gue deg-deg an banget, khawatir, but no showing it at all. Waktu mbah akung keluar dari kamar mandi dan gue masangin sarungnya, dia bilang dia susah pipis. He's so messed up. Cold sweating while i wear his clothes on. Gilak gue ngusapin keringetnya terus mapah beliau ke garasi. Ayah udah ngeluarin mobil tapi masih nata kertas-kertas ulangan buat sekolahnya yang ber rim-rim itu jumlahnya. Mbah akung has been sweating too much sambil megangin perutnya. Shit, gue nggak tega sama sekali liatnya. Udah pokoknya abis itu beliau dibawa ke rumah sakit and there i was, nemenin mbah uti yang juga khawatir setengah mati.

Selasa, 18 Februari 2014.
I was up all night to company her bareng sama mbah ratmi, his sister. Gue ngerjain pr kimdas gue di bawah, sambil sms nyokap nanyain keadaannya mbah. She said everything's okay. Mbah akung cuma kembung dan gabisa pipis terus dipasangin kateter and whatever the tools are. Gue lega lah, sedikit. It means perasaan gue doang kan yang gaenak. Abis dibilang kayak gitu, gue masih sempet banget curhat-curhat di twitter. Dan baru tidur jam 3 pagi. I already forgot my class at 8, calculus class. Yaudah that's my first absent on purpose class after all. Gue nyampe kampus jam 9an dan langsung solat dhuha. And yup, i cried. The longest time i've ever been there kayaknya. Banyak banget bengongnya sambil nangis-nangis. Dan lagi-lagi, deep down at that time, i knew he would left. I knew he would passed away. Such a bitch feeling, isn't it? I tried to ignore that but it keeps coming like shit. Abis itu gue masih ada kelas fisdas dan harusnya jogging sama materi buat naik ke joglog sama papandayan minggu besok. Tapi yang gue ikutin cuma fisdas doang dan gue pulang karena kata bokap gausah ikut dulu. I obeyed him as well. Gue pulang naik kereta sama metro as always. Terus di metro gue bbm-an sama fani marah-marah gara-gara dia pasang pm yang bikin gue deg-degan setengah mati. Kampret emang. She wrote, "another gloomy day. Another day to grow up. Be strong :'(" gue bacanya udah yang kayak "what the freaking hell is going on? Mbah kenapa? Is he already left?" parah banget ya njir tapi pas gue tanya gitu dia bilang gapapa, but still im worried. Terus ayah sms kenapa gue belom pulang, gue bilang gue masih di metro, terus kata dia kalo gue mau jenguk mbah di ruang 2204 annas 2. But i said gue gamau kesana sendiri, nanti aja sama fani. If only i knew that would be the last time i saw him alive, i would have gone T____T. Gue nyampe rumah kayak biasa aja, cuma tau kalo mbah akung is well there and im okay. Sampe pas isya, mbah uti masuk ke kamar gue nyuruh solat. Itu pas banget baru azan isya terus gue bilang "iya ntar dulu, baru azan." terus beliau solat isya duluan. Abis itu gue yang solat dan not long after that she asked me whether the front door should have been locked or not, yaudah gue ke bawah dengan niat mau ngunci pintu. Tapi tiba-tiba ada yang buka pager. I was expecting it was om man, coming to accompany mbah uti juga. Tapi ternyata itu mbah ratmi sama bule nur. Guess what news they brought to me? Mbah akung meninggal. Gue dengernya udah yang kayak antara percaya ga percaya. Ngambang. Bengong beberapa detik terus kata mereka gue jangan kasih tau mbah uti dulu. Gue ngangguk dan act like nothing happened. Act like im okay, so don't worry. Nggak, gue sama sekali nggak nangis at that time. Gue cuma syok, kenapa beneran kejadian. Mana katanya rumah sakit tempat mbah gue di rawat itu kebakaran, i thought mbah gue meninggal gara-gara kebakaran itu tapi ternyata nggak. Abis itu, gue naik ke atas ngasih tau fani sama aqih. Mereka kaget, gue apalagi. Terus dari bawah kedengeran mbah uti yang mulai nangis. 

Damn, i'd remember that day as one of my worst day ever. Bukan, bukannya gue nggak ikhlas mbah meninggal, bukan itu. It's just weird that the world im living right now remains the same, but the people within, no. Gue cuma mikir, i had too many memories with him. Jalan-jalan ke pasar naik keranjang di sepedanya, dianterin sekolah waktu masih SD dulu, abis pulang sekolah mampir dulu ke SD sebelah makan bubur almarhum mbah rohmat, diajak ke stasiun nonton kereta sambil makan bubur lagi. Semua memori masa kecil yang kayaknya penuh sama ingatan tentang beliau, only because i've spent too many times being with him. Atau waktu gue udah mulai beranjak remaja, no longer naik sepeda sama beliau kemana-mana, tapi sebagai gantinya beliau selalu ada waktu gue pulang ke rumah, even if it's much late at night, he's still there, waiting me to come home and locked the door. I would no longer hear his voice every time i took out a plate and opened the rice cooker to eat. Gue nggak bakal nemuin lagi mbah akung yang dulu selalu gue ledekin karena dengerin lagu jawa mulu though diem-diem gue suka juga dengerinnya. Gue nggak bakal nemu mbah akung yang tiap sore motongin wortel sama daun bawang buat jualan gorengan besoknya, juga nggak bakal nemuin mbah akung yang tiap siang duduk deket rak piring ngantuk-ngantuk jagain warung karena mbah uti tidur siang. Atau mbah akung yang tiba-tiba kepalanya muncul dari balik pintu, nyariin makanan non-milk dan nggak pedes. Gue kangen suaranya yang ketus tapi perhatian, gue kangen pamitan sama dia tiap gue berangkat kuliah, gue kangen tiap dia nanyain gue, fani sama aqih mau makan apa nggak karena makanannya baru selesai dimasak, gue kangen sosoknya yang tiap pergi selalu pake kemeja batik sama celana bahan plus kopiah hitamnya, gue kangen liat mbah akung naik sepeda buat belanja atau cuma sekedar ngajak cucunya jalan-jalan, gue kangen permen dari plastik lusuh kemeja batiknya, gue kangen liat mbah akung yang pergi solat jumat pake sarung sama baju koko plus lagi lagi kopiah hitamnya. And even today is freaking friday. I could no longer see things i cant realize i love. 

Mbah, pipit kangen mbah akung. Kangen banget. Ini bahkan baru hari ketiga mbah, how come i live the rest with no tears? Nangis gue waktu dhuha selasa itu emang bukan tanpa alasan, because somehow i knew that he would left. Waktu gue di makam, gue sadar kalo itu terakhir kalinya gue liat beliau. Gue sadar kalo abis itu gue nggak bakal liat mbah akung lagi di rumah, nggak bakal liat mbah akung naik sepeda lagi, nggak bakal liat mbah akung goreng gorengan lagi, nggak bakal liat mbah akung buang sampah di depan warung lagi, nggak bakal liat mbah akung masak lagi, nggak bakal denger mbah akung manggil nama gue lagi, nggak bakal liat dia makan lagi, dan gue kayaknya bisa gila karena tiap gue inget itu gue pasti nangis. Ternyata sesayang ini gue sama mbah akung. Mbah akung yang dulu selalu nenangin mbah uti tiap nangis karena inget almarhum mbah rohmat sama mbah rini, mbah akung yang selalu bilang kalo setiap orang bisa meninggal bahkan yang keliatannya nggak pernah sakit sekalipun, mbah akung yang sekarang pergi dengan cara yang sama dengan yang selalu beliau bilang. Beliau nggak pernah ke rumah sakit sebelumnya, ke dokter pun bisa dihitung jari. Tapi hari itu, Allah yang pegang semuanya. Allah yang pegang tali takdirnya, dan Dia yang memainkannya. Mbah akung pergi, dengan semua kenangan yang beliau buat dengan kami. Kita semua sayang mbah akung!! Mbah akung baik-baik ya disana, semoga kita semua sabar karena ditinggal mbah, semoga kuburannya jadi tempat yang nikmat untuk menunggu hari akhir nanti, semoga kita semua bisa kumpul lagi di surganya Allah. Aamiin ya Rabbal 'alamin :''''')
Share:

Monday, February 10, 2014

Yay, new term!

Gila gue masih amazed banget jam segini gue udah nongkrong depan laptop di kamar sendiri hahahaha semua ini disponsori oleh matkul praktikum kartografi yang di-cancel, terimakasih Mbak Revi! /insertemoticonsenyumpepsodent.jpg/ oke jadi sebenernya bukan itu intinya.

Intinya hari ini hari pertama term gue yang baru, matkul baru, tapi temen-temennya masih tetep yang lama. That's why I saw many hugs happened everywhere. Pelukan-pelukan kangen juga teriakan (agak) histeris dari mereka yang kembali berkumpul hari ini. Ya, liburan memang telah berakhir. Tapi sepertinya, memang tak ada yang dapat mengalahkan asiknya menjalani rutinitas bersama teman-teman terdekat. Waktu liburan kami memang tidak seberapa, hanya sebulan kurang lebih. Dan di saat-saat itu, banyak pengalaman yang dibuat untuk kemudian dikenang selama di perantauan. Teman-teman yang berasal dari luar Jabodetabek pasti tahu, betapa sulitnya meninggalkan keluarga dan kampung halaman untuk kembali menuntut ilmu disini. Tapi mereka melakukannya meski beberapa diantaranya hanya sekedar untuk mendapat gelar sarjana. Tak apa, toh sudah banyak hal yang mereka korbankan untuk sampai disini. Meski jadi sarjana bukan jaminan hidup mapan, setidaknya ada yang dapat dibanggakan.

Buat gue sendiri, gue cuma berharap semoga pelukan-pelukan kangen yang gue lihat hari ini bukan cuma ada di hari ini. Pelukan-pelukan itu layaknya janji tak terucap bahwa di masa yang akan datang mereka yang berpelukan itu akan tetap berusaha bersama-sama sampai akhir, tetap mendampingi di saat sulit, juga tertawa bersama di saat senang. Meski tak ada yang dapat menjamin bahwa mereka tak akan pernah berubah, setidaknya mereka bisa mempercayainya untuk saat ini. Setidaknya ada yang menjadi penyangga di saat kau goyah, meskipun hanya untuk sementara. Rasanya menyenangkan bukan jika kau mengetahui ada seseorang yang selalu siap membantumu berdiri di saat-saat terlemahmu?

Once again, this is the new term. Semuanya udah nggak sebuta saat dulu semester pertama. Udah bukan lagi mahasiswi baru yang celingak celinguk bingung nyari ruangan dan nggak ngerti cara ngisi irs (meski tetap berebutan dosen). Saatnya berubah jadi lebih baik dari semester sebelumnya. Saatnya berusaha lebih keras bersama teman-teman dekat yang memelukmu sekarang sampai tiba saatnya ini semua berakhir. Dan semoga ketika saat itu tiba, mereka yang akan memelukmu nanti adalah orang-orang yang sama dengan yang memelukmu sekarang. Semoga saja.


Friends are hard to find. 

In a lifetime you get only a few. 

And when you find them, you always know them by sight and heart alone, 

you always grow a little bit taller in your soul,

and you know you've been blessed just to know them.

Ashley Rice

Share:

Wednesday, February 5, 2014

Note for my dearest F

People said, it's about the journey not the destination.
But what we had along the journey, will decide the destination, isn't it?
When all destination we actually had is coming home,
Love will walk us towards it.

Selamat sore! I just took my afternoon bath as soon as I arrived. And during the time, I was thinking about the thing my best told me about. This post is about love and all its concerned. It's funny though because my own self hasn't been in relationship before. But well, this is just gonna be a writing from my point of view. I won't tell who the couple is, because this is just the way I look through them. After almost 5 years I'm being the alive witness (lol pardon my hyperbolic choice of words), I think I should write this.

Hubungan selama hampir 5 tahun yang sudah terjalin itu akhirnya kandas. Bak sebuah perahu yang menabrak karang besar, merobek lambungnya, dan kemudian tenggelam. Bukan tanpa sebab jika hubungan itu akhirnya harus berakhir. Toh, selama waktu hubungan itu (lebih) banyak diwarnai dengan tangisan juga kata-kata putus dan usaha move on. Lagipula, sang empunya perasaan sempat memutuskan untuk menjalani Hubungan Tanpa Status yang boleh kubilang cukup berhasil jika dibandingkan dengan resminya hubungan mereka sebagai sepasang kekasih. 

Namun sekarang, semuanya benar-benar telah selesai. Sang pria bahkan sudah menemukan pengganti sang wanita, hanya dalam hitungan kurang dari satu bulan. Jika boleh kukatakan, hampir semua teman terdekat sang wanita tahu tentang hal ini. Lebih dikarenakan pengganti sang wanita notabene adalah salah satu teman terdekatnya. Aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya ketika baru pertama kali mendengar kabar ini. Yang ada dalam pikiranku hanya, "Apa segampang itu ya move on? Apa secepat itu menemukan pengganti untuk mengisi hati yang kosong? Apa semudah itu jatuh cinta? Semudah itu melenyapkan kenangan selama hampir 5 tahun berselang? Atau sang pria merupakan tipe womanizer yang mampu menundukkan hati wanita dalam sekejap?". Aku segera menyingkirkan opsi terakhir karena ya aku mengenal sang pria dan sempat beberapa kali bertemu dengannya. And well, here I am. Still falling in love with the South Korean guy. Oke lupakan, mungkin he's just not my type or whatever. Pada intinya, menurutku dia nggak setampan itu untuk jadi tipe pria womanizer. Yah, walaupun seperti cantik, tampan juga merupakan hal relatif.

But really, I'm obviously right. It's not easy to erase all almost-5-years memories a couple has ever had. Sang wanita bilang padaku bahwa deeply in her heart, she's still loving him no matter what. And so is the man. Pertanyaanku sekarang, apakah tepat kata-kata itu diucapkan ketika sebuah hubungan sudah berakhir dan salah satu pihak telah memulai suatu hubungan yang baru? Apakah adil bagi sang wanita di antara mereka untuk diperlakukan seperti itu? Terlebih lagi sang pria meminta sang wanita menunggunya hingga mereka dewasa dan sudah benar-benar siap dengan segala konsekuensinya. Cih, that's the most fierce words I've ever heard. How childish! How could a man say that? Pria macam apa yang meminta seorang wanita menungggunya dengan setia sementara dia menjalin hubungan dengan wanita lain? Pria macam apa yang meminta seorang wanita untuk tidak jatuh cinta lagi kepada orang selain dirinya sementara dia menikmati curahan cinta dari wanita lain? Dan yang membuatku tak habis pikir, he realized it. He's damn realized it. Dia sadar kalau dia egois dan bilang kalau dia ingin agar sang wanita bahagia? Damn you man, which part of your sentence indicate a sincere will to make the woman happy, hah? If only I could punch you right on the face, I would have gladly done that years ago.

Aku benar-benar kehabisan kesabaranku kali ini. I've seen how many tears she shed for him. Dan aku benar-benar kehabisan alasan kenapa sang pria seperti tak pernah lelah membuat sang wanita menangis. For god freaking sake, don't you know how ugly a woman could be when she's crying? I do even hate it. She told me everything she could tell. The man's sweet attitudes, caring, and love. Or also how the man "cheat" on her. Aku selalu bilang padanya, "Just go get a new one, please. You've shed so many tears these few years. Just because of him." And she'd always say, "Iya Zah. Gue mau move on kok." But always ended up with they're getting back together. Kalau sudah begitu, aku bisa apa? Posisiku disini hanya sebagai pengamat, sebagai seorang sahabat yang cuma bisa mendoakan yang terbaik bagi sahabatnya. It's their feeling though, not mine. So, why bother to force them break up?

Cuma mau bilang, I don't wanna influence you to take any decision of holding this kind of relationship. It's all yours, after all. Sekali lagi, ini cuma pandangan gue doang. Kalo boleh saran sih, ya monggo pelan-pelan move on. I have no heart to see you crying for him anymore. I'm fed up. But seriously, this has nothing to do with me so I'll pray for the best relationship you could get, girl. Though yours will eventually end up with him, it doesn't even matter. Fate couldn't somehow be wrong, right?


For my lifetime buddy, I hope you get the right one (and so do I).
Love,

Fai
Share:

Friday, January 24, 2014

Perubahan; human's natural power

Lagi-lagi perubahan. Udah berapa kali gue ngomong tentang berubah? Banyak. Karena gue nggak pernah cepat bisa beradaptasi sama yang namanya perubahan, apalagi perubahan sama orang-orang tersayang. Iya, semua orang pasti berubah. Pasti. Nggak bisa nggak. Itu kodratnya kita. Masalahnya hanya terletak pada gimana kita mengatasi dan beradaptasi sama perubahan itu kan?

Well, ini cerita tentang tete. Temen-temen tlist sebelah yang bahkan lebih gue sayang daripada temen-temen irl (baca:temen kampus). Entah cuma perasaan gue, atau mereka emang berubah, atau cuma karena situasi yang membuat kita “harus” merenggang karena urusan sekolah masing-masing…….entahlah. Cuma Allah dan diri mereka sendiri yang tahu. Gue nggak bakal bilang gimana-gimana, gue cuma mau bilang kalo pertemanan ini udah nggak nyaman lagi. Serius. Mungkin kalo orang pacaran, udah langsung minta putus. Mungkin. Gue juga gatau karena gue ga pernah pacaran jadi ya….gitu.

Gue tau kalo kita nggak bisa terus jadi orang yang sama selama bertahun-tahun. Kita nggak bisa maksa orang lain buat terus ada di zona nyaman kita. Orang yang dulu kita kenal begini, sekarang begitu. Dan begitu juga sebaliknya. Erlan (temen seperjuangan gue dari masih TK) misalnya, dulu semasa SD sama SMP mainnya sama gue terus. Walaupun dia punya cewek banyak dan sering gonta-ganti sampe sekarang, ceritanya tetep ke gue. Sampe SMA juga masih kayak gitu. Dan begitu masuk kuliah……….ya berubah. Sibuk praktikum, begitu alasannya. Dan hal apa yang bikin itu semua terjadi? Waktu. Iya, waktu. Itu jawabannya.

Itulah kenapa orang-orang bilang ketika kamu patah hati, waktu yang akan menyembuhkannya. Kenapa? Ya karena waktu mengubah segalanya. Kita grow up, dengan lingkungan dan pola pikir yang beda. Tentu saja semuanya juga berbeda. Waktu terus berjalan maju, waktu nggak pernah mundur. Dan seiring dengan berjalannya waktu itu, kita bakal ketemu sama orang-orang baru, ngalamin kejadian baru, ngeliat suatu peristiwa nggak cuma dari satu sudut pandang aja tapi dari banyak sudut pandang. Waktu juga bakal ngasih kita pelajaran tentang semuanya, semua yang terjadi sama kita di masa lampau dan gimana kita seharusnya menyikapinya. Itulah juga sebabnya ketika kamu sudah bersama dengan seseorang untuk jangka waktu yang lama, akan muncul rasa bosan. Akan muncul pikiran “kok gini-gini aja ya?

Jadi, bagaimana seharusnya seseorang bersikap ketika perubahan itu muncul? Bergerak beriringan. Agar ketika yang satu berubah, kamu juga akan mengikutinya. Tapi, bagaimana jika perubahan itu membawa pihak satu dengan yang lainnya menjauh? Tanyakan saja pada waktu, kalau-kalau ia sudi menjawab pertanyaan yang sudah dilontarkan begitu banyak orang, meski diam-diam, di kepala mereka.
Share:

Thursday, January 23, 2014

Sort of something

Just another post when everyone has getting into their sleep. I just read a novel and finished watching a thai movie today and wondered like "wow, romantic things happened anywhere" yeah, anywhere unless mine. Pathetic? I don't think so, but well if you think I did, just take it. I'm not really sure what I wanna write though, so yeah, as always, random things and thoughts.

The novel tells about love between a handsome wealthy guy and a high-school girl, kind of happening story that's common to be, really. But I have to give a regard to the author of making a wealthy guy has different personality than others. A rich guy happened to be arrogant, full of don't-ever-try-to-touch-mine kind of pride, and proudly showing off anything he has. Moreover with his wealthy big family name stick into his, there's no reason for a man to not get everything he wants. While this guy happened to be a workaholic and live homely with his family. Not like his cousins who like to spend their money and hang out around another socialite. This guy is also an introvert one with full of sadness type of eyes, though it cannot dissipate his aristocrat line on his face.

Yeah again, I have fallen into the world the author built. Just like before, anytime I watched or read something, I'd like to fall into their world as a whole. Simply like I don't have my real world. Sigh. Yeah, drowning in deep imagination isn't that good though. But still, I'd love to. Because reading is my only escape. The only thing I wouldn't ever be bored to do. Now and later.


Ps: this is my not-so-old draft in which I've just finished reading one of Hanafiah series. Didn't get what I mean? It's okay.
Share:

Tuesday, January 7, 2014

Master's Sun (주군의 태양) Review

Annyeong! Wakakakak jadi kenapa gue kesambet mau nge-review drama ini......ya gapapa. Soalnya drama ini seru hahahah serem tapi kocak. Banget. Jadi ada Seo Ji Sub ya kalo gasalah namanya, pokoknya male lead actornya dia deh yang mirip Doojoon BEAST itu terus ceweknya gue lupa namanya siapa pokoknya perannya jadi Tae Gong Shil. Intinya sih si doojoon ini (anggep aja begitu soalnya gue males manggil nama perannya, dipanggilnya sajangnim mulu, eh Jo Joong Won deng nama perannya) orang kaya, nggak takut sama setan, matre parah. Meanwhile si gong shil ini cewek freak karena bisa liat hantu gitu deh. One day mereka ketemu dan pas si gong shil megang doojoon, hantunya pada kabur gitu. Dan sejak saat itu si gong shil jadi kayak hang on terus ke doojoon. Di satu sisi si dooojoon punya masa lalu yang ngelibatin cewek yang dia suka, namanya Hee Joo, masalahnya si cewek ini udah meninggal. Nah karena itu si doojoon let gong shil stay beside him dengan harapan kalo si hantunya hee joo muncul, dia bisa ngungkap semua kejadian masa lalunya gitu. Niat awalnya sih gitu. Apa mau dikata ujung-ujungnya suka juga ((ya iyalah namanya juga drama)). Jangan lupain Seo In Guk juga ya!!!! Seo in guk jadi siapa? Terus ceritanya gimana.........tonton aja sendiri! Hahahahah selamat menonton!

Best Part : Doojoon - Gong Shil first kiss. Pas hantu istri louis jang masuk ke badannya gong shil dan doojoon balik lagi ke kantor cuma gara gara di telpon kalo gong shil jadi aneh. Padahal doi mau berangkat business trip ke china. Gemblung.

After Taste : Gacin. Fix banget gacin parah.
Share: