Thursday, November 6, 2014

Sepi (Kekecewaan yang Meledak)

Malam. Posting lain di tengah padatnya hiruk pikuk tugas semester 3 yang seperti tak ada habisnya. Namun anehnya, malam ini aku malah tak mengerjakan apapun. Bebas. Luang. Dan lagi-lagi memberi ruang untuk menerawang.

Saat ini sepi. Entah sekadar jenuh atau karena dahi yang bersimbah peluh. Entah karena diliputi duka, atau malah disapa nestapa yang jahil belaka. Ah sepi, ada apa?

Mungkin karena aku sekarang sendiri? Ya, sendiri. Karena aku memutuskan untuk mengubur kejadian-kejadian itu dalam-dalam. Lelah. Aku tak mau lagi berurusan dengan mereka. Biar mereka dan Tuhan yang tau akan mengarah kemana dan dimana muaranya. Sudahlah, aku tak mau tau lagi. Aku lelah menjadi bayang-bayang yang selalu mengikuti; ada tapi dianggap tak ada, disadari namun tak diajak bicara. Aku lelah menjadi opsi kedua, yang seakan selalu ada tiap yang pertama pergi. Hanya segitu nilaiku?

Sepi mungkin selalu identik dengan sendiri. Namun tak di setiap sendiri kamu jumpai sepi. Sepi terkadang muncul di tengah keramaian, makhluk aneh, meski aku lebih suka mengakrabinya saat sendiri. Apalagi ketika kutemui sepi di atas ribuan mdpl sana, dengan langit berbintang sebagai atapnya.

Aku mungkin salah saat menjauhinya. Mungkin. Tapi toh hanya sedikit bagian dari hatiku yang merasa bersalah. Toh aku merasa lebih baik. Jadi aku simpulkan, tak apa. Aku merasa perlu membangun benteng yang kokoh sebelum kembali perang, tentu saja. Aku hanya belum pernah merasa sekecewa ini. Seakan semua yang sudah kami lalui bersama tak ada artinya. Begitukah? Jika harus berakhir begini, sejak dulu saja tak kucari kau dengan nama itu. Sejak dulu saja kita terpisah waktu. Dulu, mungkin aku memaklumi. Tapi sekarang? Tidak lagi.

Sepi selalu membawa angin semilir bersamanya. Membelai wajah dengan lembut dan mengangkat awang jauh entah kemana. Sepi selalu jadi teman terbaik saat yang dianggap terbaik tak lagi baik. Ah manusia, kenapa tak bisa seperti sepi?

Aku sudah mengucapkan selamat tinggal. Tak bisakah kau lihat itu? Aku benci. Benci padamu yang berpura-pura tak tahu. Berpura-pura tak peka kecuali padanya. Berpura-pura segalanya baik saja padahal kau tahu tidak. Ingin rasanya aku berteriak sambil menampar wajahmu yang menyebalkan itu, paling tidak agar kau sadar! Sadar bahwa kau yang sekarang sudah jauh berbeda. Sadar bahwa kau yang sekarang hanya seorang pengemis masa lalu yang baru menyesali perbuatannya, kemudian merengek minta kembali. BAH! Kau pikir kau itu siapa?! Kau pikir dunia ini milikmu?! Kau pikir isi duniamu hanya dia?! HAHAHA PIKIR! Aku muak dengan semua tingkahmu! 

Lebih baik aku pergi, meski harus ditelan sepi.


Jakarta, 6 November 2014
Untuk seseorang yang sudah terlalu jauh dari sisi, pergi dan jangan pernah menoleh lagi.
Share:

0 comments:

Post a Comment