Monday, December 31, 2018

Rangkuman Satu Tahun

31 Desember 2018. Sudah sampai saja pada hari ke 365 dari 365 hari di tahun ini. Klise sekali jika bertanya hal apa saja yang sudah dilakukan selama hari-hari ini, meskipun memang seharusnya itu yang dipertanyakan, apakah menjadi lebih baik atau malah lebih buruk. Saya pun tidak tahu. Namun yang pasti, saya bersyukur untuk setiap hari yang saya lalui dengan semua keluh kesah dan hal-hal yang membuat tersenyum. Untuk teman-teman baru, pekerjaan baru, kaki yang lebih jauh melangkah, juga emosi-emosi yang hingga hari ini masih sulit dikontrol atau malah terlalu mudah ditekan jauh ke dasar hati.

Tahun ini, saya membaca banyak sekali cerita yang membuat hati tidak mampu untuk tetap di tempatnya. Cerita-cerita yang membuat hati menangis juga tersenyum sambil menyumpah-serapah karena tingkat kebodohannya. Mungkin cerita-cerita tersebut tidak sempurna, namun setidaknya mampu menggerakkan hati, meski hanya sepotong kecil saja. Sayang sekali cerita-cerita tersebut bukan milik saya, yang sudah lama sekali bermimpi untuk membuat cerita serupa. Progres menulis saya pun masih mengawang, tertahan di angan-angan. 

Tahun ini, saya bertemu banyak sekali orang baik. Orang-orang yang dipertemukan dalam jangka waktu lumayan panjang seperti kepala satuan pelaksana saya di kantor, maupun dalam jangka waktu amat singkat seperti pegawai bank yang melayani penggantian kartu atm. Orang-orang baik bagi saya memiliki banyak definisi, bisa hanya dengan tersenyum ramah dan mengajak bicara, saya bisa mendeskripsikan orang tersebut baik. I'm socially awkward after all, jadi saya senang jika ada yang mengajak saya bicara dengan tulus. Hahaha menjadi bahagia versi saya sebenarnya hanya sesederhana itu. Namun lagi-lagi, time goes by and life goes on. Orang-orang baik yang saya temukan pada akhirnya akan berlalu, digantikan dengan orang-orang baik lainnya atau malah orang yang akan memberi hidup pelajaran. Saya tidak mau menyebut orang-orang tersebut jahat, hanya orang-orang yang ketika bertemu tidak sedang dalam waktu terbaiknya. Tapi dari mereka semua lah, saya belajar sesuatu. Bahwa tidak ada kejadian yang tidak membawa hikmah. Jika belum disadari sekarang, pasti ada di waktu-waktu depan.

Tahun ini, saya merasa waktu bersama keluarga menjadi berkurang karena saya bekerja. Biasanya, liburan sekolah seperti sekarang ini dihabiskan dengan berada di rumah atau pergi ke luar kota., karena kedua orang tua saya bekerja sebagai guru. Namun sekarang tidak bisa, karena saya tidak mendapatkan liburan. Benar ternyata bahwa semakin dewasa kita, semakin berkurang juga waktu kita untuk kedua orang tua. Ketika tiba-tiba mereka jatuh sakit dan kita baru kelimpungan ketika mengetahuinya. Seperti beberapa saat yang lalu ketika kedua orang tua saya tiba-tiba menderita gejala tipes, wah saya panik luar biasa. Alhasil saya harus bolak-balik rumah-kantor-rumah untuk menjaga keduanya. Syukur alhamdulillah, kantor saya memiliki kebijakan yang cukup longgar untuk membiarkan saya datang hanya untuk sekedar absen dan kemudian kembali pulang. Kejadian ini membuat saya sadar bahwa kita harus semakin sering meluangkan waktu untuk dua orang yang ridhanya menjadi ridha Allah juga. Saya jadi ingat sebuah kalimat yang selalu menampar saya setiap membacanya. Kalimatnya kurang lebih berbunyi 'we're too busy growing up that we forget our parents are growing older too.' Saya pikir, bener banget. Anak-anak zaman sekarang jauuuh lebih sering main gadget dibanding ngobrol sama orang tuanya. Padahal ketika salah satunya sudah tidak ada di dunia, berkurang lah keberkahan yang kita miliki. Ih sedih kalo ngomongin orang tua mah.

Tahun ini, umur saya sudah berkurang 1 tahun lagi. Entah berapa tahun sisa umur yang masih saya punya. Namun as always, mencoba melakukan yang terbaik adalah satu-satunya hal yang manusia bisa lakukan dalam usahanya menjemput takdir. And that's what I'm trying to do. Semoga tahun depan jadi tahun yang baik dan penuh berkah. Gott segne dich!
Share:

Thursday, November 29, 2018

Tentang Memori yang Ditinggalkan

Pernah ndak berpikir bagaimana orang akan mengingat kamu kalau suatu hari nanti kamu pergi jauh?
Pergi jauh dalam artian resign dari kantor yang lama atau malah pergi ke tempat jauh yang sesungguhnya?
Apakah mereka yang ditinggalkan akan mengenang kamu dengan semua kebaikan dan humor yang sering kamu lontarkan? Atau justru diam-diam bersyukur kamu pergi?

Jika boleh jujur, saya sering sekali memikirkan hal ini. Tentang bagaimana saya bersikap pada teman-teman, pekerjaan, dan lingkungan sekitar. Seandainya saya pergi nanti, apakah mereka akan membicarakan hal-hal buruk tentang saya; betapa diamnya saya jika mereka sedang bercanda, betapa tidak memiliki inisiatifnya saya dalam suatu acara, atau betapa menyebalkannya saya. Saya ingin tahu,  sangat ingin tahu, seperti apakah saya akan dikenang kelak. 

Jika ingin memberikan pembelaan, saya diam karena saya tidak merasa bercandaan tertentu lucu atau karena mengambil inisiatif bukan hal yang biasa saya lakukan. 

I'm an empath, not an initiator. 
But again, most people just constantly think that an initiator is the best kind of person living on this earth.

Di kantor saya saat ini, people come and go. And I've heard so many trash talks about them. Well, I cannot help but to think how they'd talk about me when I'm gone. Di satu sisi, tentu saja saya ingin dikenang dengan semua hal baik. Di sisi lain, tentu saja saya sadar bahwa diri ini sangat jauh dari kata baik. Karena orang yang benar-benar baik tidak pernah menganggap dirinya sendiri baik, right?

Namun pada akhirnya, kesimpulan yang bisa saya ambil hanyalah agar kita terus berusaha untuk menjadi orang baik. Susah? Tentu saja. Nilai kebaikan bagi setiap orang tidak pernah sama, I do believe that. Jika bagi saya terlihat baik, belum tentu bagi kamu pun begitu. Tapi satu yang pasti, Pencipta kita memberikan nurani bukan dengan percuma. Believe and rely on it. After that, let it go. Karena penilaian manusia tidak pernah dan tidak akan pernah seragam, tergantung nilai masing-masing yang mereka anut. 

Once you did something you think is right, leave it as it is. Forget and let it go. Do another kindness.

Semoga dengan begitu, memori-memori yang kita tinggalkan nantinya hanyalah memori baik untuk dikenang.
Share:

Saturday, October 20, 2018

Kesedihan-Kesedihan yang Tidak Memiliki Hulu

Pernahkah pada satu atau beberapa titik dalam hidupmu kamu menjadi sedih tanpa sebab?

Kesedihan yang dipicu oleh satu baris kalimat dari sebuah buku yang sedang kamu baca atau satu bait lirik dari lagu yang sedang kamu dengar?

Saya selalu merasa kesedihan macam ini diam-diam memakan saya dari dalam. Bayangkan saja, kamu tiba-tiba merasa matamu panas di bus, halte, atau tempat umum lainnya karena matamu melihat sesuatu, membaca sebuah kalimat, atau mungkin mendengar lagu yang syairnya langsung membawa sebuah memori. Memori dari masa lalu, yang tidak bisa diulang kembali, entah karena waktu atau orang yang terlibat di dalamnya sudah tidak pernah sama lagi. Peristiwa yang hanya bisa diputar dengan mengandalkan daya ingat dan kekuatan perasaan yang terlibat. Peristiwa yang telah menjadi kenangan. Kemudian kamu menjadi lelah dan ingin segera sampai rumah, menuju kasur tempatmu rebah. Sementara waktu sibuk mencari cara menyembunyikan mata yang telah basah.

Kesedihan-kesedihan ini hadir tiba-tiba. Ikut serta dengan hujan yang turun rintik, dengan sepatu usang milik seorang bapak tua yang tidak sengaja kamu lihat kelelahan di pinggir jalan, juga dengan rangkaian kata-kata yang hadir acak di hadapan. 

Jenis kesedihan yang tidak memiliki awal dan akhir. 
Datang tanpa izin juga pergi tanpa pamit.

Kesedihan yang mungkin berfungsi sebagai penguji hati; apakah sudah mati?
Share:

Wednesday, September 12, 2018

her.

i saw her again today. 
hair in ponytails, simple denim jacket, black trousers, blue backpack, navy Converse. i’ll bet shades of blue as her favorite color.
she always stands there, at the very same spot, leaning to the last pole of the platform.
earbuds on, ipod in her pocket. 
sometimes i stand close enough to know that she smells of popcorn. the ones with caramel.
other times i watch her from afar, watching her lips form some syllables that’s greatly possible a song from her playlist.
she always hops on the same train, the train on which i hop too. the ten to six train, in the morning.

today, i hop on the same car of the train. she was right beside me. 
i could smell the caramel aroma. sweet and got me bewitched.
i could see the little mole behind her ear. someone ever said a person whose mole behind ears is a good listener. i wonder if she is one.
i could eavesdrop the song she’s listening. call it dreaming by iron and wine.
i love the song.i love the way universe conspires for us to stand side by side. although not hand in hand. at least, not yet.
and i may fall in love with her. somewhere in the middle of this ride. or someday when i no longer find her in my sight.

or perhaps i already did. 
Share:

him.

that broad but not so broad shoulders.
that short black hair. 
that folded long-sleeve black shirt. 
that black-framed specs.
i don’t know since when my eyes started to realize his existence. perhaps just today, yesterday, or the day before yesterday.
my eyes always wander around, observe here and there, until they stop there. at the corner where he stands. just like that.
even until i will undoubtedly believe that he has invisible magnets within him.
he holds a book with dark cover.

the train is about to arrive. 
i shift my eyes to the direction from where it’s coming.
a smell of cedar wood suddenly creeps into my nose. 
i glance around only to find him standing behind me.
then i hop on the car. he hops after. standing in my right side.
i can smell him as clear as today’s sky. i feel intoxicated. no guy ever smells this good before.
Aristotle and Dante Discover the Secrets of the Universe. i can read the book’s title now that it’s within my eyesight.

“hmm, sorry? you got some tissues left on your forehead.” he suddenly speaks, touching his own forehead.
i stammer at those sudden words, mirroring his action in reflex. “ah? thanks.”
he nods, smiling. a smile so soft that could make every heart flutters.

i don’t fall for someone easily.
but when i do, i fall hard.

with no caution and question.
Share:

Monday, September 10, 2018

New Life, New You

It might be true that whenever you plan to start something new, you gotta be the new you.

---

Hi! A month passed without any post. Not because I don't have anything to write, but it's because I have too many things to write.

It's September 10 and one of my long-lost twin brother just got married yesterday. It's one emotional ride though. We're close enough that somehow I feel like I could relate to him in many ways. When he first told me that he's going to marry, I was taken aback and had to make sure that it's real. Him being him that I knew all this time wouldn't decide to marry this soon. But he has changed

How could I know that he did? Because I feel it. From the way we communicate, his choice of words, and his way of thinking. I believe in written words so strong that I perceive someone's personality and feeling through it. I blurted it out though, saying he's gotten wiser than ever.

A willing of change, is one thing I marked most from this time. You got to take a deeper risk, learn something new, and then got a bigger result. Just like how he dared asking his girlfriend (now wife) to marry him, he should have learnt how to be a good and responsible husband for her. The reason itself varies from one individual to another though. His might be due to jealousy and remorse, mine and yours might be due to a shocking event? A random encounter? Or we'd share the same reason as him? We'd never know.

The only thing I think I realize is you have to change if you'd like to have a new life. Because it's greatly possible that the old you could no more accomodate the new challenges which tagged along. And this, only means a change to be a better version of you.
Share:

Friday, July 6, 2018

s.y.u.k.u.r

Telah hidup kita, puluhan tahun lamanya
Namun coba tanya, seberapa sering diri ini bahagia?

Telah bertemu kita, dengan puluhan orang
Namun coba tanya, berapa banyak yang membantu masalah hilang?

Telah jatuh kita, menggoreskan ratusan luka
Namun coba tanya, berapa banyak luka yang sembuh hanya dengan pelukan saja?

Dengan semua hal tersebut, bersyukur menjadi mutlak
Agar hidup tidak terjebak kemiskinan telak

Syukur hanya sebuah kata
Namun mewujudkannya dalam tindakan nyata
Butuh usaha ekstra

Sering kita bilang bersyukur
Namun nyatanya diri tetap terpekur
Meratapi harapan yang dipaksa terkubur

Kau tau kenapa?
Karena penyakit hati tidak pandang usia

Bibir berkata ikhlas
Namun hati menyumpah pedas

Ayo belajar bersyukur
Agar luasnya hati tak lagi dapat diukur
Si penulis pun juga ikut menegur
Dirinya yang sering alpa dalam tutur
Share:

Thursday, May 24, 2018

Assassination Classroom (Ansatsu Kyoushitsu) Review


Hiiii! I'm back with another anime review! Gotta be short anyway since this is mostly slice of life genre in my opinion that I can't tell you much how it progressed over time. It's been a while since I watched this, actually. But somehow I need longer time to recover from the impact lol. I'm one of those people who refused to watch this high-ranked anime because of not-so-reassuring visual's character. It's until one of my newest acquaintance said that it was a super good anime with emotional moral value. And there was I, giving it a shot. It made me fell head over heels and "battered" after watching. How can I not when it's sooo angsty that I cried almost an hour long for the last 3 episodes. My eyes got swollen and sure was I exhausted. What a girl.

This anime tells about a special class with most low-ranked kids in a school who are asked to kill an alien, a smart alien at that. This weird alien that seems to come out of nowhere moves with Mach 20 velocity and yellow-colored with some tentacles turns out to be a great educator. It educates the kids better than the real teachers are. This alien called Kuro-sensei. He believes that his students are all great persons with their own special talents. Days passed with their attempt to kill their teacher. While they are at it, they gain new knowledges and learn how to appreciate themselves and people in their surrounding more. There are also some back stories for how this alien became an alien. In the end, they succeed the mission with helluva tears. God damn it I'm gonna weep again. Oh welp, I'm totally recommending this to you!

After Taste : Too much onions. I'm crying my tears and heart out. It's soooo heartwarming but funny and witty and I surely don't mind watching it again in the future.

Best Part : "You've come so far, class." Kuro-sensei said in the end. Damn. Just a line and I broke into tears. Many outstanding and lesson-learned kind of dialogues. And of course the chemistry of the class was no jokes that you'll have many pairings to end up together. Here are some screenshots!






Bonus: my boi, Akabane Karma!

Share:

Saturday, April 14, 2018

Tentang Cita-Cita

Pukul 4 pagi dan saya masih nanar menatap layar laptop di hadapan. 
Meski layar laptop hanya menunjukkan layar putih tanpa objek yang dapat dipandang.
Pikiran saya melayang; pada kejadian-kejadian yang telah berlalu, pada pilihan-pilihan yang tidak saya pilih, hingga jutaan kemungkinan lain yang tidak terjadi.

Sering, sering sekali saya begini. Mungkin malah, terlalu sering.
Saya tidak bisa berpikir ingin jadi apa di masa depan. Selama itu baik dan tidak menyimpang dari agama yang saya anut, selama orangtua saya ridho, juga selama saya bahagia.

Cita-cita bagi saya tampak abu-abu.
Julukan "orang yang visioner" tidak tepat disematkan untuk saya. Karena toh cita-cita terjauh saya saat ini hanyalah menempuh pendidikan master di luar negeri.

Pernah dalam satu wawancara kerja, saya ditanya ingin jadi apa dengan masuk ke jurusan saya. 
Saya kelimpungan. Tidak pernah sekalipun saya memiliki cita-cita nyata se-rigid itu. 
Ingin jadi menteri pembangunan, ingin jadi dosen, ingin jadi peneliti. Bagi saya, semua sama saja.
Pertanyaan itu tidak terjawab dengan lugas.

Hari-hari setelahnya, saya bertanya-tanya pada diri saya : kamu mau jadi apa, zah?
Pikiran saya terdiam. Hati saya yang menjawab.
Jawabannya tetap sama : jadi orang baik yang semoga bisa bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya.
Cita-cita saya masih sesederhana itu.

Mungkin, orang-orang di luar sana memandang saya aneh. Seolah-olah tidak memiliki usaha dan mimpi.
Tapi (lagi-lagi) menurut saya, tidak semua orang adalah jenis orang yang memiliki target strict dan real.
Atau saya hanya masih lugu. 
Masih naif dengan punya cita-cita jadi orang baik.
Padahal orang-orang di luar sana punya cita-cita pasti yang membuatnya terus hidup dan berlari.

Ah, diri.
Mungkin kamu harus berpikir lebih keras lagi.
Share:

Tuesday, March 27, 2018

Mereka Tidak Tahu....

Mereka tidak tahu sekeras kepala apa diri mereka sampai ia dipertemukan dengan orang lain

Mereka tidak tahu betapa hidup mereka lebih baik sampai ia dipertemukan dengan orang lain

Mereka tidak tahu banyak orang yang mendamba bisa makan 3 kali sehari, juga berlimpah air bersih sesuka hati

Aku, kamu, kita, adalah mereka

Yang sering lupa bahwa masih ada orang dengan taraf kehidupan di bawah kita

Yang sering alpa berderma

Yang kadang terlena iri dengan kehidupan mewah seleb insta

Tapi kita  bukan Tuhan

Kita manusia

Yang bisa salah tapi juga bisa belajar karena salah

Ayo belajar dari bertemu orang lain

Kamu juga pasti merasa hangat jika pertanyaan "Pak/Bu/Mas/Mba, kalo mau ke X ke arah mana ya?" dijawab dengan ramah dan senyum oleh orang asing yang kamu temui di jalan, kan?

Sebersit pikiran "Wah, masih banyak orang baik disini" pasti terlintas

Pikiran dan perasaan hangat itu yang harus diingat

Disimpan dalam hati agar tidak mati

Dilakukan ulang jika hal yang sama terjadi

Agar bangsa ini tidak mudah dilalap api

Agar "mereka tidak tahu" berubah jadi kesadaran mutlak akan "aku tahu, dan aku bersyukur untuk itu"
Share:

Monday, February 5, 2018

"Jangan Ngerasa Paling Menderita deh! "

Kalimat pada judul posting ini adalah kalimat candaan yang sering dilontarkan teman-teman kantor saya selama sebulan terakhir. Sebagai seorang freelancer aka pekerja cabutan, saya dan teman-teman punya target yang harus dicapai setiap harinya. Sebagaimana juga orang-orang dengan target real berupa banyaknya barang yang harus dicapai tiap harinya (iya kayak buruh lol), kita berusaha biar target itu tercapai. Sering di tengah-tengah kerjaan, kami menghitung-hitung jumlah barang yang sudah dikerjakan hari itu. Sering pula ternyata saya yang jumlah akhirnya paling sedikit di antara teman-teman yang lain. Kadang jika di tengah-tengah jumlah barang yang sudah saya kerjakan lebih banyak dibanding yang lain dan saya berkata sambil bercanda "eh gue baru segini masa", mereka akan bilang "yaudah sih gue juga baru segini. Gausah sok paling menderita deh!" sambil tertawa. Saya juga ikut tertawa sambil balas berkata "lah siapa yang merasa menderita jir? Cuma bilang?!"

Baru beberapa hari terakhir saya menginsyafi bahwa candaan itu bisa bermakna lebih dalam. Berpikir bahwa kita adalah orang yang memiliki paling banyak kesusahan, paling banyak kesedihan, dan jika mengutip kata teman-teman saya, jadi orang yang paling menderita, adalah hal bodoh yang kebanyakan tidak sadar dilakukan hampir semua orang ketika ditimpa musibah. Hanya karena kita sedang sedih dan mengalami mental breakdown, kemudian kita menganggap semua orang jauh lebih beruntung dan bahagia daripada kita. Menganggap semua orang tidak mengerti apa yang sedang kita lalui dan apa yang kita rasakan. Padahal kita tidak pernah tahu kesusahan seperti apa yang menimpa mereka. Padahal kita tidak pernah tahu kesedihan macam apa yang telah mereka lewati. Kita luput menyadari bahwa ada banyak hal yang harus disyukuri karena masih kita miliki.
Share:

Sunday, January 21, 2018

Fullmetal Alchemist: Brotherhood Review



Hiyaaa here I come again with the anime review!!!! It's a first-ranked anime on MAL that me myself has to acknowledge that it deserves the spot : Fullmetal Alchemist Brotherhod aka FMA-Brotherhood. This anime was first broadcasted in 2003, with Fullmetal Alchemist as the title. Then there was a remake for that version, which was this one, aired in 2009. Some who have watched both versions said the first one felt rushed and not according to the manga, while this one was exactly based on it. As an anime-only fan, I can't give any comments on that. Lol.

Okay, to start it all, I don't want to watch this at first, to be very honest. The reason? Because for god's sake, IT FREAKING HAS 64 EPISODES!!!!!! How the hell did I end up watching this? Thanks to the huge curiousity of how-good-an-anime-sitting-on-MAL's-first-place-could-be and the jobless me, I finished this in only 4 days. Yea, I got no life, I freaking knew it.

This story tells about two brothers, Edward and Alphonse Elric, who could perform alchemy. With the basic rules of you get as much as you give; the Law of Equivalent Exchange. And as there's always "but" in every thing, this law could be overcome using the Philosopher's Stone.

Well, let's skip to the basic questions to help me writing the summary.
  • What robot is it in the poster? It's not a robot. It's Alphonse. The main character.
  • Why is he a robot? There's no science-fiction genre tagged with this anime? [spoiler] It's only his soul affixed to the armor.
  • How could he affix the soul? And why? [spoiler] They performed one forbidden act in alchemy, the human transmutation.
Okay I do give up writing the summary. I can't do that without giving you any spoiler sigh sorry!

What I love about this anime : the brothers relationship (they love and rely on each other's so much), each one with their own strong characters (one is so strong-witted and gets worked up easily while the other one is softer and more cold-headed). Also the plot and how side characters are giving impacts as powerful as the main characters.

After taste
  • Seriously, what is trust? YOU CAN'T TRUST ANYONE IN THIS ANIME I TOLD YA
  • Anticipate the tear-jerking and heart-wrenching scenes! Do prepare a box of tissues!!!!! I was just on episode 4 and I cried already /sobs/
  • Calling all Roy/Riza shippers! God damn it, this two really need to get married! THEY ARE BEYOND CUTE!!! GET A ROOM ALREADYYYY
  • You'll be easily hooked with the side characters and the villains!
Best part : "The Colonel always calls me Riza when we're alone together" the line that got me screaming so loud (glad I didn't flip my laptop down lol)

Rating : 10/10! Cast aside the ship and bias, this anime really deserves its top spot! I'll definitely rewatch this again someday!

Well, although this review sucks, I just feel that I have to write this because it touched me a lot in my soft spot and I can't let it slide just then. See you on another (terrible) review!
Share:

Waktu Milik (Kita) Sendiri

Allô! Setelah sebulan lebih tidak mem-posting sesuatu (walaupun draft-nya ternyata ada lumayan banyak), here I am!

Pertama, untuk update kondisi terbaru kesehatan fisik saya, saya (cukup) baik-baik saja. Alhamdulillah.
Kedua, untuk update kondisi terbaru kesehatan mental saya, masih diusahakan baik-baik saja. Insya Allah.

Jika kalian bertanya-tanya kenapa harus dirinci dengan kedua poin di atas, jawabannya karena tidak semua orang sehat di keduanya. Dengan beberapa kejadian belakangan ini, saya semakin aware bahwa kesehatan keduanya amat lah penting, bahkan berkaitan. Oke, cukup sampai disini dulu tentang kesehatan fisik dan mental.

Pada postingan kali ini, saya ingin bercerita tentang apa-apa yang terjadi selama sebulan lebih saya menghilang. Mencari pekerjaan tentu lah masih menjadi list pertama saya saat ini. Iya, jika kalian penasaran apakah saya sudah bekerja sekarang, jawabannya belum. Yah, belum full time. Long story short, saya bekerja freelance di salah satu gedung di daerah Tebet. Dengan semua plus minusnya. Namun, bukan itu sebenarnya yang menjadi titik berat tulisan ini, tapi kejadian-kejadian diantaranya.

Saya punya seorang teman, sebut saja teman A, yang sampai bulan lalu masih menjadi pengangguran seperti saya, berkeluh kesah akan susahnya mencari pekerjaan, hingga sekarang sudah bekerja di salah satu kementerian. Kemiripan saya dan teman A ini, kami berdua sudah melamar kesana sini namun yang diterima hanya dia. Saya juga punya seorang teman lain, teman B, yang baru saja menyelesaikan kontraknya dengan salah satu konsultan GIS dan bercerita akan kekhawatirannya menganggur. Padahal menurut saya, dia belum benar-benar merasakan apa itu menganggur (anggur/ang·gur/menganggur/meng·ang·gur/ v tidak melakukan apa-apa; tidak bekerja) karena tidak lama setelahnya (tidak sampai sebulan!) dia langsung mendapat pekerjaan baru. Kondisinya, saya melamar juga di tempat si teman B melamar, dengan banyak kemiripan akan kesalahan saat pendaftaran namun ternyata dia diterima dan saya tidak. Kok bisa?

Pertanyaan "kok bisa" ini yang sering menghantui saya, sejujurnya. Bagaimana tidak, rasanya-rasanya kok hanya saya sendiri yang ditinggalkan? Semua teman-teman terdekat saya sudah mendapatkan pekerjaan tetap pertamanya dan malah sudah berganti tempat kerja yang lain. Sementara saya masih disini saja, diam tidak beranjak dari tempat saya berada. Sungguh, jika bukan karena sepenuhnya meyakini bahwa Tuhan saya tentu memiliki rencana yang lebih baik lagi di waktu yang lain, mungkin saya sudah pergi ke psikiater. Hahaha, mungkin terdengar berlebihan ya, namun percayalah bahwa menyaksikan teman-temanmu melangkah lebih dulu ke jenjang kehidupan berikutnya dengan kamu yang tetap diam di tempat bukanlah hal yang menyenangkan.

Saya, hingga detik ini, masih terus berusaha meyakini sebuah tulisan tentang konsep waktu milik diri kita sendiri. Yaitu sebuah konsep dimana waktu yang kita jalani adalah milik kita, dan hanya kita sendiri, sehingga kita tidak perlu mengukur pencapaian diri sendiri dengan parameter milik orang lain. Tidak ada kata terlambat dalam pengukuran waktu ini. Jika sesuatu memang sudah ditakdirkan datang, maka ia akan datang. Jika belum, maka waktunya belum tepat. Maka, tunggu. Nah, masa-masa menunggu ini adalah masa-masa yang rentan untuk melemahkan iman, menggerus keyakinan, dan mempertipis kepercayaan pada Yang Maha Segala. Ah, memang dasar manusia.

Inti dari postingan ini sebenarnya adalah untuk mengingatkan (dan menghibur) diri sendiri (dan kalian semua) bahwa mungkin waktu kita untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan belum tiba. Dalam kasus saya, waktu saya untuk bekerja, atau Allah masih ingin melihat seberapa keras lagi saya akan berusaha, atau justru saya tidak diberikan pekerjaan tetap untuk memberikan jalan bagi saya mengejar mimpi-mimpi yang lain. Who knows? Hehe meski sekali lagi, ini semua adalah tentang keyakinan untuk percaya pada tiap keputusan-Nya, dengan ikhlas dan ridho. Yaaah, jika kamu sudah tidak bisa yakin dan percaya pada Tuhanmu sendiri, pada siapa lagi kamu bisa yakin dan percaya?
Share: