Saturday, April 14, 2018

Tentang Cita-Cita

Pukul 4 pagi dan saya masih nanar menatap layar laptop di hadapan. 
Meski layar laptop hanya menunjukkan layar putih tanpa objek yang dapat dipandang.
Pikiran saya melayang; pada kejadian-kejadian yang telah berlalu, pada pilihan-pilihan yang tidak saya pilih, hingga jutaan kemungkinan lain yang tidak terjadi.

Sering, sering sekali saya begini. Mungkin malah, terlalu sering.
Saya tidak bisa berpikir ingin jadi apa di masa depan. Selama itu baik dan tidak menyimpang dari agama yang saya anut, selama orangtua saya ridho, juga selama saya bahagia.

Cita-cita bagi saya tampak abu-abu.
Julukan "orang yang visioner" tidak tepat disematkan untuk saya. Karena toh cita-cita terjauh saya saat ini hanyalah menempuh pendidikan master di luar negeri.

Pernah dalam satu wawancara kerja, saya ditanya ingin jadi apa dengan masuk ke jurusan saya. 
Saya kelimpungan. Tidak pernah sekalipun saya memiliki cita-cita nyata se-rigid itu. 
Ingin jadi menteri pembangunan, ingin jadi dosen, ingin jadi peneliti. Bagi saya, semua sama saja.
Pertanyaan itu tidak terjawab dengan lugas.

Hari-hari setelahnya, saya bertanya-tanya pada diri saya : kamu mau jadi apa, zah?
Pikiran saya terdiam. Hati saya yang menjawab.
Jawabannya tetap sama : jadi orang baik yang semoga bisa bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya.
Cita-cita saya masih sesederhana itu.

Mungkin, orang-orang di luar sana memandang saya aneh. Seolah-olah tidak memiliki usaha dan mimpi.
Tapi (lagi-lagi) menurut saya, tidak semua orang adalah jenis orang yang memiliki target strict dan real.
Atau saya hanya masih lugu. 
Masih naif dengan punya cita-cita jadi orang baik.
Padahal orang-orang di luar sana punya cita-cita pasti yang membuatnya terus hidup dan berlari.

Ah, diri.
Mungkin kamu harus berpikir lebih keras lagi.
Share:

0 comments:

Post a Comment