Sunday, April 30, 2017

Looking for Scapegoat

Untuk semua kesalahan-kesalahan yang dilakukan tanpa sengaja,
Juga untuk semua kekhilafan-kekhilafan yang tercipta saat diri dibuai rasa manja,
Kita membutuhkan kambing hitam.
Ya, kambing hitam, si kambing spesial.

###

Manusia memang tempatnya salah dan dosa. Selalu saja ada hal yang tidak kita syukuri saat melakukan sesuatu. Kadang berupa kesalahan yang muncul tanpa bisa kita kendalikan, atau malah kesalahan yang dilakukan oleh diri sendiri. Sadar atau tidak. Diakui atau tidak. Ya, manusia bisa jadi makhluk pengecut seperti itu. Disini lah si kambing hitam diperlukan. Menumpahkan kesalahan pada kambing hitam adalah hal terbaik yang bisa dilakukan seseorang untuk menghindar dari konsekuensi yang harus ditanggungnya, atau paling tidak, meringankan rasa bersalahnya.

Saya percaya bahwa setiap orang memiliki nurani. Nurani adalah pengingat. Pengingat setiap kesalahan yang kita lakukan, menimbulkan perasaan gelisah dan tak nyaman. Hanya terkadang, pengingat itu diabaikan. Tertutup pikiran-pikiran picik dan niat jahat yang bersumber dari setan.

Kambing hitam tidak harus berbentuk binatang. Ia dapat berwujud manusia, benda, atau malah hal-hal tidak kasat mata. Kambing hitam adalah kiasan paling fleksibel yang pernah saya dengar, sebuah excuse untuk kesalahan yang muncul pada hal-hal baik yang kita lakukan.

Saat bangun kesiangan, kita menjadikan jam beker yang tidak berbunyi sebagai dalih.
Saat telat datang ke sebuah acara yang dijanjikan, kita menjadikan macet sebagai alasan.
Saat sebuah rahasia bocor keluar, kita menjadikan teman yang padanya kita percayakan rahasia tersebut sebagai lawan.

Jam beker, macet, dan teman tersebut adalah kambing hitam. Kambing hitam untuk bangun kesiangan yang kita lakukan sendiri, kambing hitam untuk telatnya kedatangan yang mungkin disebabkan oleh tidak diprioritaskannya acara tersebut, kambing hitam untuk rahasia yang bocor pada orang lain. Padahal semuanya salah diri sendiri. Tidak akan bangun kesiangan jika tidak tidur larut malam. Tidak akan telat datang jika acara tersebut adalah acara yang dianggap penting dalam hidup kita. Tidak akan bocor sebuah rahasia jika hanya diketahui oleh diri sendiri, karena rahasia adalah tawanan diri, tak akan bisa kabur jika keberadaannya saja tidak diketahui.

Pada kenyataannya, kita masih hidup dengan mencari si kambing untuk kenyamanan diri sendiri. Hidup enak dengan sejuta nikmat tanpa memikirkan orang lain adalah hal paling indah yang bisa dimiliki seseorang. Mungkin.

Hanya saja, hati-hati. 
Resikonya, nurani kita mati.
Share:

Saturday, April 22, 2017

(Review) Mengunjungi Perpustakaan Nasional (Perpusnas RI)

If you could dream big enough to be achieved, then run. Chase it to the edge of the world. Don't let it slip away and just go.


Saya merupakan salah satu orang yang masih membiarkan buku bergeletakan di atas tempat tidur ketika saya pergi tidur. Jangan salah paham, bukannya saya tidak menyayangi buku-buku saya dan menelantarkannya begitu saja. Saya menyayangi buku-buku saya sebagaimana ibu menyayangi anaknya. Hahaha lebay banget sih, but true. Sedih banget kalau lihat buku-buku rusak dimakan rayap karena udah terlalu tua atau crumpled kena air hujan yang bocor dari atap rumah. Atau jika buku yang saya miliki dipinjam seseorang dan kembali dengan keadaan yang lebih buruk daripada sebelumnya. Wah, tidak termaafkan rasanya.

Dengan kondisi macam ini, berkunjung ke perpustakaan dan toko buku adalah salah satu kesenangan tersendiri. Sebelum berangkat, tentu saja saya berharap banyak ketika berkunjung ke Perpustakaan Nasional. I mean, hellow, just how many books were in there? It must be heaven! Membayangkan berdiri dikelilingi buku-buku dengan aroma yang khas selalu terasa menyenangkan. But, guess what I got there? Saya jadi mau ketawa miris :') Ternyata sistem pelayanannya adalah sistem tertutup, in which you gotta search the book you look for first, fill the catalogue card, go to the specific floor where your book located, give the catalogue card to the so-called-librarian there, and wait for them to bring the book you asked. BORING. Apa coba yang menyenangkan dari nunggu buku yang diambilin orang lain?

Menurut saya, sistem pelayanan tertutup tuh nggak banget. Selain pengunjungnya nggak bisa milih-milih buku yang dia mau sendiri, pengunjung juga harus tahu buku apa yang mau dia cari dengan spesifik. Sekarang gini, jika misalnya saya memiliki tugas yang butuh banyak referensi dan tidak tahu buku mana yang lebih bagus dari yang mana, bagaimana? At the very least, ketika kamu berada pada perpustakaan dengan sistem terbuka dimana pengunjung bebas memilih buku apapun yang ia mau, kesempatan itu akan lebih besar terbuka. Pengunjung juga tidak perlu repot bolak-balik turun naik berlantai-lantai (meski menggunakan lift) hanya untuk mencari dan mengambil kartu katalog yang terletak di lantai 2. Repot banget deh pokoknya. Satu nilai minus lainnya dari sistem tertutup, kelihatan banget pegawainya nggak punya kerjaan lain selain ngambilin buku yang dipesan :") lol

Saya tidak melepaskan diri dari kemungkinan alasan perpustakaan ini memiliki sistem tertutup. Yah, mungkin saja buku-bukunya terlalu mahal untuk dipegang tangan-tangan berminyak pengunjung yang baru selesai beli gorengan, meski pada kenyataannya saya tidak juga melihat pegawainya menggunakan sarung tangan khusus, sih. Atau mungkin juga karena buku-bukunya sudah terlalu tua dan menjadi koleksi langka. Well, kalau untuk yang ini, saya sangat maklum. Siapa juga yang mau benda koleksi nya rusak, ya kan?

Kesimpulannya, saya pribadi berpendapat bahwa tentu saja banyak yang malas ke perpustakaan jika harus melewati proses serepot ini untuk meminjam sebuah buku. Tadinya saya berpikir, cukup dengan memiliki kartu anggota perpustakaan dan yak lancar jaya meminjam buku. Padahal pada kenyataannya saya sampai harus menahan malu karena nekat ingin masuk ke rak-rak tempat penyimpanan buku yang terbatas untuk pegawai saja. What to say, I'm a first-timer HAHAHA sampai dilihatin semua orang. That was how I found it has closed system. An embarrassing experience, I know. But worth it, I guess?

After Taste: nggak lagi-lagi deh saya ke Perpusnas. Males. Sistemnya begitu, cara pegawainya menegur saya juga nggak menyenangkan sama sekali. Dia pikir semua orang udah pernah ke perpusnas apa ya?! (hashtagkesel)

Best Part: nggak ada. Not impressive at all. Told ya.
Share:

Draft: Sebuah Hasil

Tulisan ini merupakan bagian dari proyek menulis perjalanan mendapatkan gelar Sarjana Sains pada program studi S1 Geografi Tahun 2016-2017. Tulisan ini ditulis oleh ©faizahfinur dan akan di-update selama proses penulisan skripsi tanpa waktu yang pasti.

---

Memasuki penghujung bulan April, satu per satu teman-teman saya sudah mulai memulai langkah selanjutnya menuju kelulusan; melaksanakan seminar draft atau hasil penelitian. Di departemen saya, kamu perlu melakukan 2 tahap seminar sebelum melakukan sidang akhir, yaitu seminar proposal dan seminar draft. Meskipun pada tahun ini, yang didominasi angkatan saya, melaksanakan seminar proposal tidaklah wajib. Melaksanakan seminar proposal atau tidaknya ditentukan oleh pembimbing dan penguji mahasiswa yang bersangkutan. Hal ini (sepertinya) dikarenakan jumlah mahasiswa angkatan saya jauh lebih banyak dibandingkan angkatan sebelum-sebelumnya.

Saya sendiri beserta teman-teman yang memiliki pembimbing yang sama tidak melaksanakan seminar proposal. Jika tidak melaksanakan seminar proposal, maka kamu harus menghampiri satu per satu dosen pembimbing dan pengujimu untuk meminta nilai kelayakan atas proposal yang kamu  ajukan, karena pada dasarnya seminar proposal dilakukan untuk menyetujui atau menolak ide yang kamu ajukan. Jika proposalmu sudah disetujui, dengan atau tanpa revisi, langkah selanjutnya adalah jalan ke lapangan! Jika mayoritas data yang kamu gunakan adalah data primer, tahap ini adalah tahap yang paling penting. We never knew what fact we could enconter on field, right?

Setelah jalan ke lapangan atau melakukan survei, tinggal menyusun dan mengolah data-data yang kamu dapatkan, menyambungkannya dengan teori, kemudian voila! Bab 5 berisi hasil dan pembahasan ide milikmu sudah selesai! Hehehe, terdengar sangat gampang ya, padahal pada kenyataannya riweuh pisan. Ya bingung ini, bingung itu, pembimbing satu bilang begini, pembimbing dua bilang begitu. Revisi, revisi, revisi, revisi lagi, revisi terus. Satu kata yang nggak akan habis terdengar sampai kamu resmi pakai toga.

Banyak orang (di departemen saya) berkata bahwa seminar draft adalah tempat "pembantaian" yang sesungguhnya. Jika dipikir-pikir, memang benar sih. Ketika seminar draft, hasil dari olahan data juga survei yang kamu lakukan masih mentah, belum pernah dilihat oleh dosen pengujimu, yang mana akan sedikit banyak berpengaruh pada mental mahasiswa yang sedang diuji. Jika kamu sudah berhasil melewati seminar draft dengan lancar, maka pada sidang sesungguhnya kamu hanya tinggal menjelaskan kembali apa yang sudah kamu jelaskan pada seminar draft sebelumnya, lengkap dengan revisi-revisi yang sebelumnya sudah diberikan. Tapi jika seminar draft milikmu aneh-aneh, baik dalam pengertian banyak hal yang tidak disetujui atau pun kamu menjawab pertanyaan dengan jawaban yang tidak sesuai konteks, you're doomed. Nilai seminarmu bisa jeblok, lalu dosen pengujimu akan memasang muka furious yang bikin jiper waktu mau kamu samperin. Yah, saya juga sebenarnya belum ngalamin sih. Denger cerita orang-orang aja ini mah, hehe.

Well, semoga skripsimu dan skripsi saya dimudahkan prosesnya!

Share:

Monday, April 10, 2017

Shokugeki no Soma (Food Wars) Review



Hi! So, in the middle of the hectic weeks of final thesis draft's deadline, I'm still sparing time for reading manga. Yup, that is Shokugeki no Soma or Food Wars. This manga also had been adopted into anime with the same title. The anime has 2 seasons aired, the first has 24 episodes and the second one has 13 episodes. Well, here I am giving a simple review for the sake of my inner fangirl thing.

As its title, this manga tells about a boy named Yukihira Soma who owned a family diner with his father, Yukihira Joichiro (or Saiba Joichiro when he's a kid). The restaurant was well-known for its delicious food, despite located in a small district. Soma always looked up to his father, and had tempted endless cooking battles with Joichiro was always on the winner side. Joichiro was a top chef among the world class restaurants, but Soma didn't know about this thing until the day he met his father later. Before going around the world again, his father sent him to enter Tootsuki Tea Ceremony and Cooking Academy, a world class culinary school. This school had "fierce" curriculum, with its student's expulsion at stake for a little mistake done. As a transfer student, he made a whole school his enemy on his first day there, by saying he's gonna be a first-ranked student in the academy. Knowing nothing about the school he was in, Soma continued cooking on and on, facing some upperclass students in the tournament, and slowly being acknowledged by everyone but Nakiri Erina, a girl known as The God-Tongue for her divine palate. Erina, being a tsundere that she was, refused to say Soma's dish was good. These two kept quarreling whenever they met. Erina's acknowledgement for his dish was added to Soma's purpose in cooking, other than defeat his father.

What I like about this anime, after a bunch of handsome guys (of course!), is their strong and interesting characters. The main character, Soma, is the one I'll pay my respect to. This guy doesn't know the term "giving up", he keeps aiming for the top, to beat his father someday in a cooking battle. He tried harder than everyone else, did countless trial and error, and made cooking a fun activity. He loved cooking so much that we all could see it bare. The plot is also another thing I'll mark down. It's getting better and better with different arcs while still on the line of Soma's way to become the best.

Again with a terrible review, but this is what keeps me sane from the final thesis deadline pressure HAHAHA hm another excuse but hey it's true! We all have that one thing that keeps us sane at the most crucial point, right?

After Taste : shame on me for being so easily discouraged and given up :X well despite being hungry, it sure has an important value to chase your dream and not easily give up. Hm, also beware to fall in love with those handsome and skillful boys!

Best Part : Soma-Erina's cute interaction! I ship this two sooo hard to the point I'll hate them so much if they're not an item at the end of the story (lol sorry but true)

Watch Out : ecchi part! Lol yeas this is an ecchi manga. To be very honest, I personally think those ecchi parts on first season anime are too much ;;; I mean, c'monnn I know that the foods are delicious without including those parts. Well, those might be needed to picture the foodgasms, but still a bit disturbing lol. Fortunately, the second season didn't have as many ecchi scenes as the first one and hey it's doing just fine!
Share: