Wednesday, March 22, 2017

Facing an Enemy

Tulisan ini merupakan bagian dari proyek menulis perjalanan mendapatkan gelar Sarjana Sains pada program studi S1 Geografi Tahun 2016-2017. Tulisan ini ditulis oleh ©faizahfinur dan akan di-update selama proses penulisan skripsi tanpa waktu yang pasti.

---


As you would have already known, writing final thesis is nowhere near easy. I have said it several times, ain't I? Yet still, the thought creeped into my mind frequently. Pada kenyataannya, setiap individu pasti punya musuh yang harus dikalahkan. Tidak hanya saat skripsi, namun juga dalam kehidupan sehari-hari. Musuh besar utama setiap orang pasti : diri sendiri. Sadar atau pun tidak, diri kamu adalah katalis semangatmu. You choose your own path, you create your own destiny. Great, I'm so good at making motivational words, yet the words fail on me.

Well, speaking about enemy, musuh-musuh yang harus dihadapi saat skripsi seperti bereproduksi. Atau jika tidak bereproduksi, berevolusi. Bukan hanya diri sendiri yang harus dihadapi, namun juga dosen pembimbing dan penguji yang rewel, ngurus izin penelitian disana-sini yang menyebabkan harus bertemu orang-orang yang (kadang) tidak menyenangkan, hasil survey yang tidak sesuai ekspektasi, hingga pengolahan data yang salah. Bersyukurlah kamu-kamu yang mampu menghadapi musuh-musuh tersebut dengan baik.

Bagi saya sendiri, lagi-lagi masalah internal. This body of mine seemed to refuse working together. Entah dengan alasan apa, badan saya sekarang jadi lemah dan gampang sakit. Belum ditambah penyakit psikologi berupa rasa malas, demotivasi, hingga stres yang makin menumpuk. If you want to know, there's always a spark of spirit in me every time I see my friends work on their thesis. A spark that's not big enough. That's what I'm working on right now, making it into a big flame. So that I could get this done soon. But talking is always easier, isn't it? It feels worrisome to not doing anything for the past 2 weeks. Yet, I don't really want to. Meh, such a complicated soul you have there, gurl.

Let's pray hard and keep fighting! May the odds be in your favor, all!
Share:

Saturday, March 11, 2017

Next, next, next!

Tulisan ini merupakan bagian dari proyek menulis perjalanan mendapatkan gelar Sarjana Sains pada program studi S1 Geografi Tahun 2016-2017. Tulisan ini ditulis oleh ©faizahfinur dan akan di-update selama proses penulisan skripsi tanpa waktu yang pasti.

---


"Anak-anak bimbingan, usahakan bab 5 selesai awal April ya. Biar saya bisa baca." Tulis pembimbing skripsi saya di grup bimbingan pada suatu hari di awal minggu ini. Membacanya hanya menghasilkan sebuah cengiran di wajah saya. Dengan sisa waktu 3 minggu dan belum ke lapangan, apa lagi yang bisa saya katakan?

Semakin kemari rasanya sudah semakin bisa bersahabat dengan tekanan. Rasa-rasanya sudah tidak terlalu dipikirkan. Atau mungkin (pada akhirnya) hanya berhasil diabaikan. Entahlah. Satu hal yang pasti, saya tidak sendiri. Atau setidaknya, saya berpikiran begitu. Hehehe. Diskusi-diskusi lucu bersama pembimbing serta kritikan-kritikan pedas menusuk dari penguji toh harus ditelan juga. Meski harus tergugu sesaat karena bingung harus menjawab apa, sampai akhirnya hanya bisa menanggapi dengan senyum saking tidak ada ide jawabannya. 

Wah, menjadi mahasiswa semester akhir memang super, ya. Bolak-balik sana sini, diskusi, mencari referensi, mengambil data, mengetik ribuan kata demi membuat satu buku bernama skripsi yang jika sudah tiba masa kadaluarsanya toh hanya akan jadi onggokan sampah yang dibakar di halaman belakang. Benar loh, memang begitu kenyataannya. Memangnya mungkin semua skripsi-skripsi dari puluhan tahun yang lalu itu tetap disimpan? Kalau tidak memenuhi rak, ya kertasnya sudah rapuh dimakan rayap, ujungnya tetap saja dibakar, atau paling bagus, jadi bungkus cabe. Hehe.

Meski begitu, mahasiswa toh tetap jatuh bangun membuatnya. Karena katanya, itu syarat kelulusan. Dan selama peraturannya belum berubah, jatuh bangun berulang kali tetap harus dilakoni kan?
Share:

Sunday, March 5, 2017

Tentang Perpisahan

Kata orang, jika ada pertemuan, maka ada perpisahan. Durasinya juga beragam, bisa hanya beberapa detik, jam, hari, minggu atau malah puluhan tahun. Kita tidak pernah tahu. 

Menjadi makhluk ciptaan Tuhan membuat kita seharusnya sadar bahwa pertemuan-pertemuan kita dengan orang lain adalah sesuatu yang sudah ditentukan, atau orang-orang biasanya menyebutnya; takdir. Dari pertemuan-pertemuan itu kita belajar dan merasakan sesuatu, entah hal baik atau pun buruk. Pertemuan yang tidak pernah disangka-sangka. Pertemuan yang akan berakhir dengan perpisahan.

Perpisahan, sebagaimana layaknya pertemuan, juga dirancang secara tiba-tiba. Pun sebab dari perpisahan sendiri, ada banyak macamnya. Ada perpisahan yang tidak kita sadari telah terjadi, seperti ketika berpapasan dengan orang asing di jalan, karena pertemuannya juga sama tidak disadarinya. Ada perpisahan yang terjadi secara baik-baik, karena pihak-pihak yang terlibat sudah saling sepakat untuk berpisah dan melanjutkan hidup masing-masing dengan agenda-agenda lain yang juga berbeda. Ada perpisahan yang dilakukan sepihak, akibat kekesalan dan emosi yang memuncak untuk beberapa saat. Ada pula perpisahan yang tidak dikehendaki; perpisahan selamanya. Perpisahan untuk menuju dunia yang lain, dunia yang abadi.

Perpisahan meninggalkan bekas. Mungkin senyum, luka, atau malah air mata. Meninggalkan senyum jika pertemuan itu membuatmu bertemu dengan orang yang menjengkelkan, meninggalkan luka jika pertemuan itu membuatmu sakit hati dan kesal, meninggalkan air mata jika pertemuan itu membuatmu menginvestasikan hatimu terlalu banyak dan dalam.

Namun, di atas segalanya, perpisahan adalah gerbang menuju pertemuan baru. 

Jika pada suatu hari nanti, kalau-kalau Tuhan mengizinkanmu bertemu kembali dengan orang yang dengannya kamu pernah berselisih paham, pernah menyakiti hatimu, juga membuatmu jengkel, maka tersenyumlah. Karena pertemuan yang kedua, bisa jadi, adalah sebuah refleksi, bagi hidupmu dan hidupnya. Semoga pada saat itu, kamu sudah memaafkannya dan dia sudah menyesali kesalahannya.

May, in the future, you meet (again) with ones you have quarrel with, in a better term.
Share: