Friday, March 29, 2013

A note in Friday Night

Ini catatan di awal malam. Tulisan kedua di hari ini. Sebuah rekor yang baru terpecahkan setelah beberapa tahun blogging.

Sore ini, aku baru sampai rumah sekitar pukul setengah 7 sore, mencari kebaya dan mengganti kacamata yang dirasa sudah lagi tak enak digunakan. Kacamata sudah beres, berangkatlah kami ke Thamrin City, suatu pusat perbelanjaan besar yang lebih banyak menjual kain batik di Jakarta. Seperti biasa, sepanjang perjalanan selalu ada topik untuk dibicarakan dan baru akan berakhir ketika salah satu dari kami bertiga -aku dan 2 adikku- tertidur, menyisakan ayah dan ibu yang tetap terjaga sampai di tempat tujuan. Setelah mengisi perut, dimulai lah pencarian kami untuk mencari baju batik. Dari satu toko ke toko yang lain, namun tak kunjung berhasil juga. Kebaya nya untuk wisuda dan warnanya biru dongker, kata ibu kepada para penjualnya. Nihil. Tak ada satupun yang pas di hati ayah dan ibu ketika melihatnya. Ketika ada yang pas, warna dan  ukurannya tidak. Maklumlah, aku memiliki badan di atas rata-rata. Hingga akhirnya pencarian berakhir ketika ibu mengeluh kakinya sakit dan beliau berjalan agak terhuyung.

Mungkin mencari kebaya memang tampak sepele. Namun esensi dari pencarian itu sendiri yang seharusnya dihargai. Bagaimana setiap tetes peluh yang jatuh saat berjalan dari satu toko ke toko lainnya patut dihitung sebagai sebuah perjuangan. Bagaimana seorang ibu yang belum sepenuhnya sehat rela bersusah payah mencari kebaya untuk sang anak wisuda, meskipun wisudanya diselenggarakan 3 bulan ke depan. Bagaimana hati memilih yang cocok ketika banyak pilihan ditawarkan di depan mata. Ya, pengorbanan. Memberi meski tak menerima, ikhlas meski banyak yang tak suka. Tak semua orang mau menjalaninya. Semua kembali ke hati nurani. Hati yang tak pernah berbohong meski dibohongi. Siapa yang tak merasa bersalah ketika berbuat salah? Jika memang ada, pasti ia tak lagi punya hati. Meski sekecil apapun, salah tetap salah. Hati pasti memberontak. Bukan, bukan hati secara harfiah. Bukan hati yang mengemulsi lemak menjadi asam lemak dan gliserol, bukan pula hati yang mendegradasi eritrosit dalam tubuh. Tapi hati yang ini hati yang diberikan Sang Pencipta pada setiap manusia, hati yang mungkin seharusnya disebut perasaan. Karena perasaan tak dapat tergambarkan dalam bentuk apapun. Jika para pelukis dan para penyair memberi tema karya seni mereka dengan ungkapan kesedihan atau kegembiraan, itu hanya kiasan. Hanya kata yang diungkapkan agar sang perasaan mempunyai nama, agar semua orang tau perasaan apa yang sedang dirasakan ketika seseorang menyebut ungkapan tersebut. Dan memang ungkapan seperti senang, sedih, marah, dan gelisah yang tetap digunakan hingga saat ini. Meski pada akhirnya, perasaan tetap perasaan, yang sampai kapanpun tak dapat digambarkan.
Share:

2 comments:

  1. Kok tumben bahasa lu bener? Akakaka, suka suka <3

    ReplyDelete
  2. lah jahaaaattt T____T iya nih lagi tobat wakakak maaceeeeyyy<3

    ReplyDelete