Saya seringkali
bergelut dengan pikiran yang bercabang jadi 2; ingin jadi soleh sekaligus
brengsek pada saat bersamaan. Dua hal yang bertolak belakang namun pasti
dimiliki tiap manusia; dualitas sifat dunia. Dengan atau tanpa penyebab,
hal-hal ini seringkali muncul sebagai implikasi dari suatu tindakan yang
dilihat maupun dialami.
Namun,
sepertinya hal itu tidak berlaku bagi saya. Konsep dualitas ini sering
menyeruak ke permukaan pikiran, membuat saya hanyut dengan andai-andai menjadi
baik dan buruk pada saat yang sama. Atau mungkin pada kasus saya, mungkin
menjadi masalah iman.
Menutup
aurat (karena saya muslim) misalnya; saya ingin menjadi seseorang yang menutup
aurat sepenuhnya, namun tidak mau dipandang alim dan segala istilahnya itu.
Hingga seringkali saya secara sadar atau tidak sadar membiarkan sedikit aurat
yang seharusnya ditutup terbuka, misalnya dengan memakai kaos kaki pendek saat
saya memakai rok, sehingga bagian rok saya yang agak menggantung tidak mampu
menutupi semua bagian kaki saya. Atau malah kebalikannya; memakai celana panjang
yang agak membentuk kaki dengan baju selutut, pakaian muslimah yang belum
sepenuhnya syar’i, namun terlihat membaca al-qur’an/al-ma’tsurat, kegiatan yang
biasa ditemui pada muslimah dengan pakaian syar’i di fasilitas-fasilitas
publik.
Mungkin
pendeknya, saya tidak ingin menghidupkan ekspektasi maupun stereotype yang
dibentuk orang-orang, sehingga saya berperilaku demikian. Meskipun saya
lagi-lagi mungkin sadar bahwa setengah-setengah dalam melakukan kebaikan tidak
bagus, apalagi jika masih diselingi keburukan. Yang saya takutkan adalah hati saya
mati rasa, tidak lagi peduli benar atau salah, baik atau buruk. Lucunya, meski
saya takut, sampai detik ini rasanya masih saja seperti ini.
Kadang
manusia tidak pernah sadar bahwa dia adalah lambang dari sebuah paradoks kehidupan.
Terlihat benar di mata satu golongan, bisa jadi terlihat salah di mata golongan
lain. Menjadi pencuri di masyarakat kelas atas, namun menjadi penderma di
masyarakat kelas bawah. Maka, semakin banyak ia mencuri, semakin dermawan ia
menjadi. Hal-hal yang tidak bisa dipikirkan hanya dari satu kepala saja. Maybe that’s
why there was a saying said “we cannot please everyone”, because that’s how it
is. Salah atau benar tak pernah benar-benar menjadi satu nilai yang absolut.
Namun mungkin
pada akhirnya, paradoks takdir adalah sebuah cara menunjukkan proses pertimbangan
keputusan; apakah nurani atau otak yang mengambil peran. Dan saya, sekali lagi,
harus menimbang ulang semua pikiran kontradiktif yang muncul ketika melihat atau
mengalami suatu kejadian. Well then, mungkin saya harus lebih banyak ngaji lagi
biar tidak tambah brengsek.
0 comments:
Post a Comment