Wednesday, June 22, 2016

Menjadi Paradoks

Saya seringkali bergelut dengan pikiran yang bercabang jadi 2; ingin jadi soleh sekaligus brengsek pada saat bersamaan. Dua hal yang bertolak belakang namun pasti dimiliki tiap manusia; dualitas sifat dunia. Dengan atau tanpa penyebab, hal-hal ini seringkali muncul sebagai implikasi dari suatu tindakan yang dilihat maupun dialami.

Namun, sepertinya hal itu tidak berlaku bagi saya. Konsep dualitas ini sering menyeruak ke permukaan pikiran, membuat saya hanyut dengan andai-andai menjadi baik dan buruk pada saat yang sama. Atau mungkin pada kasus saya, mungkin menjadi masalah iman.

Menutup aurat (karena saya muslim) misalnya; saya ingin menjadi seseorang yang menutup aurat sepenuhnya, namun tidak mau dipandang alim dan segala istilahnya itu. Hingga seringkali saya secara sadar atau tidak sadar membiarkan sedikit aurat yang seharusnya ditutup terbuka, misalnya dengan memakai kaos kaki pendek saat saya memakai rok, sehingga bagian rok saya yang agak menggantung tidak mampu menutupi semua bagian kaki saya. Atau malah kebalikannya; memakai celana panjang yang agak membentuk kaki dengan baju selutut, pakaian muslimah yang belum sepenuhnya syar’i, namun terlihat membaca al-qur’an/al-ma’tsurat, kegiatan yang biasa ditemui pada muslimah dengan pakaian syar’i di fasilitas-fasilitas publik.

Mungkin pendeknya, saya tidak ingin menghidupkan ekspektasi maupun stereotype yang dibentuk orang-orang, sehingga saya berperilaku demikian. Meskipun saya lagi-lagi mungkin sadar bahwa setengah-setengah dalam melakukan kebaikan tidak bagus, apalagi jika masih diselingi keburukan. Yang saya takutkan adalah hati saya mati rasa, tidak lagi peduli benar atau salah, baik atau buruk. Lucunya, meski saya takut, sampai detik ini rasanya masih saja seperti ini.

Kadang manusia tidak pernah sadar bahwa dia adalah lambang dari sebuah paradoks kehidupan. Terlihat benar di mata satu golongan, bisa jadi terlihat salah di mata golongan lain. Menjadi pencuri di masyarakat kelas atas, namun menjadi penderma di masyarakat kelas bawah. Maka, semakin banyak ia mencuri, semakin dermawan ia menjadi. Hal-hal yang tidak bisa dipikirkan hanya dari satu kepala saja. Maybe that’s why there was a saying said “we cannot please everyone”, because that’s how it is. Salah atau benar tak pernah benar-benar menjadi satu nilai yang absolut.

Namun mungkin pada akhirnya, paradoks takdir adalah sebuah cara menunjukkan proses pertimbangan keputusan; apakah nurani atau otak yang mengambil peran. Dan saya, sekali lagi, harus menimbang ulang semua pikiran kontradiktif yang muncul ketika melihat atau mengalami suatu kejadian. Well then, mungkin saya harus lebih banyak ngaji lagi biar tidak tambah brengsek.
Share:

0 comments:

Post a Comment