Tuesday, February 17, 2015

Satu Negeri Satu Kami

Indonesia adalah satu kata dengan berjuta warna dan makna. Negeri yang dilimpahi banyak kekayaan sumber daya alam hayati maupun hewani, juga keindahan bentang alamnya yang terhampar dari Sabang sampai Merauke, juga Sangihe hingga Talaud. Negeri dengan berbagai suku, budaya, bahasa dan agama yang hidup rukun saling berdampingan. Sebuah negeri kecil tempat masa kecil saya dihabiskan, tempat semua mimpi digantungkan.
Mempersatukan negeri besar ini tentulah tak mudah. Ribuan nyawa melayang untuk membelanya. Banyak kepala, banyak ego, banyak hal yang harus dikalahkan demi satu cita-cita; untuk merdeka. Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Celebes adalah pemuda-pemuda yang rela bersimbah peluh dari pelosok negeri demi bersatunya negeri ini. Orang-orang yang membuat saya malu jika tidak berusaha sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu.
Bangsa ini, bangsa Indonesia, adalah bangsa yang besar. Bangsa yang akan memimpin peradaban dunia, meski entah kapan masanya. Bangsa yang bisa maju ke depan, dengan belajar dari sejarah para pendahulunya. Bangsa yang mentalnya sekuat baja dan setegar karang, serta hati selembut kapas dan sebening embun. Bangsa yang semangat belajarnya tak pernah padam meski diguyur hujan badai terburuk sekalipun.
Tuhan, tolong berkahi negeri kami...
Negeri ini sungguh kaya, ya Tuhan…
Ribuan pulaunya terhampar seperti permata. Zamrud khatulistiwa, itu julukan negeri ini. Warna hijau dari lebatnya vegetasi hutan hujan tropis yang menyembunyikan keragaman makhluk hidupnya, dipadu warna biru laut yang mengelilinginya menjadikan negeri ini sangat istimewa.
Lihat barisan gunung-gunung di ujung cakrawala sana! Aku pernah mendaki salah satunya. Juga hamparan laut luas tak bertepi di sebelah utara dan selatan pulau-pulau itu! Aduh Mak, amboi nian pemandangannya!
Tapi….
Sebagian dari kami, generasi penerus bangsa ini, adalah para perusak alam tak bermoral yang mendewakan materi di atas segalanya. Lahan-lahan pertanian digusur, pohon-pohon ditebang tanpa izin, hanya untuk mendirikan bangunan-bangunan yang dinilai mempunyai nilai tinggi secara ekonomis. Tak ada lagi pertimbangan daerah resapan air yang berkurang, juga lahan-lahan produktif yang masih bisa ditanami berbagai jenis tanaman. Ikan-ikan ditangkap menggunakan jaring dan pukat harimau, tak lagi memikirkan keseimbangan ekosistem bawah laut.
Alam tak suka keseimbangannya diusik. Alam merasa harus membuat manusia jera. Alam ingin manusia tahu bahwa dirinyalah yang jumawa. Maka air menggenang dimana-mana, membanjiri setiap lahan yang seharusnya ditanami pohon-pohon lebat untuk resapan air. Tanah luruh dari tempatnya karena tak ada yang dapat menahannya lebih lama, longsor jadinya. Bencana dimana-mana. Bencana di negeri ini, di Indonesia kita.
Meski pada akhirnya kami tahu bahwa alam marah, semuanya sudah terlambat. Zamrud khatulistiwa kami telah pergi, hilang ditelan zaman yang semakin mengebiri. Yang terlihat kini adalah atap-atap pemukiman yang penuh sesak diselingi satu-dua gedung pencakar langit di tengah kota. Meski kami ingin mengubahnya lagi, diperlukan waktu yang lama untuk membuatnya kembali. Itupun jika tak ada gangguan dari pihak manapun. Negeri ini dan segala kekayaannya telah tersohor ke penjuru dunia. Warga dunia datang hilir mudik silih berganti untuk berwisata, membuktikan kemashyuran sang permata khatulistiwa. Beruntung jika hanya berwisata, banyak yang melihat peluang untuk memanfaatkan kekayaan negeri ini. Hingga kami menjadi budak di rumah sendiri. Sungguh, ironis melihat rumah kami diacak-acak seperti ini.
Oleh karena itu, ini adalah sebuah pengakuan dan ajakan demi negeri ini.
Saya bangga menjadi bagian dari negara dan bangsa Indonesia. Negeri yang elok dengan berjuta pesonanya, baik yang sudah terungkap maupun yang masih tersembunyi. Negeri yang butuh saya dan kamu perbaiki. Saya bersyukur saya dilahirkan dan dibesarkan disini, karena negeri ini mengajarkan banyak hal dari hal-hal kecil yang harus saya pelajari. Perbedaan bukanlah halangan, justru perbedaan lah yang membuat kita saling menghargai. Negeri ini butuh orang-orang besar untuk membuatnya besar. Yuk, sama-sama ubah Indonesia jadi lebih baik! :)

View Gunung Sindoro dari Punggungan Dsn. Cengklok, Gunung Sumbing, Wonosobo, Jawa Tengah.
Share:

Sunday, February 1, 2015

Belajar (Informal)

Mengingat kata belajar, pikiran sebagian besar orang akan langsung mengarah pada kegiatan formal dengan siswa dan guru sebagai komponen utamanya. Juga ruang kelas, lengkap dengan papan tulis kapur/spidol, juga meja dan kursi. Padahal, belajar tak cuma terbatas sampai disitu saja.

Hari ini, ketika Jakarta diguyur hujan sejak tadi malam hingga saat ini, keluarga saya memilih untuk mengikuti pengajian rutin mingguan di salah satu masjid besar di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Selepas pengajian, kami berjalan mencari case laptop untuk ibu. Hingga kemudian menyempatkan diri makan siang terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan, seringkali banyak topik pembicaraan yang diangkat. Baik antara ayah dan ibu, atau pun antara saya dengan adik-adik. Dalam bentuk obrolan dua arah, maupun diskusi hangat penuh argumentasi semangat dari saya maupun adik-adik tentang suatu masalah yang kami tanyakan pada ayah atau ibu.

Suatu kesadaran menghantam saya dalam perjalanan pulang. Ngobrol dan diskusi kami selama dalam mobil ini juga proses belajar. Meski tanpa guru, tanpa spidol, juga tanpa meja. Obrolan mengalir layaknya bola yang turun dari bidang miring licin; bebas tanpa hambatan. Jika ada yang tidak sependapat, kami boleh langsung membantahnya dan mengajukan pendapat kami. Pun jika ada yang masih tak dapat dipahami. Beruntung, orang tua saya bukan tipe orang tua kolot yang tak membiarkan anaknya bertanya hal-hal aneh dan memiliki pendapat sendiri. Saya jadi teringat akan canggungnya sebuah mobil dengan keluarga lengkap di dalamnya disertai gadget canggih. Dingin, tak ada obrolan, semua sibuk dengan gadgetnya. Sang ayah sibuk menyetir, sang ibu asyik BBM-an dengan teman-teman arisannya, sang adik seru dengan PSP-nya, sedang si kakak terlarut dalam musik di Ipod-nya. Duh, miris sekali. Betapa banyak kesempatan belajar yang mereka lewatkan dengan gadget canggih yang mengelilingi mereka.

Saya hanya ingin mengingatkan siapapun bahwa meski gadget membantu sebagian besar hidup manusia, tak ayal ia juga menjadi salah satu faktor penghancur hidup manusia. Bisa dibilang gadget juga membantu seseorang belajar, meski efek samping yang ditimbulkannya juga akan lebih banyak. Kena efek radiasi, misalnya. Belajar, bagaimanapun caranya dan dimanapun posisinya adalah sebuah proses penerimaan kehidupan dari ketiadaan. Manusia lahir tanpa pengetahuan dan proses belajar membuatnya "tahu" bahwa sesuatu itu ada dan bermakna. Apalagi proses belajar yang disertai hati ikhlas dan lapang serta perasaan senang, akan membuat sesuatu semakin mudah diingat dalam jangka waktu yang lama.
Share: