Kota yang megah dan bisingnya tidak pernah berhenti. Tidak juga pada jam 3 pagi, saat aku menatap Jembatan Semanggi dari ketinggian hampir 100 kaki. Kota yang bergerak cepat, seperti langkah kaki para penghuninya beberapa jam lagi; diburu waktu dan alat transportasi yang acap kali telat tidak tahu diri.
Kerasnya Jakarta hanya untuk orang-orang kuat, kata mereka, atau untuk yang terpaksa mencari nafkah demi memperpanjang jarak dari rundungan nestapa. Pukul 6 pagi nanti, mobil-mobil akan berjajar seperti koleksi mobil mainan dari atas sini, maju setengah meter demi setengah meter menuju gedung-gedung pencakar langit di pusat ibukota.
Setelah 25 tahun bersama, aku pergi menjauh dari kamu. Bukan karena sudah bosan, namun karena keharusan. Tapi aneh, bukannya lega, aku malah rindu. Pada kegilaan orang-orangnya, pada wajah-wajah asing yang ditemui di kereta pagi tujuan kota, pada rutinitas menjemukan yang memuakkan.
Aku menemukan rumah, pada sebuah rumah kecil bertingkat dua di timur Jakarta. Pada senyum-senyum penghuninya yang tetap ada meskipun hari itu mendung bertengger di ujung nusa.
Aku menemukan nyaman, pada kemacetan yang seringkali dikeluhkan massa.
Aku menemukan Jakarta, kota yang besarnya bahkan tidak sampai sepertiga Pulau Jawa, menjadi satu bagian dari diri yang lebih besar dari sekadar kata.