Sunday, June 5, 2022

Dosa, Tangis, dan Americano

Beberapa hari ini, saya banyak menangis. Menangisi pekerjaan, dosa-dosa, juga berita duka di luar sana. Saya menangis karena kesal dengan atasan, menangis karena penyesalan yang selalu datang belakangan, juga karena berita kehilangan. Saya menangis untuk hal-hal yang ada di luar kuasa saya, menangis untuk hal-hal yang juga ada dalam kontrol saya, juga menangis untuk satu keluarga yang jika dibilang bersinggungan pun hanya sebatas tahu nama.

Hidup saya aneh; saya sadar berdosa tapi tetap melakukannya. Lalu kemudian saya menangis; keras, deras, seperti orang tidak waras. Kali lainnya saya menangis, meratap minta ampun, namun tetap tergoda masuk pada perangkap setan dan hawa nafsu. Pada ego yang menyerah pada keinginan id, dan ketika dirinya kembali mengambil alih, superego sudah lebih dulu datang menghakimi. Kemudian kembali ke awal, berputar lagi. Pada setiap putaran, satu pertanyaan yang sama muncul dalam pikiran: apa yang sebenarnya kamu mau?

Diri saya aneh; satu waktu saya menangis begitu keras untuk orang lain, di lain waktu saya bisa bergeming diam, dingin, seperti tidak punya hati. Pada satu malam, saya menangis iri melihat betapa hamba-hamba Tuhan begitu gigih dalam meminta, dan Dia membalasnya dengan kebahagiaan tak terkira. Pada malam lainnya, saya berdecak bingung tak habis pikir, bagaimana Tuhan mampu memberikan ujian seberat itu pada hamba-Nya yang kata-Nya dicinta. Pikiran yang kemudian berputar lagi, hari demi hari. Pada setiap putaran, satu pertanyaan lagi muncul dalam pikiran: apa yang kamu tahu tentang semesta, wahai makhluk fana?

Hari ini hari minggu. Ada pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan, namun saya malah memilih memesan 2 gelas americano pada aplikasi daring pesan antar. Jika saya belum pernah bilang, americano adalah kenyamanan saat saya sedang tidak baik-baik saja. Jangan tanya kenapa karena saya pun tidak tahu. Hari ini mungkin saya hanya butuh teman untuk terus berteriak pada nurani; apakah di dalam sana kamu masih berfungsi? Teman yang terwujud dalam rasa pahit minuman hitam ini, yang berembun seiring dengan es yang melebur bersama kopi. 

Besok, mungkin saya akan menangis lagi, untuk hal-hal yang tidak terduga, untuk hal-hal yang terlihat jauh dari jangkauan namun ternyata hanya berjarak satu hasta dari genggaman, atau untuk sebuah tamparan telak kesadaran bahwa semua kehidupan akan bermuara pada kedalaman dua meter di bawah tanah kuburan. Lusa? Satu minggu ke depan? Sepuluh tahun mendatang? Siapa yang tahu. Saya cuma berharap agar Tuhan mau bermurah hati menjauhkan saya dari dosa dan rasa sesal yang pasti mengiringi, juga americano yang mungkin sudah bosan menyaksikan saya termenung tanpa arti.
Share: