Tuesday, September 13, 2022

Jakarta dan artinya


Selamat malam, Jakarta.

Kota yang megah dan bisingnya tidak pernah berhenti. Tidak juga pada jam 3 pagi, saat aku menatap Jembatan Semanggi dari ketinggian hampir 100 kaki. Kota yang bergerak cepat, seperti langkah kaki para penghuninya beberapa jam lagi; diburu waktu dan alat transportasi yang acap kali telat tidak tahu diri. 

Kerasnya Jakarta hanya untuk orang-orang kuat, kata mereka, atau untuk yang terpaksa mencari nafkah demi memperpanjang jarak dari rundungan nestapa. Pukul 6 pagi nanti, mobil-mobil akan berjajar seperti koleksi mobil mainan dari atas sini, maju setengah meter demi setengah meter menuju gedung-gedung pencakar langit di pusat ibukota.

Setelah 25 tahun bersama, aku pergi menjauh dari kamu. Bukan karena sudah bosan, namun karena keharusan. Tapi aneh, bukannya lega, aku malah rindu. Pada kegilaan orang-orangnya, pada wajah-wajah asing yang ditemui di kereta pagi tujuan kota, pada rutinitas menjemukan yang memuakkan.

Aku menemukan rumah, pada sebuah rumah kecil bertingkat dua di timur Jakarta. Pada senyum-senyum penghuninya yang tetap ada meskipun hari itu mendung bertengger di ujung nusa.
Aku menemukan nyaman, pada kemacetan yang seringkali dikeluhkan massa.
Aku menemukan Jakarta, kota yang besarnya bahkan tidak sampai sepertiga Pulau Jawa, menjadi satu bagian dari diri yang lebih besar dari sekadar kata.
Share:

Sunday, June 5, 2022

Dosa, Tangis, dan Americano

Beberapa hari ini, saya banyak menangis. Menangisi pekerjaan, dosa-dosa, juga berita duka di luar sana. Saya menangis karena kesal dengan atasan, menangis karena penyesalan yang selalu datang belakangan, juga karena berita kehilangan. Saya menangis untuk hal-hal yang ada di luar kuasa saya, menangis untuk hal-hal yang juga ada dalam kontrol saya, juga menangis untuk satu keluarga yang jika dibilang bersinggungan pun hanya sebatas tahu nama.

Hidup saya aneh; saya sadar berdosa tapi tetap melakukannya. Lalu kemudian saya menangis; keras, deras, seperti orang tidak waras. Kali lainnya saya menangis, meratap minta ampun, namun tetap tergoda masuk pada perangkap setan dan hawa nafsu. Pada ego yang menyerah pada keinginan id, dan ketika dirinya kembali mengambil alih, superego sudah lebih dulu datang menghakimi. Kemudian kembali ke awal, berputar lagi. Pada setiap putaran, satu pertanyaan yang sama muncul dalam pikiran: apa yang sebenarnya kamu mau?

Diri saya aneh; satu waktu saya menangis begitu keras untuk orang lain, di lain waktu saya bisa bergeming diam, dingin, seperti tidak punya hati. Pada satu malam, saya menangis iri melihat betapa hamba-hamba Tuhan begitu gigih dalam meminta, dan Dia membalasnya dengan kebahagiaan tak terkira. Pada malam lainnya, saya berdecak bingung tak habis pikir, bagaimana Tuhan mampu memberikan ujian seberat itu pada hamba-Nya yang kata-Nya dicinta. Pikiran yang kemudian berputar lagi, hari demi hari. Pada setiap putaran, satu pertanyaan lagi muncul dalam pikiran: apa yang kamu tahu tentang semesta, wahai makhluk fana?

Hari ini hari minggu. Ada pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan, namun saya malah memilih memesan 2 gelas americano pada aplikasi daring pesan antar. Jika saya belum pernah bilang, americano adalah kenyamanan saat saya sedang tidak baik-baik saja. Jangan tanya kenapa karena saya pun tidak tahu. Hari ini mungkin saya hanya butuh teman untuk terus berteriak pada nurani; apakah di dalam sana kamu masih berfungsi? Teman yang terwujud dalam rasa pahit minuman hitam ini, yang berembun seiring dengan es yang melebur bersama kopi. 

Besok, mungkin saya akan menangis lagi, untuk hal-hal yang tidak terduga, untuk hal-hal yang terlihat jauh dari jangkauan namun ternyata hanya berjarak satu hasta dari genggaman, atau untuk sebuah tamparan telak kesadaran bahwa semua kehidupan akan bermuara pada kedalaman dua meter di bawah tanah kuburan. Lusa? Satu minggu ke depan? Sepuluh tahun mendatang? Siapa yang tahu. Saya cuma berharap agar Tuhan mau bermurah hati menjauhkan saya dari dosa dan rasa sesal yang pasti mengiringi, juga americano yang mungkin sudah bosan menyaksikan saya termenung tanpa arti.
Share:

Tuesday, May 17, 2022

Tujuh Belas

    Kembali lagi dengan tulisan hampir tengah malam ketika lelah tetap mendera meski libur tiga hari telah dilewati; libur yang tidak hakiki. Baru saja menyelesaikan pekerjaan lainnya setelah rapat daring beberapa jam yang lalu. Sejak bekerja, rasa-rasanya mudah sekali breakdown dan burn out, sampai-sampai mungkin pergi ke psikolog atau psikiater jadi opsi yang tidak lagi terlihat sulit dipilih. Semakin dewasa, semakin banyak pilihan yang diambil juga tanggung jawab yang diemban. Pilihan-pilihan penuh resiko maupun tanggung jawab besar yang seringkali masih dipertanyakan kenapa dibebankan pada kedua pundak ini. Kalau sedang lelah begini, memang rasanya ingin sekali kembali jadi anak kecil yang belum mengerti banyak hal, jadi anak kecil yang masih dimaklumi untuk banyak bertanya tanpa harus dihakimi kenapa tidak berhenti mencari jawabnya.

    Kemarin, untuk kesekian kalinya, saya sampai pada titik ketika saya tidak ingin melakukan apa-apa lagi selain tidur dan menangis. Kemudian, tiba-tiba daftar putar saya memutar lagu Tujuh Belas dari Tulus. Ketika sampai pada bagian "Sederas apa pun arus di hidupmu, genggam terus kenangan tentang kita. Seberapa pun dewasa mengujimu, takkan lebih dari yang engkau bisa.", air mata saya turun begitu saja. Wow, this hits the right spot accurately. Menonton video klipnya kemudian tidak membantu tangis saya berhenti sama sekali, malah turun semakin deras. Melihat anak-anak sekolah dengan seragam berlarian ke sana ke mari dengan tawa di wajah mereka membuat saya bertanya-tanya, apakah saya juga pernah terlihat sebebas itu?

    Mungkin iya, mungkin juga tidak. Jujur saja, saya mengakhiri masa SMA dengan tidak begitu gembira, apalagi dengan teman-teman di sekolah. Jika boleh memilih, mungkin teman-teman dunia maya lah yang membuat saya lebih bahagia. Teman-teman yang saat ini entah berada di mana karena kami sudah berpisah jalan dan saya hanya bisa mengingat waktu-waktu itu sebagai kenangan.

    Tujuh belas adalah usia batas ketika seragam sekolah akhirnya ditanggalkan dan diri melangkah menuju satu dunia baru bernama kedewasaan. Dunia yang pada awalnya terlihat biasa saja, namun ternyata 180 derajat berbeda. Dunia ketika harapan dan realita seringkali tidak sejalan. Dunia ketika mimpi-mimpi seringkali harus dalam-dalam dikuburkan.

    Cara saya melihat dunia saat ini mungkin salah, karena saya sedang lelah. Cara dunia melihat saya saat ini juga pasti tak kalah menyakitkan. Saya belum jadi siapa-siapa dan mungkin tak akan jadi siapa-siapa. Mungkin juga akan begitu saja dilupakan. Tapi, hingga tiba di garis akhir nanti, semoga diri ini tetap kuat berdiri meski kenangan yang harusnya bisa digenggam dengan menyenangkan, malah berakhir menyakitkan. Semoga semua ujian yang sedang berjalan hanya akan jadi bukti seberapa tangguh diri ini bertahan. Semoga.
Share: