Monday, June 10, 2019

Riil vs Abstrak

“Impian ada di tengah peluh
Bagai bunga yang mekar secara perlahan
Usaha keras itu tak akan mengkhianati

Impian ada di tengah peluh
Selalu menunggu agar ia menguncup
Suatu hari pasti sampai harapan terkabul 

Impian setelah air mata
Bunga senyuman setelah tangis berhenti
Kuncup yang berusaha keras pun akan mekar

Impian setelah air mata
Ku percaya takkan kalah dari angin hujan
Sampai doaku mencapai langit cerah”

Beberapa bait lirik lagu dari JKT48 yang berjudul Shonichi (Hari Pertama) terus terngiang-ngiang di telinga saya beberapa hari terakhir. Bukan cuma karena adik lelaki saya yang memutar lagu tersebut berulang-ulang, namun juga karena setelah didengarkan dengan cermat, lagu ini amat menampar saya.
Sejak beberapa tahun lalu, saya seringkali berpikir menjadi idol adalah salah satu mimpi paling riil yang bisa dicapai seseorang. Audisi, latihan, latihan, latihan, hingga akhirnya bisa debut. Lelah, tapi pasti terbayar. Coba bayangkan punya mimpi yang begitu nyata dan dapat digapai seperti dalam lagu ini, bukan abstrak seperti milik saya. 
Haha, sungguh, punya mimpi menjadi orang baik mungkin hanyalah excusesaya agar dibilang masih punya mimpi. Lagipula orang baik punya banyak sekali indikator. Tak ada baik yang absolut dari segi pandang manusia. Baik bagi saya, belum tentu baik untuk kamu. Pun sebaliknya.
Sejauh ini, saya hanya punya satu mimpi riil : melanjutkan kuliah master di luar negeri dengan beasiswa. Iya, hanya itu.
Kenapa harus kuliah lagi? I lack in so many thingsI need to learn more. Saya masih bodoh.
Kenapa harus di luar negeri? Out of comfort zone. Not gonna be easy, I know. But this is the probably the only chance I got to strive and grow.
Tapi tahukah apa pertanyaan besar yang datang setelahnya? Setelah kuliah master terus mau jadi apa? HAHAHA. Sesungguhnya saya belum punya jawaban untuk pertanyaan ini.
Pasti menyenangkan punya mimpi riil yang benar-benar bisa diusahakan dan punya indikator keberhasilan. Mungkin…..saya harus memperkecil ruang lingkup mimpi abstrak saya lagi agar bisa diterjemahkan di hari-hari yang akan datang. Entah kapan. Mungkin besok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau bahkan tahun depan, saya serahkan saja pada semesta. Atau malah, saya harus mulai memikirkan mimpi yang baru?
Purwokerto, 10 Juni 2019
Share: