Sunday, January 21, 2018

Fullmetal Alchemist: Brotherhood Review



Hiyaaa here I come again with the anime review!!!! It's a first-ranked anime on MAL that me myself has to acknowledge that it deserves the spot : Fullmetal Alchemist Brotherhod aka FMA-Brotherhood. This anime was first broadcasted in 2003, with Fullmetal Alchemist as the title. Then there was a remake for that version, which was this one, aired in 2009. Some who have watched both versions said the first one felt rushed and not according to the manga, while this one was exactly based on it. As an anime-only fan, I can't give any comments on that. Lol.

Okay, to start it all, I don't want to watch this at first, to be very honest. The reason? Because for god's sake, IT FREAKING HAS 64 EPISODES!!!!!! How the hell did I end up watching this? Thanks to the huge curiousity of how-good-an-anime-sitting-on-MAL's-first-place-could-be and the jobless me, I finished this in only 4 days. Yea, I got no life, I freaking knew it.

This story tells about two brothers, Edward and Alphonse Elric, who could perform alchemy. With the basic rules of you get as much as you give; the Law of Equivalent Exchange. And as there's always "but" in every thing, this law could be overcome using the Philosopher's Stone.

Well, let's skip to the basic questions to help me writing the summary.
  • What robot is it in the poster? It's not a robot. It's Alphonse. The main character.
  • Why is he a robot? There's no science-fiction genre tagged with this anime? [spoiler] It's only his soul affixed to the armor.
  • How could he affix the soul? And why? [spoiler] They performed one forbidden act in alchemy, the human transmutation.
Okay I do give up writing the summary. I can't do that without giving you any spoiler sigh sorry!

What I love about this anime : the brothers relationship (they love and rely on each other's so much), each one with their own strong characters (one is so strong-witted and gets worked up easily while the other one is softer and more cold-headed). Also the plot and how side characters are giving impacts as powerful as the main characters.

After taste
  • Seriously, what is trust? YOU CAN'T TRUST ANYONE IN THIS ANIME I TOLD YA
  • Anticipate the tear-jerking and heart-wrenching scenes! Do prepare a box of tissues!!!!! I was just on episode 4 and I cried already /sobs/
  • Calling all Roy/Riza shippers! God damn it, this two really need to get married! THEY ARE BEYOND CUTE!!! GET A ROOM ALREADYYYY
  • You'll be easily hooked with the side characters and the villains!
Best part : "The Colonel always calls me Riza when we're alone together" the line that got me screaming so loud (glad I didn't flip my laptop down lol)

Rating : 10/10! Cast aside the ship and bias, this anime really deserves its top spot! I'll definitely rewatch this again someday!

Well, although this review sucks, I just feel that I have to write this because it touched me a lot in my soft spot and I can't let it slide just then. See you on another (terrible) review!
Share:

Waktu Milik (Kita) Sendiri

AllĂ´! Setelah sebulan lebih tidak mem-posting sesuatu (walaupun draft-nya ternyata ada lumayan banyak), here I am!

Pertama, untuk update kondisi terbaru kesehatan fisik saya, saya (cukup) baik-baik saja. Alhamdulillah.
Kedua, untuk update kondisi terbaru kesehatan mental saya, masih diusahakan baik-baik saja. Insya Allah.

Jika kalian bertanya-tanya kenapa harus dirinci dengan kedua poin di atas, jawabannya karena tidak semua orang sehat di keduanya. Dengan beberapa kejadian belakangan ini, saya semakin aware bahwa kesehatan keduanya amat lah penting, bahkan berkaitan. Oke, cukup sampai disini dulu tentang kesehatan fisik dan mental.

Pada postingan kali ini, saya ingin bercerita tentang apa-apa yang terjadi selama sebulan lebih saya menghilang. Mencari pekerjaan tentu lah masih menjadi list pertama saya saat ini. Iya, jika kalian penasaran apakah saya sudah bekerja sekarang, jawabannya belum. Yah, belum full time. Long story short, saya bekerja freelance di salah satu gedung di daerah Tebet. Dengan semua plus minusnya. Namun, bukan itu sebenarnya yang menjadi titik berat tulisan ini, tapi kejadian-kejadian diantaranya.

Saya punya seorang teman, sebut saja teman A, yang sampai bulan lalu masih menjadi pengangguran seperti saya, berkeluh kesah akan susahnya mencari pekerjaan, hingga sekarang sudah bekerja di salah satu kementerian. Kemiripan saya dan teman A ini, kami berdua sudah melamar kesana sini namun yang diterima hanya dia. Saya juga punya seorang teman lain, teman B, yang baru saja menyelesaikan kontraknya dengan salah satu konsultan GIS dan bercerita akan kekhawatirannya menganggur. Padahal menurut saya, dia belum benar-benar merasakan apa itu menganggur (anggur/ang·gur/menganggur/meng·ang·gur/ v tidak melakukan apa-apa; tidak bekerja) karena tidak lama setelahnya (tidak sampai sebulan!) dia langsung mendapat pekerjaan baru. Kondisinya, saya melamar juga di tempat si teman B melamar, dengan banyak kemiripan akan kesalahan saat pendaftaran namun ternyata dia diterima dan saya tidak. Kok bisa?

Pertanyaan "kok bisa" ini yang sering menghantui saya, sejujurnya. Bagaimana tidak, rasanya-rasanya kok hanya saya sendiri yang ditinggalkan? Semua teman-teman terdekat saya sudah mendapatkan pekerjaan tetap pertamanya dan malah sudah berganti tempat kerja yang lain. Sementara saya masih disini saja, diam tidak beranjak dari tempat saya berada. Sungguh, jika bukan karena sepenuhnya meyakini bahwa Tuhan saya tentu memiliki rencana yang lebih baik lagi di waktu yang lain, mungkin saya sudah pergi ke psikiater. Hahaha, mungkin terdengar berlebihan ya, namun percayalah bahwa menyaksikan teman-temanmu melangkah lebih dulu ke jenjang kehidupan berikutnya dengan kamu yang tetap diam di tempat bukanlah hal yang menyenangkan.

Saya, hingga detik ini, masih terus berusaha meyakini sebuah tulisan tentang konsep waktu milik diri kita sendiri. Yaitu sebuah konsep dimana waktu yang kita jalani adalah milik kita, dan hanya kita sendiri, sehingga kita tidak perlu mengukur pencapaian diri sendiri dengan parameter milik orang lain. Tidak ada kata terlambat dalam pengukuran waktu ini. Jika sesuatu memang sudah ditakdirkan datang, maka ia akan datang. Jika belum, maka waktunya belum tepat. Maka, tunggu. Nah, masa-masa menunggu ini adalah masa-masa yang rentan untuk melemahkan iman, menggerus keyakinan, dan mempertipis kepercayaan pada Yang Maha Segala. Ah, memang dasar manusia.

Inti dari postingan ini sebenarnya adalah untuk mengingatkan (dan menghibur) diri sendiri (dan kalian semua) bahwa mungkin waktu kita untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan belum tiba. Dalam kasus saya, waktu saya untuk bekerja, atau Allah masih ingin melihat seberapa keras lagi saya akan berusaha, atau justru saya tidak diberikan pekerjaan tetap untuk memberikan jalan bagi saya mengejar mimpi-mimpi yang lain. Who knows? Hehe meski sekali lagi, ini semua adalah tentang keyakinan untuk percaya pada tiap keputusan-Nya, dengan ikhlas dan ridho. Yaaah, jika kamu sudah tidak bisa yakin dan percaya pada Tuhanmu sendiri, pada siapa lagi kamu bisa yakin dan percaya?
Share: