Di tengah-tengah segala kesibukan semester akhir yang rasanya semakin menekan, terselip undangan-undangan pernikahan teman dan kakak kelas. Wah ternyata saya sudah menginjak umur 20-an, waktu-waktu dimana kamu mulai melihat teman-temanmu satu demi satu memperkenalkan calon rekan seumur hidupnya, atau istilah bekennya, pacar.
Saya tidak tahu apakah memiliki pacar pada umur segini memang perlu, sekadar untuk menemani pergi kemana-mana atau minimal jadi supir kamu. Saya juga tidak tahu apakah memiliki pacar dianggap sebagai parameter “lakunya” seorang perempuan atau tidak, namun yang pasti teman-teman saya sering merasa gelisah (walau dalam bentuk candaan) karena belum ada seorang lelaki pun yang mendekati dan berminat “menembak” mereka. Saya hanya tertawa menanggapi candaan mereka.
Saya bukan tipe perempuan yang pusing dengan hal-hal remeh tentang pencarian pacar. Buat saya, pacaran malah tampak sia-sia. Kenapa? Karena ikatannya rapuh, tidak pasti, tapi sudah ‘sok’ bersifat mengikat. Belum lagi segala tetek bengek tentang harus memberi kabar setiap jam, sedang ada dimana, dengan siapa, dan berbuat apa. Lama-lama jadi lagu kangen band, hehe. Ketika saya berkata begitu pada teman-teman saya yang memiliki pacar, mereka pasti akan berkata “ya lo nggak pernah pacaran aja. Nggak pernah ngerasain rasanya diperhatiin terus-terusan.” Jika mau su’udzon, mungkin belakangnya ditambahkan “kasian deh lo!” dalam hati masing-masing. Hehehe.
Bukannya saya tidak pernah berpikir bagaimana rasanya punya pacar, saya pernah. Sering malah. Namun berapa kali pun dipikir, saya tetap tidak menemukan sisi yang membuat saya berubah pikiran bahwa pacaran adalah hal yang “wah” sehingga mampu membuat saya berdoa “aku mau punya pacar ya Allah, please?”. Saya sering sekali membayangkan jika saya punya pacar, akan bagaimanakah sikap saya, apakah saya akan melakukan hal-hal yang saya pikir menggelikan sebelumnya, ribet bertanya ala lagu kangen band pada pacar saya, melarang pacar saya dekat dengan wanita lain, pergi setiap malam minggu dengan motor bersama pacar saya dengan posisi duduk yang menempelkan dada dengan punggung pacar seolah tak ada ruang lagi disana, atau pergi dengan mobil berdua saja. Hasilnya? Saya malah bergidik. Lagi dan lagi. Terlihat salah dan terbayang salah. Bahkan tidak jarang justifikasi pacaran dianggap cukup untuk melakukan hal-hal yang lebih dari itu. Duh na’udzubillah.
Pada akhirnya, saya tetap lebih memilih untuk menunggu yang pasti. Walaupun entah kapan datangnya, hahaha. Modalnya yakin pada Tuhan saya yang Maha Mengetahui, Allah azza wa jalla. Karena status “punya pacar” saja buat saya belum cukup mengikat secara kuat dan menyeluruh. Pacar masih bisa kabur, karena kita tidak tahu kapan hati orang berubah kan? Saya tidak bermaksud meng-imply kalau yang sudah menikah hatinya tidak bisa berubah, hanya saja menikah menunjukkan keseriusan yang berlangkah-langkah lebih maju dibandingkan hanya sekedar pacaran. Menikah berarti melibatkan banyak pihak, bukan cuma 2 pihak yang bersangkutan, sehingga jika pun ‘bubar’, keputusan bisa berkali-kali dipikirkan sebelumnya.
Hehe, lagi-lagi tulisan random ya. Well, this is stating my statement about this whole “pacaran” thingy.
Selamat menunggu yang pasti-pasti! Jangan lupa sambil memperbaiki diri :)