They said, bakso adalah makanan rakyat Indonesia. Sejauh ini, selama pergi kemana-mana saya selalu menemukan penjual bakso, atau mungkin saya hanya belum pergi terlalu jauh. Terlepas dari rasa enak atau tidaknya, kita ternyata pernah makan bakso, walau cuma sekali.
Jika untuk orang-orang bakso hanyalah sekadar makanan, buat saya dan keluarga, bakso juga sekaligus menjadi barang pengingat kenangan. A commemorative food to commemorate my grandfather. Beliau dulunya adalah seorang penjual bakso keliling, berjualan untuk menghidupi kedua anaknya (yang mana adalah ibu dan paman saya) agar bisa tetap sekolah. Beliau adalah seorang yang pendiam dan cenderung cuek, namun baik hati. Perhatian-perhatiannya ditunjukkan dengan gestur-gestur kecil seperti pertanyaan mau makan atau tidak jika kami ada di rumah juga menawari permen dari kantong plastik kemeja batiknya tiap kami bepergian. Saya masih ingat ketika dulu beliau masih membawa sepeda dengan kedua keranjang besar di belakangnya ke pasar dan saya masih bisa masuk ke dalamnya untuk ikut ke pasar, rasanya malu dan menyenangkan. Malu karena ditatap orang-orang yang lewat (anak kecil di keranjang tertawa kegirangan, who wouldn't notice eh?) tapi juga senang karena bisa main-main ke pasar. Ah, bahagia rasanya begitu sederhana.
Setelah memiliki cucu, mbah akung (mbah kakung-kakek, jawa) sudah tidak berjualan bakso dengan menggunakan gerobak lagi. Beliau berganti membuka toko kelontong di rumah serta berjualan gorengan di pagi hari. Bakso hanya dibuat jika ada pesanan. Bakso yang dibuat mbah akung saya terasa paling enak, karena memang begitu kenyataannya. Hahaha, setidaknya setiap kali saya makan bakso tidak pernah ada yang seenak buatannya. Rasa-rasanya dulu saya lebih sering makan bakso di luar hanya untuk membandingkan rasanya dengan rasa bakso si mbah. Sekarang setelah beliau pergi, saya sudah sangat jarang makan bakso di luar. Entah faktor bosan, atau karena saya tahu tidak ada yang seenak bakso buatan mbah akung. Saya baru makan bakso lagi di warung kecil beberapa minggu yang lalu bersama teman-teman waktu saya menyadari bahwa saya sudah lama tidak makan bakso di luar rumah. Saya masih makan bakso, tapi bakso bikinan rumah, yang dibuat ibu dan ayah saya dengan bumbu racikan mbah uti (mbah putri-nenek, jawa) sehingga rasanya masih sama dengan buatan mbah akung.
Sudah hampir 3 tahun beliau pergi, namun rasanya saya masih kangen beliau. Masih juga menyesali kenapa dulu tidak langsung menemui beliau di rumah sakit setelah pulang kuliah, jika ternyata malam harinya beliau berpulang. Hehe, saya jadi sebel sama diri saya sendiri kalau ingat itu. Tapi ya, mungkin memang sudah seharusnya seperti itu. Mbah akung, semoga baik-baik ya disana. Semoga kuburnya lapang dan terang. Allahummaghfirlahu warhamhu wa 'aafihi wa'fu 'anhu. Aamiin.