Saturday, January 23, 2016

Life's Great Loss

Every soul must taste of death and We try you by evil and good by was of probation; and to Us you shall be brought back. (QS. Al-Anbiya: 35)

I'm wondering how people could survive when one of their primary family member is gone forever. Saya sendiri masih tidak siap ditinggal pergi. Hidup satu atap dengan orang yang sama selama bertahun-tahun, membuat seseorang terbiasa dengan kehadirannya, dan jika dia tidak ada, ruang kosong tersebut akan sangat terasa.

Jika saya ditinggal pergi nanti, saya mungkin akan mengurung diri di kamar berhari-hari, sampai saya lelah dan tak bisa menangis lagi. Saya tahu, menangisi kematian seseorang bahkan berhari-hari sesudahnya tidak baik, namun harus bagaimana jika mata dan hati tidak mau berkompromi dengan logika? Saya jadi teringat ketika ibu dari salah seorang teman kuliah saya meninggal. She was strong, really, like I didn't even see her crying on that day. Hal yang membuat saya membatin, "gilak kalo gue jadi dia, gue nggak bakal keluar kamar kayaknya mah. Nggak sanggup." Tapi mungkin cintanya pada Allah dan ibundanya lah yang membuatnya setegar itu. Tahap yang sampai sekarang pun, rasanya belum mampu saya capai. 

Tapi ternyata, dia tetap menangis. Berminggu-minggu setelahnya, di satu kesempatan ketika saya dan dia berbicara berdua. Mengenang seseorang yang sudah tidak lagi ada di sisi memang menyebalkan, juga menyakitkan. Di sisi lain, orang-orang yang telah pergi tidak mampu hidup lagi selain dalam kenangan orang-orang tersayang.

Mungkin ini sebabnya saya tidak ingin ditinggal. Lebih baik saya yang meninggalkan, karena terdengar lebih baik dibandingkan dengan melanjutkan hidup tanpa orang-orang tersayang. Egois, memang. Memaksakan kehendak untuk selalu ingin senang. Namun, bagaimana lagi, saya merasa tidak mampu menatap ruang-ruang kosong yang dulunya terisi tanpa harus menangis. Saya merasa tidak mampu bergerak tanpa harus mengingat orang-orang yang dulu ada di sisi. Terdengar sangat menyedihkan, bukan? Tapi, jika nanti saya benar-benar ditinggal pergi, semoga Allah berbaik hati memberikan orang-orang yang mampu menopang diri saat yang tersayang tak lagi di sisi. Aamiin.



Post Posting Additional Notes:
Pada akhirnya, saya harus ingat bahwa tak ada yang benar-benar dimiliki diri sendiri. Semuanya akan kembali pada Yang Maha Menciptakan, Allah Azza wa Jalla. Jika sudah begitu, saya tak berhak sedih lagi kan? Semuanya cuma titipan.
Share:

Friday, January 22, 2016

Halo, 2016!

Time flies, and life goes on. New year, new journey, new term to be passed on.


Saya membatalkan banyak rencana berpergian, meski pada kenyataannya saya butuh pergi. Sudah hampir 6 bulan terakhir, mata saya tidak melihat hutan dan jalan berkontur curam untuk dijajaki, tidak juga mencium bau khas keringat yang didapat setelah menapaki tanah-tanah vulkanik dataran tinggi. Tadinya saya berpendapat bahwa liburan kali ini cukup dilakukan di rumah, meruntuhkan tembok pertahanan diri, merenung, dan menangis sejadi-jadinya tentang semua hal yang terjadi di bulan-bulan sebelumnya untuk kemudian membangun kembali tembok pertahanan yang baru. Namun ternyata, saya salah. Saya memang berhasil meruntuhkan tembok itu, merenung, juga menangisi semua hal yang saya sesali, namun untuk membangunnya lebih kuat dari sebelumnya mungkin saya butuh untuk pergi. Seolah-olah ia berfungsi sebagai perekat yang penting bagi tembok pertahanan saya.

Hampir satu bulan terakhir, saya menonton banyak tontonan yang mungkin tidak biasanya saya tonton. Anime dan drama Jepang dengan berbagai genre. Ini merupakan suatu hal yang baru, mengingat sebelumnya saya hampir tidak pernah menonton dorama. Well said, a new thing to start a new year.

Di liburan kali ini juga, saya banyak menimbang-nimbang tentang keinginan melanjutkan belajar ke luar negeri. Apakah saya ingin langsung apply sebelum lulus, atau malah bekerja terlebih dahulu. I honestly might want to work first, mengingat mungkin pengalaman dibutuhkan ketika berada jauh dari keluarga. Tapi satu sisi diri saya yang lain masih terlalu takut, takut akan kehidupan nyata yang harus saya hadapi saat bekerja nanti. Maka cara terbaik untuk lari sementara dari kenyataan adalah dengan mendapatkan beasiswa lanjutan belajar ke luar negeri. Tidak, saya tidak sepenuhnya percaya pada kemampuan berbahasa saya, karena banyak orang di sekitar saya dengan kemampuan yang lebih mumpuni, yang saya sendiri pun terkadang iri. Lagipula, mengandalkan kemampuan berbahasa saja tidak akan banyak membantu. Mimpi ini masih sangat jauh dari jangkauan. Saya ingin membuatnya lebih dekat, namun hal pertama yang harus saya lakukan adalah menentukan pilihan; kerja atau langsung caw, dan keduanya sama-sama memiliki hal yang saya khawatirkan. Cari pekerjaan tidak segampang membalik telapak tangan, saya tahu itu. Namun belajar di negeri orang tanpa persiapan juga sama saja dengan masuk ke kandang harimau yang lapar. Ah Tuhan, tolong bantu hamba-Mu mendapatkan jawaban.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun saya tidak membuat resolusi pasti mengenai apa yang akan saya lakukan. Saya hanya akan berusaha untuk membuat mimpi-mimpi saya lebih dekat, entah bagaimana caranya. Yah, pada akhirnya saya hanya akan memikirkan satu langkah ke depan, bukan dua, apalagi tiga. Karena pada tiap satu langkah yang saya ambil adalah sebuah keputusan yang bisa saya syukuri atau malah sesali. Dan di tiap langkah tersebut, akan banyak terjadi hal-hal di luar perkiraan saya, entah itu baik atau buruk. And I will cherish them all heartily. 

Selamat datang 2016, semoga makin banyak hal-hal baik terjadi di tahun ini. Aamiin.
Share: