Senin, 5 Oktober 2015, saya
akan kehilangan satu lagi teman saya. Bukan, bukan untuk selamanya, hanya
sementara. Namanya Aldi Rizky Setiyawan, kini berhasil diterima di Akademi
Imigrasi (AIM) dari Departemen Hukum dan HAM setelah percobaan kedua kalinya.
Niatnya untuk menempuh pendidikan di sekolah kedinasan sesungguhnya patut
diacungi jempol, karena tetap tidak surut setelah gagal berulang kali di
berbagai instansi. Mungkin, tahun ini memang rezeki dan jalannya.
Memulai kehidupan baru di tempat
baru pastilah tidak mudah. Namun, jika itu Aldi, saya percaya dia bisa. Kami
menyebutnya botak, bibir, di al, apapun panggilan akrabnya. Seorang anak
laki-laki dengan badan tegap serta sikap tegas ala tentara, serta ucapan yang
kadang suka asal dan agak kasar, namun baik bahkan cenderung lembut jika
dihadapkan pada persoalan cinta. Saya kadang suka menertawakannya akan hal ini.
Satu hal yang saya salutkan dari Aldi adalah sebagian waktunya yang selalu
disempatkan untuk dua rakaat Dhuha.
Saya ingat saya pernah menangis
tiba-tiba di suatu Jumat pagi bulan Oktober tahun lalu. Waktu itu saya sedang
berada di kelas, mata kuliah Survey dan Pemetaan, ketika tiba-tiba perasaan
saya tidak enak dan tidak nyaman. Ada yang akan pergi, itu pesannya. Saya tidak
tahu siapa, kenapa, atau kapan seseorang itu akan pergi. Saya juga tidak tahu
kenapa saya bisa mendapatkan pesan itu. Tapi beberapa hari kemudian, saya tahu
Aldi mendaftar AIM untuk yang kedua kalinya. Saya kira pada awalnya dia akan
diterima, saya dan seorang teman saya sampai sering mengecek pengumuman di
websitenya. Namun, tidak. Aldi tidak pergi tahun kemarin. Saya jujur saja,
senang, meski Aldi pasti kecewa.
Beberapa bulan lalu, tiba-tiba Aldi
memberitahu saya bahwa dia mendaftar lagi. Terus terang saya kaget, namun
reaksi saya waktu itu hanya menegaskan kembali pernyataannya sebelum
mendoakannya berhasil. Kali ini saya mungkin lebih siap melepasnya pergi. Maka
tes demi tes yang dijalaninya terus berlanjut, dengan pertanyaan rutin “Gimana
Di? Lolos?” dari saya. Dengan jawaban “Alhamdulillah, Jah” yang terus menerus pula.
Kali ini, doa saya tulus. Jika memang rezekinya, pasti Aldi diterima. Dan benar
saja, saat itu datang. Ketika Aldi mengabarkan bahwa dia diterima, saya
tersenyum kecil mengingat perjuangannya yang akhirnya berbuah manis. Namun
tetap, ada ruang kosong yang tercipta darinya.
Aldi, pada akhirnya akan pergi.
Saya akan sangat merindukan laki-laki ini. Saya senang dia pada akhirnya bisa
menggapai jalan menuju impiannya, namun juga sangat sedih mengingat saya tidak
akan melihatnya lagi di hari-hari selanjutnya. Take a good care, Al! See you when I see you.