Wednesday, June 10, 2015

Bapak dengan Riasan dan Radio Tape; Satu Bahan Renungan di Sore Hari

Sebenarnya sejak beberapa hari kemarin, saya ingin menulis review untuk sebuah buku yang saya baca. Namun, saya tunda karena saya masih harus ikut ujian akhir semester. Dan sekarang, ketika kesempatan itu datang, saya malah ingin menulis tentang hal lain.


Beberapa saat yang lalu, hari ini, Rabu 10 Juni 2015, saya melihat sesosok laki-laki yang berjalan di depan rumah saya. Langkahnya agak terseok, dengan muka penuh riasan yang sudah agak luntur dan sebuah radio tape yang mengalunkan entah melodi apa di lehernya. Umurnya tak lagi muda, pun mungkin belum cukup untuk dibilang sudah uzur. Entah apa yang menahan saya, namun saya yang baru saja tiba di rumah dan turun dari motor tetap berdiri menatapnya yang lewat di hadapan. Tadinya saya kira beliau akan berhenti melihat saya yang bergeming di depan pagar, untuk mengamen. Namun, beliau hanya menoleh sekilas dan melanjutkan berjalan. Saya, entah kenapa,  juga tetap berdiri menatap punggungnya yang berjalan menjauh.

Rasa-rasanya saya ingin menangis. Melihat matanya yang tidak malu sedikitpun berjalan dengan wajah penuh riasan, membuat saya sadar bahwa walau dengan cara seperti itu, beliau juga sedang berjuang untuk bertahan hidup. Entah untuk diri sendiri, atau untuk menghidupi keluarganya. Tatapannya sama sekali tidak menyiratkan sorot minta dikasihani. Melihat cara berjalannya yang tidak sempurna, mau tak mau saya tertohok juga. Mencari nafkah dengan kondisi fisik tidak sempurna bukan perkara mudah, tapi toh beliau tetap melakukannya. Sementara banyak orang-orang dengan fisik sempurna nan indah tidak mempergunakannya dengan baik. Saya jadi harus mengingatkan diri saya sendiri untuk terus bersyukur dengan apa yang saya punya. Karena sesungguhnya bersyukur itu mudah sekaligus sulit. Mudah karena dengan mengingat Allah di tiap kegiatanmu, kamu sudah bersyukur. Sulit karena kadang nikmat tersebut terasa bukan datang dari Allah melainkan hasil usahamu sendiri, akibatnya lupa disyukuri.

Melihat beliau, saya jadi merasa malu dan takut. Malu karena terkadang saya masih malas dan tak mau berusaha lebih keras, juga takut lupa bersyukur akan nikmat. Duh Allah, memang banyak yang lulus ujian kegagalan, kemiskinan, dsb namun saat diuji dengan nikmat.....ia lewat. Maka, nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang kau dustakan? :'''
Share: