Sunday, July 27, 2014

Ied Mubarak

Ramadhan sudah menemui penghujungnya. Satu bulan berlalu begitu saja. Tanpa ada apa-apa. Padahal seharusnya satu bulan lalu itu merupakan satu bulan yang istimewa; Ramadhan Kareem, siapa yang dapat menjamin aku masih dapat menemuinya tahun depan? Tapi sungguh, Ramadhan tahun ini terlalu sepi. Suasananya pun tak kental terasa seperti biasanya, tertutupi oleh bisingnya kampanye para calon pemimpin bangsa. Toh pada akhirnya pemilu tetap berlangsung ricuh dan banyak suara-suara yang kabarnya diselewengkan. Lantas apa yang kita dapat? Merugi keduanya bukan?

Entahlah, bagaimana rasanya mengganti rasa bersalah ini. Rasanya tidak benar, hampa. It's like you had been fasting for a month but get nothing? Hanya seperti puasa pada hari biasanya, bedanya dengan durasi lebih lama. Lalu dimana istimewanya? Duh Allah, apa yang salah? Kampanye pilpres? Orang-orang yang haus tahta itu? Suasana Ramadhan yang tak terasa? Atau justru..... Aku?

Besok Syawal dimulai, kata mereka kita menang. Entahlah, aku tak tahu apa yang aku menangkan, atau apa aku benar-benar menang. Aku rindu Ramadhan, benar-benar rindu semuanya. Semua kebiasaan-kebiasaan, suasana hangat saat bercengkrama, malam-malam itikaf di masjid-masjid yang beragam, Mbah Akung yang pergi tarawih, juga rasanya sekolah saat puasa. Ah, tapi nyatanya tak kutemui semuanya di Ramadhan kali ini. Yang kutemui hanya buka puasa-buka puasa bersama yang sering kehilangan arti, rumah kosong yang tak punya kegiatan di pagi harinya, juga program-program TV penuh pesan dukungan pada para calon. Barangkali yang menang pada bulan Ramadhan kali ini hanya sang calon terpilih, bukan aku, juga bukan kita.
Share:

Tuesday, July 1, 2014

Diri

Rasa-rasanya sudah terlalu lama seperti ini. Jadi orang lain yang tak mau menengok diri sendiri. Duh, apa tumbuh besar memang begini? Berjalan sesuai tuntutan keadaan yang menyelimuti, bersikap layaknya ditusuk duri; sakit, dan karena itu harus dituruti.

Rasa-rasanya ingin kembali saja. Jadi anak kecil yang hanya perlu diusap bunda jika jatuh, hanya perlu diajak berkeliling untuk tidur, pun hanya perlu diberikan permen jika menangis. Duh, apa tumbuh besar memang begini?

Toh tumbuh besar bukan jaminan jadi dewasa. Toh tumbuh besar hanya proses alam untuk meregenerasi manusia; besar, tua, kemudian mati. Toh tumbuh besar hanya sebuah proses fisik yang fana.

Karena nyatanya jadi dewasa lah yang sulit. Mendewasakan diri; memperbaiki pola pikir yang sudah terlanjur terbentuk, memandang masalah dari sudut pandang yang berbeda, menghadapi lingkungan yang tak pernah sama. Hingga kadang jadi api yang memakan diri sendiri. Hancur, lebur, jadi abu, dan diterbangkan angin entah kemana.

Duh diri, jika kamu memang sudah mati, paling tidak tinggalkan benihmu disini. Siapa tahu kelak ia jadi persis  seperti kamu. Menjelma jadi diriku sendiri yang telah lebih dulu lebur jadi abu. 
Share: