Monday, June 30, 2014

Sumbing - Solo - Jogja


Traveling, a word for those who wander much. Ibn Battuta said that travel leaves us speechless then turns us into storyteller. Ya, karena sebuah perjalanan akan selalu membawa cerita. Karena setiap perjalanan akan mengambil sedikit bagian dari hati untuk tinggal. Karena kita sebenarnya tak pernah benar-benar pulang.

Masih dalam rangkaian acara prasyarat menjadi anggota GMC UI, saya dan teman-teman lainnya diminta membuat database Gunung Sumbing di Wonosobo, Jawa Tengah melalui 3 jalur; Jalur Tedeng, Bowongso, dan Cengklok. I've got the last one, yang rupanya merupakan jalur yang harus kami rintis sendiri untuk mencapai puncak. We made the map, we made the way. Hahaha pada akhirnya kami harus puas berdiri tegak di titik tinggi 2864 mdpl karena punggungan putus yang dipisahkan oleh lembah yang dalam. Mungkin memang belum jodoh sampai di puncak, next time for sure. InsyaAllah. Kalau mau diceritakan jalurnya....duh perjuangan. Hutan dengan semak berduri, ilalang setinggi 1,5 m, jalan yang terus menanjak, wah apalagi kalau sudah sampai di lahan dengan vegetasi terbuka, angin yang berhembus kencang hingga punggungan jalur resmi pun bisa terlihat (Jalur Garung) tentu saja dibatasi lembah yang menganga diantaranya. Tapi sungguh, berdiri di titik 2864 mdpl saja sudah sangat bersyukur jika mengingat medan yang harus kami lalui untuk sampai disana. Toh dari ketinggian itu, Sindoro tetap menjulang gagah di hadapan, dikelilingi awan-awan yang melayang tenang bak terbang.

Tidak, kami tidak langsung pulang setelah turun dari Sumbing. Beberapa diantara kami memutuskan untuk pergi keliling Solo dan Jogja dengan anggapan bahwa sayang jika pergi jauh dari ibukota hanya untuk mendaki Sumbing semata. Alhasil, pergilah kami ke Solo dengan 3 kali ganti bus dari Wonosobo. Haaah, lelah? Tentu saja. Begitu sampai di rumah yang dituju, kami bertujuh langsung melepas keril sambil duduk meluruskan kaki. Selonjoran. Hari itu, kami cuma beristirahat sepanjang hari. Keesokan harinya, perjalanan dimulai! Mulai dari UNS, Masjid Ageng Surakarta, hingga Stadion Manahan kami kunjungi. Kami bahkan sempat ke Jogja untuk mengunjungi Prambanan dan balik lagi ke Solo. Di Jogja, kami hanya mengunjungi Malioboro dan Alun-alun selatan Keraton Jogja saja. 

A waste? Mungkin. Toh, ini kota-kota yang biasa dikunjungi oleh orang awam sekalipun. Tapi bagi saya, ini suatu awal. Awal untuk melakukan perjalanan yang lain, untuk pergi ke kota lain yang lebih jauh. Mungkin ke lain pulau? Lain negara? Lain benua? I do want to go everywhere, just to make sure i live the world i live in. Karena dengan traveling, kita tahu bahwa kita tidak sendiri. Bahwa kita masih punya banyak kebudayaan yang harus kita ketahui. Bahwa masih banyak orang baik yang akan membantu kita selama di perjalanan, regardless your ethnic group. Bahwa dengan perjalanan, kita menemukan suatu sudut pandang baru tentang hidup; tentang orang-orang di sekitar kita, tentang bagaimana memaknai hidup dan menghadapi rintangan di dalamnya dengan lapang dada, juga tentang cinta yang akan kita lihat di sepanjang perjalanan itu sendiri. Karena perjalanan, mengajarkan kita banyak hal untuk bertahan hidup. Go grab your chance!
Share: